7
MOHON DIREFRESH SEBELUM BACA... Krn ini bagian republish dgn penambahan part...
Malam berlalu begitu saja, sejak pembicaraan terakhir Alby dan Kania di pantry. Keduanya tidak saling bicara, sibuk dengan dunia masing-masing. Alby diam di kamar pribadinya, sesekali keluar untuk mengambil minum atau makanan. Begitu pun Kania, sepertinya wanita itu memilih berdiam di kamar yang diizinkan oleh Alby untuk dia tempati. Alby merasa, Kania seperti sengaja menghindar darinya. Setiap kali dia keluar, Kania tidak keluar keluar. Namun saat Alby masuk, baru Kania keluar.
Dan seperti dugaan Alby, Kania bersiap untuk pergi entah ke mana. Wanita itu membuka pintu kamar dengan perlahan-lahan, berjalan mengedap bagaikan seorang maling. Kania fokus berjalan lurus, tidak sadar kalau Alby sudah lebih dahulu keluar kamar dan berniat untuk pergi dalam kesunyian sebelum Kania keluar kamar.
Kania cukup terkejut saat Alby menyentuh pundaknya, dia nyaris melompat, namun berhasil untuk tidak berteriak.
Keduanya saling beradu pandangan, Alby menyampirkan jas biru dongker pada tangan sofa. Pria itu ingin terlihat tenang, walaupun dalam hatinya tengah sibuk dengan perasaan asing yang datang. Alby memperhatikan penampilan Kania, dia menggunakan dress warna putih dengan motif bunga kuning berukuran kecil-kecil. Tidak terlihat seperti penampilan Kania biasanya, tapi tidak menyedihkan seperti pertama kali Alby menemukan Kania di depan gedung apartemennya.
"Kenapa kamu sudah rapi sepagi ini?" tanya Alby basa-basi.
"Kerja," jawab Kania. Hanya itu alasan yang terpikir dalam benaknya, Kania ingat kemarin Alby mengatakan dia bekerja sebagai kepala editor. Otomatis dia harus kerja ke kantor.
"Kerja?" Alby menaikkan satu alisnya lalu menggeleng cepat. "Nggak usah, kamu di sini saja. Aku sudah meminta Putra untuk mengatur pengajuan cuti kamu ke Aya."
"Aya? Naraya Qirani? Aku kerja untuk Aya?"
Alby membasahi bibir bawahnya dengan ujung lidah, "Sudah, jangan banyak membantah. Kamu diam di sini saja, aku akan mengurus semuanya untukmu." Tidak ada senyum atau raut wajah meyakinkan, sikap Alby terkesan datar dan dingin. Tapi entah kenapa, Kania merasa jika Alby tulus. "Aku akan menyelesaikan masalahmu terlebih dahulu, baru kamu bisa membantu menyelesaikan masalahku."
Kania maju mendekati Alby, bermaksud untuk mengambil jas Alby layaknya sebuah adegan dalam drama romantis pada umumnya. Namun sebelum tangan Kania berhasil meraih jas Alby, pria itu lebih dahulu mengambil dan memakainya dengan cepat.
"Baiklah, aku pergi dulu. Aku mempunyai banyak pekerjaan di kantor dan hotel," ucap Alby.
Alby bersiap untuk berjalan meninggalkan Kania, namun ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya. Membuat Alby memutar tubuhnya kembali ke arah Kania, untuk persekian detik Alby menatap Kania. Cukup lama, cukup dalam.
"Apa yang kamu inginkan, Kania?"
"Hah?"
"Hal terbesar yang paling kamu inginkan dalam hidupmu, sebutkan, aku akan wujudkan untuk kamu."
Kania terdiam, untuk pertama kali dalam hidupnya ada seorang yang bertanya tentang maunya. Bukankah itu suatu yang baik?
Entah datang dari mana semua tindakan gila itu, yang pasti Alby tidak mampu untuk menghentikannya. Setelah bertanya Alby berinisiatif maju menghampiri Kania, menghilangkan jarak antara keduanya. Masih dalam kesunyiang, serta iringan tatapan Kania. Alby mengarahkan tangan pada pipi kiri Kania, menggerakkan ibu jarinya ke kanan dan ke kiri.
"Apa yang kamu inginkan, Kania?" Alby mengulang pertanyaannya lagi.
Kania tersenyum tipis, "Bahagia."
Tulang rahang Alby seketika mengetat, serta merta tangannya mundur dari pipi Kania.
"Bahagia?"
Kania mengangguk.
"Bagaimana bisa aku memberikanmu itu, jika aku sendiri menganggap bahagia itu hanya sebuah ilusi?" Alby mengalihkan pandangannya ke segala arah, mencoba untuk mengabaikan Kania. Alby mulai mengutuki dirinya sendiri, karena menanyakan pertanyaan tidak penting baginya tapi penting untuk Kania. "Apa yang bisa membuatmu bahagia?" Alby kembali menatap Kania.
Kania menggedikkan bahunya.
"Entah," bisik Kania putus asa. Kania terlalu lama lupa bagaimana cara untuk bahagia, dia merasa bahagia tidak pernah berpihak padanya.
Alby menunduk sebentar, sama putus asanya dengan Kania.
"Sudah, aku pergi dulu. Lakukan yang kamu inginkan, tapi aku mohon jangan mengacau." Alby menggigit bibir bawahnya, merasa kesal karena membiarkan kalimat ketusnya keluar begitu saja. "Maksud aku, mengacau dalam artian apartemen ini jadi berantakan. Yah, seperti itu."
Kania tersenyum geli, wajah panik Alby sungguh menggemaskan untuknya.
"Aku tahu, kamu bukan Papa yang suka memakai kata kacau untuk hal lain." Alby mengembuskan napas lega, "Pergilah, aku nggak akan mengacaukan apartemen ini."
Tidak ingin terjebak dalam situasi canggung lebih lama lagi, Alby berjalan cepat menuju pintu.
"Alby." Panggilan Kania membuat Alby menghentikan gerakan tangannya.
"Ya?" Alby menoleh tanpa memutar tubuhnya.
"Terima kasih, untuk semua hal yang telah kamu lakukan."
Alby tidak mampu membalas ucapan terima kasih Kania, karena cukup jelas tujuan dia membantu Kania bukan untuk mendapatkan ucapan terima kasih dari wanita itu. Ada urusan lain yang lebih penting dari sekedar ucapan terima kasih, seperti, Kania benar-benar pergi dari kehidupannya tanpa menyisakan apapun.
*****
Alby berjalan memasuki kantor majalah tempat Kania bekerja, setelah dia menghabiskan waktu 3 jam terjebak di tengah kemacetan.
Semoga saja Aya punya sesuatu, batin Alby. Dia tidak mau semua usahanya sia-sia, dia harus mendapatkan sesuatu tentang Kania dari Aya – sahabat Kania sejak SMA. Satu-satunya orang terdekat Kania, bahkan lebih dekat daripada keluarga Kania.
Alby berjalan dengan gagah mengabaikan keadaan kantor yang terlihat mulai ramai kedatangan para karyawan, Alby tidak bertanya arah tujuannya. Dia sudah cukup hafal setiap sudut tempat ini, dulu Kania sering memintanya untuk datang ke sini. Sebelum Kania mengetahui rahasianya dan marah besar.
Tidak ada yang berani bertanya, Alby terlalu terkenal di wilayah kantor ini.
Tanpa ucapan selamat pagi atau kata sopan lainnya, Alby membuka pintu kaca dengan tulisan General Manager. Alby tidak perlu kaget melihat ruangan ini sudah terisi, karena memang penghuni ruangan ini selalu datang lebih pagi daripada anak buahnya, termasuk Kania.
Alby melenggang masuk ke dalam, masih dengan keadaan tanpa berbicara. Alby duduk di salah satu kursi hitam depan meja kerja, menatap tajam ke arah pemilik ruangan itu.
"Kalau kamu mau tanya keberadaan Kania, jawabannya saya tidak tahu. Saya lost contact dengannya setelah malam itu," ucap wanita itu dengan cepat. Terlihat sangat jelas dia enggan berurusan dengan Alby. "Silahkan keluar, jika kamu sudah mendapatkan yang kamu mau."
Alby mendengus kesal, akhirnya dia tahu asal usul sikap ketus Kania. Alby memajukkan tubuhnya, memainkan papan nama putih dengan rangkaian kata Naraya Saraswati berwarna emas.
"Masalahnya, saya belum mendapatkan yang saya mau." Aya mengkerutkan keningnya, "Ceritakan pada saya tentang kehidupan Kania, bagaimana cara keluarga Kania memperlakukan Kania selama ini?"
Aya membuka mulutnya sedikit lalu tertawa mengejek mendengar pertanyaan Alby.
"Kamu tidak bertanya tentang keberadaan Kania, tapi kamu justru bertanyaan tentang kehidupaan Kania. Wah, kamu sedang merencanakan apa Bapak Alby Bagaskara yang terhormat? Apa kamu ingin menggunakan kelemahan Kania untuk menyerangnya? Saya dengar beberapa investor menarik sahamnya dari hotelmu setelah kejadian malam itu, saya yakin otakmu itu pasti sedang merancang sesuatu agar Kania terlihat buruk. Karena tidak mungkin, kamu mempedulikan wanita yang..."
BRUKKK!!!
Tangan Alby menghantam atas meja, mata cokelatnya menatap nyalang ke arah Aya.
"Jawab saja pertanyaan saya, Ibu Aya."
"Saya tidak akan memberikan informasi penting agar bisa kamu gunakan untuk kepentingan bisnis, sudahlah, Pak Alby. Jangan mencoba untuk menyelamatkan diri sendiri, Kania saja belum ditemukan hingga detik ini. Saya tidak mempemasalahkan jika kamu tidak mencintai Kania, tapi setidaknya tunjukkan empati untuk Kania. Mungkin saja Kania—"
"Saya sedang melakukannya, setiap informasi yang kamu katakan bukan untuk kepentingan bisnis. Tapi untuk Kania, saya butuh informasi tentang Kania sedetail mungkin."
"Untuk apa?" Aya bersikeras, dia masih tidak percaya jika Alby bertanya tentang Kania bukan untuk kepentingan bisnis.
Alby menyandarkan tubuhnya pada kursi hitam, melonggarkan ikatan dasi seakan oksigen dalam tubuhnya mendadak menurun secara drastis.
"Untuk membuat Kania bahagia."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top