10. Banyu : Lost
- I am lost in love, looking at her face -
Chris Deburgh
Tanganku bergerak, membetulkan letak kacamata hitam yang melorot. Entah apa isi kepalaku hingga berada di tempat ini sekarang. Percayalah, tidak setiap hari aku melakukan sesuatu tanpa berpikir kecuali saat mabuk. Police Mephisto warna cokelat yang melingkar di tangan kiriku sudah menunjukkan pukul lima. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri seperti orang linglung, menimbang pilihan yang kupunya; masuk atau pergi. Bodohnya, aku memilih yang pertama.
Beberapa orang terlihat berlalu-lalang keluar masuk pintu gerbang. Sebagian terlihat membawa tumpukan kardus warna cokelat, dan saat kulihat dua orang pria memakai kaus putih bertuliskan 'sahabat anak', kuikuti mereka dari belakang.
Memasuki area perkemahan, aku melihat lebih dari lima puluh tenda telah terpasang sempurna. Di beberapa sudut, terlihat kelompok anak dengan dua sampai tiga orang dewasa asyik dengan kegiatan mereka. Ada yang sedang menyanyi bersama diiringi gitar, ada juga yang sedang asyik mendengarkan cerita. Aku berpikir untuk mencari kelompok yang sedang ... menggambar mungkin?
Tak punya gambaran harus mencari ke mana, aku hanya berputar-putar selama lebih dari lima belas menit, membuat beberapa orang memandangku heran. Mungkin karena wajahku yang asing, ditambah aku tidak memakai seragam seperti mereka. Tapi umumnya, mereka hanya memandang sebentar dan kembali dengan aktivitasnya. Peluh mulai mengalir membasahi tubuhku. Belum sempat aku mengeluarkan handphone saat akhirnya memutuskan untuk menelepon, sebuah suara menyapaku ramah.
"Hei! Ada yang bisa dibantu?"
Seorang perempuan dengan rambut sebahu yang mengenakan jeans lusuh dan—tentu saja—kaus sahabat anak, berdiri di depanku. Usianya mungkin sekitar dua puluh lima. Meskipun wajahnya dihiasi senyum, tetap saja tidak bisa menyembunyikan ekspresi heran yang kentara.
"Ya?" Kujawab pertanyaannya dengan pertanyaan.
"Ada yang bisa dibantu? Mas kayaknya bukan panitia atau volunteer."
"Oh, iya," jawabku sedikit gugup. Jawaban apa yang harus kuberikan pada perempuan ini, sementara aku sendiri tak yakin dengan alasanku berada di sini?
"Umm ... cuma lihat-lihat." Bodoh! Tentu saja dia tidak percaya. Matanya bahkan masih menatapku tajam, menuntut jawaban. "Kenal Bimala?" Akhirnya aku menyerah.
"Oh, Bimala. Ada urusan apa?"
Keningku mengeryit sebal, memandang perempuan sok mau tahu yang berdiri di depanku. Apa urusannya? "Urusan pribadi," jawabku ketus.
Tidak sopan, perempuan ini malah memandangiku dari atas sampai bawah, membuatku merasa tidak nyaman karena sikap anehnya. Ditambah lagi, tiba-tiba saja dia tersenyum membuatku semakin kesal.
"Lo ... cowok aneh yang nyium dia di club ya?"
What the hell? Untung saja aku memakai kacamata. Kalau tidak, bola mataku pasti melompat ke luar. Bagaimana bisa perempuan ini tahu soal kejadian itu?
Aku mendengus kasar, muak melihat senyumnya yang tersungging lebar. Jadi, sebelum aku benar-benar memuntahi perempuan tidak sopan ini, aku berbalik pergi. Meninggalkannya yang —aku yakin—masih berdiri memandangi punggungku yang menjauh. Kalau ini bukan tempat umum, kalau dia bukan perempuan, pasti sudah kusambar mulutnya yang kurang ajar. Tapi, detik itu juga kuurungkan niatku. Aku memafkannya, terutama saat dari kejauhan kudengar dia berteriak, "Bimala ada di taman dekat mushola."
-o0o-
Mataku liar mencari di antara beberapa orang yang ramai memenuhi taman di samping mushola Ar Rahman. Beberapa orang terlihat duduk di bangku sementara anak-anak berlarian saling kejar. Seorang anak tak sengaja menubruk dan jatuh tepat di bawah kakiku. Spontan aku berjongkok untuk membantunya berdiri.
"Makasih, Om, " katanya sebelum kembali berlari, mengejar temannya yang lain.
Saat aku mencoba untuk berdiri, saat itulah aku melihatnya; Bimala memeluk seorang pria. Wajahnya terlihat bahagia, seperti perempuan yang baru saja dilamar. Pria itu juga balas memeluknya. Cukup lama, sebelum akhirnya mereka sadar kalau mereka mengundang perhatian. Sayangnya, Bimala tidak sadar kalau aku juga memperhatikan.
Kubuang muka. Mencoba menyembunyikan wajahku yang memanas dan dadaku yang bergemuruh. Ada perasaan aneh yang bergejolak, bereaksi atas pemandangan yang sama sekali tak ingin kulihat. Geram, aku memaki diri sendiri karena bertindak bodoh mencarinya hingga ke tempat seperti ini. Tanpa sadar, aku bahkan mengepalkan tangan keras-keras.
Such a stupid moron!
Sepanjang jalan kembali ke tempat parkir, aku terus memaki. Memaki Bimala, memaki kebohohanku sendiri. Sialnya, pikiranku justru berkhianat karena tak sanggup mengenyahkan bayangan Bimala memeluk pria. Binar bahagia yang terlalu mencolok, terpancar jelas di wajahnya yang ceria. Sialnya lagi, aku tidak sadar kalau aku terus berputar-putar di tempat yang sama saking sibuknya pikiranku.
Apa kalian tahu bagaimana rasanya masuk ke hedge maze dan tersesat di dalamnya? Tidak? Aku pernah.
Papi menghadiri pernikahan—entah siapa—di Ashcombe, sebuah taman luas di Australia yang memiliki rose maze dan venue untuk event khusus. Aku dan Bima—saat itu usia kami mungkin sekitar delapan tahun—masuk ke dalam maze. Bisa menebak yang terjadi setelahnya? Yes, we got lost! Bima bahkan hampir menangis saking takutnya. Sebetulnya aku juga takut, tapi saat melihat saudara kembarku itu menangis, aku harus bersikap lebih berani. Jadi kuputuskan, aku akan membawa Bima keluar dari tempat itu.
"Maaf, di mana pintu keluarnya ?" tanyaku pada seorang pria. Sempurna sekali kebodohanku hari ini. Seorang pria dewasa tersesat di tempat seperti ini? Aku lebih memilih mabuk hingga tidak sadarkan diri di kelab yang dipenuhi para ABG yang terlalu histeris melihat DJ beraksi di atas booth. Tahu kan betapa mengganggunya anak-anak sok gaul itu? No offense, tapi itulah yang kurasakan.
Kali ini, rasanya memang tidak menakutkan seperti saat di Ashcombe, tapi memuakkan! Dan saat akhirnya aku melihat mobil kesayanganku, ingin rasanya kuciumi tanah. Don't judge! Pria dewasa juga terkadang bisa bersikap seperti anak kecil. Aku mungkin benar-benar akan memeluk mobilku kalau saja tidak kulihat seorang perempuan berdiri di sana, celingukan mencari sesuatu.
"Ngapain lo?" tanyaku. Aku pasti mengagetkannya, karena saat dia menoleh, dia memegang dadanya dan menarik napas berat.
"Lo yang ngapain?" jawabnya sambil mengatur napas.
"Ngeliatain lo yang mencurigakan kayak orang mau nyolong mobil gue!"
Bimala memonyongkan bibirnya. Aku tidak tahan untuk tidak tersenyum melihat ekspresinya. Tapi buru-buru kuurungkan niat, terutama saat bayangan itu kembali melintas.
"Isss ... maksud gue, lo ngapain ada di sini? Di tempat ini?"
Gue nyari lo. Gue pengin ketemu sama lo. Tak tahu sopan santun, kata-kata itu muncul begitu saja, memanfaatkan kendali pikiranku yang telah hilang setengahnya.
"Gue ... mau nagih. Tuh mobil gue udah jadi," jawabku asal yang langsung kusesali detik itu juga. Ah, kalau saja bisa kutarik lagi kalimat itu masuk ke mulut, pasti sudah kutelan bersama aroma manis yang tersendus dari tubuh Bimala.
"Eh? Serius lo kesini buat nagih doang?"
"Menurut lo gue punya alasan lain, seperti kangen sama lo gitu? Jangan ke-geer-an deh."
Bimala memandangku kecut. Mulutnya melongo, mata cokelatnya mencelang, mungkin tak habis pikir dengan jawabanku yang seenaknya. Kalau aku jadi dia, aku juga akan bereaksi sama.
"Ihhh, apa sih! Otak lo tuh isinya duit mulu."
Bukan. Bukan hanya itu. Ada banyak hal di dalam kepalaku dan lo adalah salah satunya. Entah sejak kapan.
"Ya udah berapa? Tapi dompet sama handphone gue di dalem. Kalau mau tunggu sini, atau nggak kasih aja nomor rekening, ntar gue transfer."
"Heuuh..," dengusku, pura-pura kesal. "Lo sendiri ngapain di sini, acaranya kan di dalem." Aku mengalihkan pembicaraan.
"Nganterin temen gue," jawabnya singkat.
"Temen? Bukan pacar?" Cepat-cepat kututup mulut, mengutuk kebodohan yang kulakukan untuk kesekian kalinya hari ini. Pikiranku carut-marut. Dadaku berkecamuk, merasakan pandangan Bimala yang menusuk.
"Tahu dari mana kalau temen gue cowo?"
Aku bergidik melihat matanya yang kini menyipit seperti serigala betina melihat mangsa. Kutelan ludah, berusaha sekuat tenaga untuk tetap terlihat tenang. "Ummm, itu...."
Astaga! Aku kan bukan penderita alzhemeir. Lantas kenapa begitu sulit memilih kata untuk menjawab pertanyaan perempuan ini dan menyelamatkan harga diri yang masih tersisa?
"Lo beneran nyari gue, ya?" tuduhnya cepat.
Seriously? You really came up with that question, oh Beautiful Woman?
Aku menelan ludah, lagi. Ini saatnya aku menentukan pilihan; mempermalukan diri sendiri dengan mengakui alasanku berada di sini, atau bersikap defensif dengan resiko aku mungkin harus benar-benar menjauhi perempuan ini seterusnya.
Aku tidak pernah merayu perempuan. Ah bukan. Maksudku, aku tidak pernah repot merayu perempuan untuk kuajak tidur. Normalnya aku hanya menatap penuh arti, melempar senyum saat duduk di bar dan mereka akan mengerti. Obrolan sebentar, tanpa kata-kata manis, just straight to the point dan malam itu akan berakhir di ranjang. Tapi ini berbeda. Aku ingin mengenalnya. Aku ingin....
"Banyu!"
Bimala menatapku tidak sabar. Pandangannya menuntut, menyorong jauh seluruh keberanianku hingga ke sudut. Kurasakan dadaku yang semakin berdebar, bercampur dengan bisikan-bisikan di kepala. Aku menarik napas panjang, mencoba menyatukan lagi pecahan logika yang berserakan. Lalu, entah bagaimana hasrat itu menyeruak, menyentak kesadaran yang kuakui dengan terpaksa. Aku benar-benar tersesat.
Dengan gerakan pelan, aku berjalan mendekat ke arahnya. Menatapnya tak kalah tajam, penuh keyakinan. Saat jarak kami hanya tinggal beberapa jengkal, kudekatkan wajahku sambil berkata pelan, "Kalau gue bilang gue ke sini nyari lo karena gue pengin ketemu sama lo, bahwa gue akan mengambil setiap kesempatan sekecil apa pun supaya gue bisa lebih deket lagi sama lo, dan entah kenapa gue nggak suka lihat lo pelukan sama cowok lain, siapa pun itu, lo percaya?"
Di hadapanku, Bimala mematung seolah baru saja melihat el Maut. Dadanya naik turun, dan matanya masih tajam seolah mencari kebenaran dari setiap kata-kata yang lolos dari mulutku. Aku sendiri, mati-matian menyembunyikan debaran jantungku yang semakin cepat, berharap tak tertangkap oleh membran tipis di telinganya.
"Bi, lo mau di situ terus? Udah mau lanjut nih acaranya."
Sebuah teriakan terdengar dari arah belakang, memberikan jalan keluar bagi Bimala untuk keluar dari kungkunganku yang mengintimidasi. Aku tidak perlu repot-repot menoleh untuk melihat siapa pemilik suara itu, karena aku masih ingat dengan jelas suara perempuan sok mau tahu yang ingin kusambar mulut kurang ajarnya itu.
"Oke, gue ke sana!" Bimala menjawab tanpa mengalihkan pandangannya dari mataku. Apa ini pertanda buruk? Atau baik? Yang aku tahu, bahkan setelah dia meninggalkanku sendiri di tempat parkir, atau setelah aku kembali ke apartemen, atau setelahnya lagi, tidak ada kabar apa pun yang kudengar darinya.
Dan setelah seminggu berlalu, baru aku tahu kalau ini adalah cara Bimala berkata 'tidak'.
-o0o-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top