1. Banyu : Brothers

Aku mengenakan jas asal-asalan, membanting pintu mobil dengan terburu-buru menuju sebuah rumah dengan pintu kayu oak bercat putih yang dijaga dua orang bodyguard di kedua sisinya. Rumah ini tampak megah dan kokoh. Tapi aku tahu pasti kalau di dalamnya tidak sekuat kesan yang ditampilkan. Di dalamnya ... rapuh.

Masih sempat kulirik sebuah rumah anjing di tepi halaman. Kupikir, Papi sudah menghancurkannya, ternyata tidak. Kutarik napas panjang sebelum melangkahkan kaki memasuki rumah mewah yang membangkitkan jutaan perasaan bergejolak di dalam dada. Kembali ke sini, sungguh bukan perkara mudah.

Menuju ruang keluarga, ternyata membutuhkan usaha yang tidak kalah sulitnya dari sekedar memantapkan hati dan pikiran. Aku tidak suka keramaian. Sementara sekarang, aku harus memiringkan bahu untuk menembus orang-orang yang datang memenuhi ruang tamu. Papi pernah bilang bahwa mereka adalah bagian dari keluarga, tapi aku bahkan tidak mengenal satu pun dari mereka. Memang ada beberapa wajah familier yang kuingat mencubit pipiku, atau mengacak-acak rambutku yang hitam legam, hampir dua puluh tahun yang lalu. Dan sekarang, wajah-wajah itu telah dipenuhi kerutan dan rambut keperakan di atas kepalanya.

"Mas Banyu!"

Sebuah suara menyapaku riang. Menerbitkan senyum yang tidak selalu kuberikan untuk sembarang orang, sementara si pemilik suara berlari menyambutku dengan tangan terbuka lebar. Aku memeluknya erat, membuat tubuh gadis yang belum genap sebelas tahun itu tenggelam dalam rengkuhanku.

"Hei, Sweety."

Keira Adibratha, adikku satu-satunya, tersenyum luar biasa manis. Membuat kerinduan yang membuncah di dalam dada, lenyap hanya dalam hitungan detik.

Aku masih ingat saat pertama kali melihatnya di rumah sakit. Mommy bilang, seorang malaikat telah lahir. Dan di mataku, Kei memang tampak bersinar melalui kilat cerah di matanya. Saat itu, dia mungkin belum bisa melihatku. Tapi aku tahu bahwa dia tahu aku ada. Dan kini, malaikat itu akan segera tumbuh menjadi gadis belia yang memikat.

"Eh, Mas Banyu bau rokok." Keira menghindar saat aku berusaha mencium pipinya. "Mas Bay nggak tidur ya, makanya kesiangan sekarang," tuduhnya sok tahu.

"Iya, Sayang. Mas banyak kerjaan, makanya tidur malam terus."

"Gonta ganti perempuan itu bukan kerjaan, Banyu."

Sebuah suara berat menyela, membuat tubuhku menegang seketika. Suara yang selalu menggaung di kepalaku, meraung-raung tak kenal waktu kini terdengar jelas di telingaku.

"Memang bukan! Itu namanya menikmati hidup, Pi." Aku bangkit dan berhadapan dengan pria berusia lebih dari setengah abad yang menatapku tajam. Pria itu menggilas kasar cerutu yang bahkan belum setengah dihabiskannya, dengan sepatunya yang mengilap. Matanya ... bisa kulihat kebencian di matanya yang gelap.

"Oh, ya? Hidup seperti apa yang sedang kamu bicarakan sama Papi? Kerjaan nggak jelas, mabuk-mabukan, free-sex. Hidup yang itu?" Pertanyaan retoris yang dilontarkan Papi membuat darahku berdesir. Ada sesuatu yang menggelegak di dalam sana, mendesak-desak minta keluar.

"Pertama, pekerjaanku jelas. Kedua, aku nggak mabuk di pinggir jalan apalagi pakai uang Papi," kutarik napas sejenak, "ketiga, bukan salahku kalau cewek-cewek suka sama aku. I'm too hot to be a man." Sesungging senyum satire yang kuukir membuat mulut Papi yang sempat terbuka menutup kembali. Rahangnya mengeras, menahan geram karena kalimatku yang menantang.

"Banyu ... kamu udah datang, Sayang?"

Satu suara lagi ikut bergabung, mengalihkan perhatianku dan Papi yang baru saja memulai pertarungan sengit. Tanpa memedulikan Papi yang masih diam di tempatnya berdiri, aku melangkah mendekati Mommy dan mendaratkan sebuah ciuman di pipi. Di usianya yang menjelang lima puluh, wanita Belanda yang fasih berbahasa Indonesia ini tetap terlihat cantik. Sepintas kulirik Bert, suami baru Mommy yang berdiri di belakangnya sambil memegang segelas dolcetto.

"Hei, Mom. You look hotter," bisikku membuat Mommy terkekeh mendengarnya.

"Bisa aja kamu, Bay. Kamu juga makin ganteng, Sayang."

"Thanks for your DNA." Kucium pipinya lagi, berusaha mengalihkan perhatian dari mata sembab Mommy yang menatapku sendu. Mata yang memancarkan keteduhan, yang selalu berhasil menyelipkan rindu. Membuat rasa sesak yang selama ini selalu kuabaikan, kembali muncul.

"Oke, udah cukup ngerayunya kamu. Go inside and meet your brother!" perintahnya, membuat senyumku hilang tak bersisa.

-o0o-

Dibingkai pigura kayu hitam, Bima tersenyum menampilkan pesona yang memancar melalui sorot mata hazel-nya yang hangat. Aku ingat saat berumur delapan tahun, kami bermain dengan stick golf milik Papi di dalam rumah. Tentu saja itu adalah ideku. Awalnya semua terkendali, tapi kemudian aku mengayun terlalu kuat hingga bola menghantam lemari buku sebelum akhirnya memantul di lantai dan menghancurkan sebuah guci di pojok ruangan. Saat itu, kepalaku langsung dipenuhi bayangan wajah Papi yang wanti-wanti kepada seluruh pembantu di rumah untuk menjaga dan membersihkan guci itu baik-baik. Papi bilang, guci yang konon peninggalan dinasti Qin itu diterbangkan langsung dari China. Meski aku tidak percaya, tetap saja seisi rumah sangat berhati-hati merawat guci antik berwarna biru muda itu.

"Kelakuan siapa ini?"

Tangan Papi terangkat di pinggang dan matanya merah menyala seperti monster. Bersisian, aku dan Bima hanya mematung, diam tak berani menjawab.

"Ayo jawab!" bentaknya. "Pasti kamu, Banyu. Kamu emang selalu bikin masalah."

Kubuang pandangan ke lantai, tak berani menatap wajah Papi yang telah sepenuhnya dirasuki amarah.

"Bukan Banyu, Pi, tapi Bima."

Tak kusangka, tiba-tiba saudara kembarku itu mengakui kesalahan yang tidak dilakukannya. Hal bodoh! Tentu saja Papi tidak percaya. Bima adalah anak kesayangan Papi dan dia tidak pernah nakal.

Aku ingat saat itu Papi memeluknya penuh sayang. Membelai rambutnya yang hitam legam dan membisikkan sesuatu yang -sialnya- masih bisa kudengar jelas. Papi bilang bahwa Papi bangga padanya karena berani mengakui kesalahan dan memang begitulah seharusnya seorang pria bersikap. Awalnya aku yakin bahwa Papi tidak tahu kalau kami berbohong. Tapi, saat kulihat Papi menyeringai ke arahku dengan tatapan menusuk, aku tahu bahwa itu ditujukan padaku.

"He's such a good boy."

Sebuah tepukan di bahu membuyarkan lamunan dan menarikku kembali ke dunia nyata. Melalui ekor mata, kulirik Mommy yang menyandarkan kepalanya di bahuku.

"Siapa yang mengira kalau dia akan meninggalkan kita secepat ini?"

Mommy atau siapa pun mungkin tidak menyangka, tapi aku? Kadang aku malah berpikir kenapa Tuhan tidak mengambilnya lebih cepat, agar dia tidak perlu terjebak dalam kehidupanya yang palsu lebih lama lagi.

Tepat enam tahun lalu, Bima ditemukan tidak bernyawa di kamarnya. Bima terlahir dengan klep jantung yang lemah, dan dokter mengatakan kalau itu bisa jadi penyebabnya. Baik papi atau pun Mommy tidak pernah mengijinkan mereka untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut. Entah karena mereka memilih untuk percaya atau menolak mencari kebenaran. Sejak saat itu, Papi semakin menyibukkan diri di kantor. Dia hampir tidak pernah pulang, tidak lagi peduli pada keluarganya. Dan selang satu tahun setelah kematian Bima, Papi memutuskan untuk berpisah dengan Mommy. Mommy membawa Kei bersamanya sedangkan aku hanya satu tahun tinggal dengan Papi. Kami jarang berkumpul layaknya sebuah keluarga setelah itu. Hanya hari ini -setiap tahun- hari peringatan kematian Bima dan juga hari ulang tahun kami berdua.

"How's your club?"

Sudah lewat jam makan siang dan seluruh tamu telah pergi. Hanya menyisakan beberapa orang yang menurut dokumen negara pernah menjadi satu keluarga. Kei menelan ludahnya saat mendengar pertanyaanku. Taku-takut, diliriknya papi sebelum melotot ke arahku yang menanggapinya santai.

"It's good. Tugas sekolah makin banyak jadi nggak bisa melukis sesering dulu," jawabnya pelan seolah tak ingin ada orang yang mendengar suaranya.

"Well, dia merendah," sela Mommy, "sebenarnya dia mendapat banyak pujian dari guru kursusnya. Malah gurunya yakin kalau Kei layak untuk ikut di Jakarta Biennale tahun ini."

Keira yang duduk di sampingku menundukkan kepalanya dalam-dalam, dan aku tahu persis bagaimana perasaannya.

"Wow, that's great." Aku merangkul bahunya dan menariknya bersandar padaku. Bisa kulihat senyum tipis saat kucium puncak kepalanya. Kei suka jika aku melakukannya.

"Ah, nggak penting!"

Senyumku lenyap. Senyum kami berdua lenyap. Dalam pelukanku, Kei menyembunyikan dirinya semakin dalam.

"Lebih baik kalau kamu fokus sama sekolah kamu. Kamu harus bisa jadi yang terbaik, Keira!"

Papi selalu saja merusak suasana dengan memaksakan pemikirannya. Dia menganggap hobi melukis Keira itu hanya mengganggu konsentrasinya belajar. Dia tidak pernah peduli apa yang benar-benar Keira suka dan apa yang tidak dia suka. Kurasakan tangan Keira mencengkeram punggungku, meninggalkan rasa perih yang sama dengan yang dirasakan hatiku saat ini.

"Tapi prestasi Kei sudah cukup memuaskan, Pi. Lagipula itu bukan hal yang buruk. Oh My fuckin God, she's so young dan Papi mestinya bangga dong. Nggak semua orang dapat kesempatan seperti itu," balasku dengan emosi yang mulai tersulut.

"Papi bangga kalau dia bisa jadi yang terbaik di sekolah. Jadi orang sukses dan bisa terusin usaha Papi menggantikan kakaknya yang nggak berguna."

Rahangku mengeras, kupingku memanas. Ini selalu terjadi setiap kali kami bertemu, dan aku selalu kesulitan menahan emosiku.

"Aku cuma nggak mau mengorbankan apa yang aku suka demi kepentingan Papi," sahutku pelan.

"Kepentingan Papi yang kamu sepelekan itu yang telah membesarkan kalian dan memberikan kalian fasilitas nomor satu."

"Can we just finish this? Ini nggak ada gunanya." Mommy berusaha untuk menghentikan perang mulutku dan Papi.

"Dan itu harus kami bayar dengan hidup kami?" marahku lagi yang kehilangan kendali dan tidak menghiraukan permintaan Mommy.

"What?!" Papi bangkit dari duduknya. Matanya membulat sempurna, nyaris keluar dari rongganya yang dalam, dan itu menghujam langsung ke dalam jantungku.

"Banyu cukup!" perintah mommy.

Dia berjalan ke arahku dan berdiri tepat di sampingku. Matanya merah, menahan bulir air mata yang hampir jatuh. Aku melirik dan melihat Kei masih diam di sofa, sementara Bert tetap nyaman di tempatnya.

"Cukup Bima yang jadi korban ambisi Papi," aku berkata pelan. Tapi tidak cukup pelan untuk didengar semua orang.

PLAK!

Sebuah tamparan mendarat di pipi kiri hingga kurasa panas menyergap wajahku. Mommy menatapku dengan amarah tertahan. Entah dia marah karena aku bersikap kurang ajar atau marah karena tidak sanggup mengakui bahwa yang kukatakan adalah benar.

"Lebih baik kamu pulang ke apartemen kamu, Banyu!"

Tak sanggup menatap wajah Mommy, aku berbalik dan mendapati Kei yang duduk dengan gemetar. Kuusap kepala adik kesayanganku itu hingga matanya mendapatkan mataku. Mulutku bergerak melafalkan i love you yang dibalasnya dengan senyuman. Menyedihkan.

Aku pergi dari ruang keluarga itu tanpa menoleh lagi. Tidak kulihat Bert memeluk Mommy yang menangis atau Papi yang berdiri tegak menatap ke luar jendela. Seharusnya aku tahu kalau ini akan terjadi. Seharusnya aku tidak perlu menyambangi lagi rumah ini.

Seharusnya ... seharusnya aku tak perlu hadir di antara mereka.

-o0o-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top