12. Bimala : It's a Yes

A wild girl with wild hair
I see what you are doing

I see what you are looking for,
what you want

I see you smiling with friends,
Smiling with strangers,
but no one really notices you,

And that is the real problem here.
I see you, while no one else does.

You are more,
You are marvelous,

You have the sun inside of you
laughing at the sky.

I can feel it

You are some kind of wild dream,
Trapped in some kind of wild girl.

And tonight is the one of those nights.
Maybe we are supposed to meet,
Maybe that will give me peace of mind,

I just cannot take my fucking eyes off you.

Bola mataku berputar lambat, seiring dengan jari yang menggulir layar handphone, membaca pesan dari nomor asing itu sekali lagi. Aku tak perlu repot-repot mencari tahu siapa pengirimnya, karena entah sudah berapa nomor berbeda yang menghubungiku dalam sebulan ini. Aku tahu sih dia pasti mengambil puisi itu dari internet, tapi entah kenapa aku tidak bisa berhenti membacanya.

Aku termakan rayuan?

Logikaku sih berkeras mengatakan tidak. Dan tidak mau juga.

Tapi ... kok deg-degan?

Fuck! Ini otak sama hati kenapa berseberangan begini?

Kutarik napas panjang, menenangkan dadaku yang berdebar karena kesal -itu yang kupercaya- dan menjernihkan kepala untuk tetap berpikir logis. Ini bukan pertama kalinya pria aneh itu mengirim puisi-puisi yang entah dari mana  dia copas. Yang paling parah, dia bahkan menejutkanku dengan sebuket mawar merah yang dikirim ke sekolah, dan membuat beberapa guru memandangku seperti paparazzi haus berita. Bisa dibayangkan kan, bagaimana ibu-ibu yang sebagian besar sudah berkepala empat menggosipkanku dengan berbagai komentar pedas?

"Perasaan baru kemarin cerai, udah pacaran lagi."

Belum selesai aku mengurut dada, sudah terdengar lagi bisikan yang lain.

"Baru selesai iddah padahal ya. Jangan-jangan dia yang selingkuh makanya suaminya pergi."

Hoalah ... kupasang muka tembok. Dan semua itu terjadi gara-gara ulah seenaknya manusia paling menyebalkan yang pernah aku kenal; Banyu.

You give me something that makes me scared alright.

Nyaring, lagu kesukaanku yang pernah tenar di pertengahan tahun 2006 itu sukses mengalihkan perhatianku dari ingatan memalukan karena ulah biadab Banyu. Dengan cepat kuraih handphone dan saat melihat deretan nomor yang muncul di layar, lagi-lagi aku mendengus kasar.

This could be nothing but i'm willing to give it a try. 'Cause you give me some--- 

"Halo...."

Benar dugaanku.

"Tch ... lo borong semua nomor di counter ya?" sarkasku membuat Banyu tertawa. Padahal aku berani sumpah kalau aku tidak sedang melawak.

"Lucu! Tapi boleh juga idenya. Aku sih rela ngelakuin apa aja asal kamu mau angkat teleponku."

Tut ... tut ... tut.

Aku ambil jalan pintas. Tapi dasar Banyu, belum juga satu menit handphone-ku kembali menyala. Tak acuh, kubiarkan James Morrison terus menyanyi. Satu kali, dua kali, tiga kali.

"Aarggghh...." Aku menggeram keras. Terbuat dari apa sih pria itu? Keras kepalanya kok kebangetan? Dan entah kenapa, aku punya firasat kalau dia tidak akan berhenti.

"Mau lo apa sih?"

"Mau nge-date sama kamu."

"Nggak."

"Tapi Bi...."

Tut ... tut ... tut

Dan, hal yang sama terulang lagi.

"Apa sih, Banyu? Gue kan udah bilang nggak! Ratusan kali nggak! Kalau lo masih ngotot juga...."

"Jangan diputus!" Banyu memotongku cepat, "Kalau kamu matiin, aku akan telepon kamu terus-terusan."

"Ya udah kalau gitu...."

"Kalau kamu matiin handphone, aku bakalan dateng ke apartemen kamu, bikin ribut di sana dan aku yakin pengelola gedung apalagi tetangga kamu pasti nggak akan suka. Jadi kamu cuma punya satu pilihan, ngomong sama aku sekarang dan aku janji nggak akan aneh-aneh."

Aku melongo, memastikan sekali lagi apa yang kudengar. Kutegakkan punggung, menyerah dengan kemauan pria yang lebih mirip piskopat penguntit daripada orang dewasa yang mengingkan sex. I don't wanna judge, tapi mendengar reputasi buruknya dari Randu, aku tidak bisa memikirkan motif selain itu.

"Lo sakit jiwa ya?"

"Secara fisik nggak. Kalau hatiku iya. Kamu tahu, aku nggak pernah ditolak sampai sebegininya sama perempuan."

Aku tersenyum samar.  Lebih tepatnya, geli mendengar nada suaranya yang manis dan ... sejak kapan dia memakai kata kamu? "It's good for you," jawabku ketus tak mau ambil pusing.

"Kamu lagi ngapain?"

"Ngomong sama lo."

"Selain itu?"

"Nggak ada! Eh, ada sih sebenernya."

"Apa?"

"Gue lagi mikir apa yang ada di kepala orang sinting kaya lo."

"Kamu tuh emang selalu kasar ya?  Padahal kamu cantik kalau lagi bersikap manis. Tapi kalau kamu emang pengin tahu, jawabannya kamu."

Aku mendengus lagi," Lo beneran sakit jiwa ya?"

"Kamu pikun ya? Kan udah aku jawab tadi. Hatiku yang sakit."

"Shit! What kind of the game you play, Bay? Bisa nggak lo hentikan semua ini."

"Bisa."

"Bagus"

"Tapi ada syaratnya."

"Apa?"

"Nge-date sama aku."

"Oh my goodness. Lo tuh budek atau batu sih? Kan tadi udah gue bilang nggak."

"Ok, not for now. Tapi aku yakin suatu saat nanti kamu pasti mau."

"In your deram! Dan sekarang gue ngantuk. So, please?"

"Sure, Sweetheart. Sleep tight and have a nice dream."

Hah?  Sweetheart katanya? Tenang Bi, tenang. "Thanks. Good  ni--"

"Umm ... Bi ??"

"Apa lagi? Gue mau tidur nih!"

"Kalau aku telepon, angkat ya."

"Iya."

"Janji?"

"Hem."

"Makasih. Bye, Bi."

Tut ... tut ... tut.

Setelah Banyu menutup teleponnya, aku malah tidak bisa tidur. Aku masih belum mengerti permainan apa yang sedang dia mainkan. Bagaimana bisa pria yang awalnya sangat menyebalkan berubah drastis menjadi pria manis. Well, secara fisik aku harus akui kalau dia itu memang pria menarik. Dengan semua yang dia miliki, mudah baginya untuk memilih wanita mana pun yang dia mau. Lantas kenapa?

"Banyu itu bukan tipe pria yang mau terikat, Bi. Gonta ganti cewek buat dia itu sama gampangnya kayak ganti baju."

Masih jelas di ingatan jawaban Randu saat aku menanyakan soal sahabatnya itu. Lalu, untuk apa dia mengejarku seperti sekarang? Sampai rasa kantuk menyerang, aku masih tidak mengerti. Aku bahkan yakin kalau pria bermata gerhana itu tidak akan berhenti sampai di sini.

Dan benar saja.

Aku sedang menuju parkiran sekolah tempatku mengajar Bahasa dan Sastra bersama beberapa rekan guru, saat sebuah pemandangan tidak biasa terlihat di sana, tepat di samping mobilku.

Banyu dengan senyum lebar dan sebuket bunga mawar ekstra besar. Tubuhnya yang dibalut kemeja hitam dengan lengan tergulung sampai siku dan celana kain yang juga berwarna hitam, menyenderkan tubuh di sedan metaliknya. Melihatnya, jantungku serasa ingin melompat ke luar. Bukan semata-mata karena kehadirannya yang mengejutkan, tapi karena rekan guru yang bersamaku juga melihatnya. Aku tidak berani membayangkan gosip apalagi yang akan kudengar besok.

Tak sanggup bereaksi, aku hanya mematung di tempatku berdiri saat Banyu berjalan mendekat dengan langkah tenang dan penuh percaya diri. Senyum lebar masih setia bertengger di wajahnya yang juga dihiasi kacamata hitam.

"Wah, udah dijemput pacarnya tuh, Bu. Ganteng ya." Entah siapa yang mengatakan itu.

"Romantis banget bawa bunga segala,"  komentar yang lain lagi.

Ah, ingin rasanya menghilang ke dalam tanah, merelakan diri lebur dimakan semut dan rayap. Fuck!

"Ya udah deh kita duluan ya." Bu Ami, guru Bahasa Inggris menepuk pundakku lembut sebelum berlalu bersama guru-guru yang lain. Aku tersenyum kecut.

"Hai!"

Ingin sekali kulempar sepatu tepat ke mukanya. Yah, aku memang tidak melempar sepatu tapi omelanku jelas lebih menyakitkan. Dan anehnya, tidak sekali pun Banyu membalas yang membuatku malah semakin kesal.

"Mau lo apa sih sebenernya? Gue nggak mau jadi bahan gunjingan guru-guru di sini gara-gara lo!" makiku yang untuk kesekian kalinya hanya ditanggapi santai.

"Kenapa kamu harus peduli omongan orang sih?" jawabnya pelan.

Aku menghentakkan kakiku menahan marah. Mudah sekali dia bicara seperti itu.

"Lo mau apa dari gue?"

"Kamu kan tahu apa yang aku mau."

"Lo juga kan udah tahu jawaban gue, kenapa masih ngotot sih?"

"Bi ...  just one date. Have a dinner with me. Sekali aja dan setelah itu aku janji nggak akan lagi kirim-kirim pesan, kirim bunga and all of those shit. Just once ... i promise."

Pelan, Banyu maju beberapa langkah, mendekatkan dirinya hingga menyisakan beberapa jengkal. Bibir yang pernah menciumku tanpa permisi itu bergerak pelan, lalu terkatup lagi. Entah kata apa yang batal diloloskannya. Mata gelapnya menuntut, mencoba mencari tahu ke dalam pikiranku yang masih ragu. Lalu perlahan cahaya itu meredup, tatapannya berubah lembut. Dan entah bagaimana, ada perasaan yang lancang menyeruak saat memandangnya. Perasaan  nyaman.

"Is it a yes?" Suaranya lembut, membelai saraf pendengaran yang membangkitkan gelenyar-gelenyar yang sudah lama terasing. Aliran darahku menderas, dan semoga dia tidak mendengar jantungku yang juga berdegup cepat.

"Bi?" bisiknya lagi.

Aku yakin, otakku pasti menumpul. Karena tanpa bisa ditahan, aku menjawab pelan, "Oke."

Kontan, pria itu tersenyum. Bodohnya, aku juga balas tersenyum.




-o0o-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top