1. Alby Bagaskara
BARRY Narendra <>
To : [email protected]
Laporan kegiatan Kania hari ini.
Hari ini Kania mau belajar jalan pelan-pelan, walaupun ujung-ujungnya nangis padahal baru dua langkah. Katanya; kaki dia nggak mau diajak kerja sama. But, lo nggak perlu khawatir—gue kasih ice cream Oreo, seperti yang lo sarankan, dia mau jalan. Gue juga ajak dia turun ke taman, Ibu Yohana seperti biasa kayak induk gajah—takut banget anaknya gue culik. Hmm. She's talking about you again, and I don't know how to respond.
Besok gue mau ke rumah sakit, diminta Ibu Yohana buat mendampingi Kania check-up bulanan pascakecelakaan lima bulan lalu. Tadinya mau dibawa balik ke Singapore kayak rutinitas sebelum gue kerja di sini, tapi gue alasan nggak ada paspor. Maklum bukan anak sultan kayak Kania atau lo yang bisa ke luar negeri berasa pergi Jakarta-Depok. Oke, balik lagi ke masalah check-up. Kemungkinan besar Ibu Yohana nggak ikut, cuma gue, Kania, dan Bik Ninuk. FYI, ini Bibi masuknya barengan sama gue, kayaknya direkrut buat ngawasin gue. Kalau lo mau ketemu Kania, gue bisa atur supaya tuh Bibi nggak ganggu. Lo stand-by di Siloam sebelum jam sebelas, tunggu di resto aja, nanti gue kasih aba-aba.
Dan ini bagian favorit lo, kumpulan foto Kania.
Sekian yang bisa hamba sampaikan, semoga paduka menerima dengan baik. XD
ALBY MEMBACA email Barry dengan saksama. Sejauh ini dia lakukan demi bisa dekat dengan Kania, meminta tolong Barry, teman sekolahnya dulu melamar menjadi terapis berjalan Kania di Indonesia. Sampai detik ini dia tidak tahu keputusan memaksa Barry baik atau buruk, tetapi itu satu-satunya cara aman yang dia pikirkan. Menaruh orang yang bisa dia percaya di sisi Kania, yang tidak mudah menuruti mau Pak Ryan dan Ibu Yohana. Dan yang paling penting, tidak ada yang tahu Barry berhubungan dengan Alby, orang tua Kania, bahkan Kania.
Alby mengamati beberapa foto yang dikirim Barry, sambil merenggut kasar rambut.
Kenapa hatinya selemah ini bila berhubungan dengan Kania? Kenapa dia tidak bisa lagi mengabaikan Kania seperti dulu? Menganggap perempuan itu tidak pernah ada. Bahkan saat keluarga Kania terus melakukan hal-hal yang menyenggol egonya, dia tetap bertahan.
Jemari Alby menyentuh lembut layar laptop, mengikuti lekuk wajah Kania.
"Kenapa kamu keliatan judes gini? Hari ini kantor hectic banget, aku pengin lihat senyum kamu," bisiknya, seraya setengah menunduk.
Walaupun ini sudah larut malam, dan seluruh karyawan Mega Tarinka sudah pulang. Alby tetap berhati-hati supaya tidak terlihat seperti orang hilang akal, meski nyaris terjadi.
"Besok kita harus ketemu. Aku bakal lakuin apa aja buat ngobrol sama kamu. Mungkin, aku bakal nekat bawa kamu kabur ... jalan-jalan, minum kopi sampai enek, belanja, Seaworld? Kita nggak jadi ke sana."
"Oke. Kita ke Seaworld, kalau perlu berenang sama hiu."
Terkejut dengan suara yang tiba-tiba menggema di ruangan, Alby memiringkan kepala dari laptop. Seketika panas merambat naik dari leher menuju wajah Alby, Ketika menemukan perempuan berambut hitam gradasi cokelat terang sedikit bergelombang di bagian bawah digerai menutup setengah dada, bersetelan kemeja peach dan rok pensil abu, berdiri di ambang pintu ruangannya dengan senyum tipis tapi jenaka.
"Kalau Bapak mau, saya bisa loh, telepon management Seaworld buat nutup area itu. Yang penting Bapak siapkan aja ganti rugi dua kali, eh, tiga kali lipat dari pemasukan selama ditutup. Yakin deh, pasti mereka kasih." Lalu, perempuan itu berjalan santai mendekati meja Alby. Dengan senyum semakin lebar dan jenaka, sambil membawa dua map dan satu kantong plastik.
Alby menutupi setengah wajah dengan tangan, sedikit menunduk untuk menyembunyikan umpatan.
Setelah berhasil mengurangi malu, Alby mengangkat wajah dengan tatapan heran. "Laras, Ini udah jam sepuluh. Kenapa kamu belum pulang."
"Bapak lupa tadi siang memerintahkan apa ke saya?" Laras mengangkat map, dengan senyum jenaka belum juga pamit dari wajah perempuan itu. "Laporan pembelanjaan seluruh kantor cabang bulan kemarin, dan ada tiga kantor cabang mengajukan anggaran field trip tahunan." Alby mengangguk, dan Laras menaruh dua map dan kantong plastik di mejanya. Alih-alih menyodor map, Laras mendahulukan kantong plastik. "Nasi padang ayam gulai. Dada. Tanpa sayur nangka. Barusan saya makan nasi padang 24 jam samping kantor, terus ingat Bapak terakhir keluar ruangan ini pas makan siang, pasti belum makan malam. Jadi ...." Tanpa melanjutkan kalimat, Laras mengeluarkan dan membuka bungkusan nasi padang, mengelap sendok dengan tissue berkali-kali, lalu mengulurkan benda itu ke arah Alby.
Alby menatap sendok di tangan Laras dengan kening mengerut.
Laras terkekeh, sambil mengambil satu tangan Alby dan memaksanya menerima sendok seolah mereka itu teman main. "Tenang aja, Pak. Saya nggak terobsesi punya hubungan sama bos sendiri. Nggak ada pelet di makanannya, apa lagi racun. Ini murni menjalankan tugas penting dari Elora."
"Elora?"
"Iya."
"Bapak tahu nggak sih, Elora lagi program hamil anak kedua, tapi akhir-akhir ini dia stres."
"Terus apa hubungannya sama saya?"
"Ada dong. Elora stres liat Bu Maria dan Bu Eliz sakit-sakitan saking prihatinnya sama kondisi Pak Alby. Kalau Bapak begini terus atau tiba-tiba sakit, Elora makin stres."
Alby memandang bergantian Laras dan nasi padang di mejanya.
"Pak, kalau bisa ... ini kalau bisa ya, kalau nggak bisa juga nggak papa. Jangan fokus sama kesedihan sendiri. Sadar atau nggak, hidup selalu bersinggungan sama orang di sekitar kita." Senyum jenaka Laras berganti penuh maklum. "Silakan makan dulu, Pak. Tugas saya udah beres. Perut Bapak terisi, laporan sudah diterima."
Laras mundur dua langkah, memandang Alby penuh awas layaknya seorang ibu yang takut anaknya tidak melakukan yang diperintahkan. "Di makan loh, Pak. Jangan dibuang. Serius, saya nggak kasih aneh-aneh ke situ. Janji dimakan, oke?"
"Kamu mau pulang?" tanya Alby, lalu menurunkan pandangan dan sendok ke nasi.
"Nggak. Mau ngepel, Pak." Alby menaikturunkan tatapan dari wajah Laras ke nasi dengan cepat, tersenyum tipis sambil menggeleng kecil. "Ya, iya dong, mau pulang. Kerjaan udah beres. Misi rahasia udah dijalankan. Waktunya bobo cantik. Saya pamit, Pak Alby. Selamat makan."
Alby membiarkan keheningan mengudara sepersekian detik, sebelum akhirnya mengangkat kepala dan memandangi punggung Laras.
"Duduk, Ras. Temani saya makan," pinta Alby. Dengan gaya ceroboh hingga menabrak ujung tangan kursi, Laras berbalik dan memelotot. "Duduk."
"Pak, saya nggak punya—"
"Saya tahu, kamu nggak berniat menggoda saya. Saya juga nggak. Saya cuma ... butuh teman."
Kemudian, Alby cepat-cepat memasukkan suapan demi suapan untuk meredam getaran aneh di hatinya. Seolah selama ini dia terisolasi di pulau tak bernama, lalu menemukan manusia lain, dan enggan membiarkan manusia temuannya pergi.
Laras duduk dalam hening, bertopang dagu di meja, lalu terkekeh. "Pelan-pelan, Pak. Belanda nggak ada niatan buat nyerang lagi kok. Eh ... Bapak nenek moyangnya Belanda. Ampun, Pak. Ganti deh, Jepang."
Satu sudut bibir Alby sudah berkedut, tetapi dia tetap diam sampai seluruh makanan habis. Tepat saat suapan terakhir masuk ke mulutnya, Laras bertepuk tangan layaknya guru yang puas melihat perkembangan anak didik.
Alby meletakkan sendok lalu bertanya, "Kamu bersikap seperti ini sama semua kepala divisi di perusahaan, termasuk ke Mas Diaz, atau cuma sama saya?"
Laras mengerucutkan bibir sedikit, seolah berpikir keras. "Tergantung situasi. Tadi Bapak bilang butuh teman, ya udah, saya jadi teman. Eh, wait! Kalau Bapak butuh yang lebih, maaf, saya nggak bisa."
Alby terdiam, memperhatikan kedua tangan Laras menyilang di depan dada, kemudian tawa Alby pecah. Dia tertawa sangat keras sampai matanya sedikit berair. Seperti beberapa simpul kuat yang selama ini memenjarakan dirinya terlepas, salah satunya di hati.
"Saya sudah selesai. Ayo, pulang," ajak Alby setelah berhasil menguasai tawanya.
"Oke. Hati-hati di jalan ya, Pak," kata Laras sambil merapikan bekas makanan Alby. Sudah dilarang, tetapi Laras bersikeras membersihkan. Bahkan mengelap meja kaca Alby dengan tissue basah. Kemudian, memandang heran saat mendapati Alby masih berdiri di samping kursi hitam.
"Kita pulang bareng."
Laras terdiam, dengan kedua mata melebar dan bibir sedikit terbuka.
Namun, Alby mengabaikan keterkejutan Laras. Dia memakai jas, lalu melewati Laras sambil berkata, "Saya antar kamu. Kamu menolak, saya bilang ke Elora kalau kamu nggak menjalankan tugas dengan baik, terus—"
"Oke!" seru Laras semangat. "Kapan lagi naik mobil mahal. Saya siap-siap dulu. Eh, Pak ... apa saya perlu ganti baju? Siapa tahu Bapak mau—"
"Ras ...."
Laras tersenyum jenaka, lalu berbisik, "Just kidding, Pak." Kemudian keluar lebih dulu, sambil menyenandungkan lagu Justin Bieber—Love Yourself.
Alby menahan pintu tetap terbuka. Dia bersedekap dan bersandar di kusen, mengamati Laras ... orang yang selalu berhasil menyelipkan tawa di harinya yang suram.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top