5

Sebelum dibaca, mohon refresh dulu wp kalian. Ini republish dengan penambahan alur, drpd kalian comment ngeluh krn byk part kepotong, double, dsb. Lebih baik kalian melakukan yang aku sarankan... :) Thx u sdh mau membaca...

Putra memasuki apartemen Alby dengan tergesa-gesa, sepanjang perjalanan menuju apartemen ini Putra mencoba mengingat apa dia melakukan kesalahan dalam mengerjakan perintah Alby. Sudah tiga hari ini emosi Alby tidak stabil, dan Putra mulai kelelahan. Begitu Putra masuk ke dalam apartemen, hatinya mencelos secara perlahan. Apa lagi penyebabnya kalau bukan wajah jutek nan sadis yang ditunjukkan Alby, pria yang sudah menjadi atasannya selama tiga tahun. Alby terlihat tengah berdiri di perbatasan antara ruang tamu dengan pantry, berkacak pinggang dengan rahang mengeras menahan amarah.

Mati gue, ngamuk nih. Pasti ngamuk, rintih Putra dalam hati.

"Selamat pagi, Pak. Ada hal penting apa yang bisa saya bantu?" Putra mencoba basa-basi, Alby menurunkan kedua tangannya dari pinggang, mengusap bulu halus sepanjang tulang rahangnya.

"Kamu temui pengelolah gedung ini, bilang pinjam ruang serba guna yang ada di lantai satu. Persiapkan untuk kita press conference," perintah Alby.

"Press con? Tapi, Pak.."

"Tapi apa? Kania sudah di sini, kita bisa segera melakukan rencana yang saya bilang sama kamu kemarin malam." Alby mengangkat jari telunjuknya di udara, menujuk ke arah sofa ruang tamu. "Kamu, lakukan yang aku minta. Kamu harus mengingat dan mengatakan semua kata sama persis dengan yang aku buat. Jangan mencoba untuk mengacau lagi. Paham, Kania?"

Putra memandang Alby dan sofa itu secara bergantian, "Pak.."

"Apa?" Alby terdengar sangat ketus, pandanganya masih tidak lepas menatap Kania.

"Bisa kita bicara dahulu sebelum melakukan hal yang Pak Alby mau?" Alby memandang Putra, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana bahan warna hitam. "Berdua saja, ada masalah penting yang harus saya sampaikan."

"Halah!" Alby mengeluarkan satu tangan dari saku celana, mengibaskan tangan ke depan bagaikan mengusir nyamuk, "Kamu biasa mengatakan semua urusanku di hadapan Kania, lakukan seperti biasanya. Toh, kamu sendiri sudah mendapatkan perintah langsung dari Kania sebelumnya."

"Harus mengatakan apapun tentang Alby secara terbuka." Alby dan Putra mengucapkan kalimat itu secara bersamaan.

Alby memasang wajah enggan untuk bicara berdua, sementara Putra terlihat semakin memaksa.

"Hanya sebentar, Pak. Urgent." Alby menyerah menuruti apa yang diinginkan Putra.

"Kamu tunggu di sini, pelajari semuanya secara benar," kata Alby seraya melihat ke Kania. Lalu berjalan masuk ke dalam kantor pribadinya diikuti oleh Putra.

Hampir 45 menit kedua pria itu berbicara di dalam kantor, entah membicarakan apa hingga akhirnya Putra keluar lebih dahulu. Sama seperti awal dia masuk ke dalam apartemen, kini Putra pun keluar dari apartemen secara tergesa-gesa. Sebelum pintu tertutup sempurna, Putra menyempatkan untuk melihat ke arah sofa. Lalu dia mengembuskan napas kasar seraya menggelengkan kepala.

Tidak berapa lama Alby pun keluar dari kantor, tanpa banyak kata Alby berjalan dan segera duduk di sofa ruang tamu. Di samping Kania.

Ada yang berbeda dari penampilan sebelumnya, rompi silver yang tadi dipakai oleh Alby terlihat sudah dilepas. Wajah galak penuh amarah berubah menjadi wajah tegang penuh kebingungan, kening Alby pun mengkerut hingga membentuk huruf V.

"Seberapa parah kekacauan yang aku buat?" tanya Kania secara tiba-tiba. Dia tidak melihat Alby, mata Kania terlalu fokus melihat dua majalah berhiaskan foto Alby dan dirinya.

Satu menit.

Lima menit.

Sepuluh menit.

Lima belas menit.

Tidak kunjung terdengar jawaban dari Alby, Kania memberanikan menoleh ke arah pria itu.

Suasana hening semakin menyelimuti keduanya, keduanya hanya saling mengadu pandangan. Tenggelam dengan pemikiran masing-masing, mencoba menebak apa yang ada di dalam pikiran lawan bicaranya saat ini.

"Papa bilang, aku selalu membuat kekacauan. Semua yang kukerjakan akan berakhir dengan kekacauan tingkat tinggi, tidak seperti Kak Kian. Dia selalu berhasil melakukan semuanya dengan begitu sempurna, bidang yang dia tekunin, pekerjaan di perusahaan Papa. Berbanding terbalik denganku, bisa dibilang Kania itu seorang..."

"Kamu mengerjakan semuanya dengan sempurna, pekerjaanmu. Ya, sejauh penglihatanku. Kamu selalu berhasil melakukan semuanya dengan hasil memuaskan, sempurna," sanggah Alby.

Alby menggedikkan kedua bahunya, "Kamu seorang model iklan paling laris saat ini, wajahmu banyak dipakai untuk iklan-iklan komersil di Indonesia. Kamu juga seorang kepala editor majalah ternama, walaupun sejauh ini kamu hanya membanggakan pekerjaanmu sebagai kepala editor bukan model iklan, tapi kamu selalu mengerjakan keduanya dengan baik." Alby menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi, masih dengan memandangi Kian. "Kamu selalu mengerjakan pekerjaan kamu dengan sepenuh hati..."

Kania menarik paksa kedua sudut bibirnya ke atas, "Dan, sepertinya aku juga mengacaukan hubungan kita dengan sempurna."

Kania melirik kembali ke arah majalah yang ada di atas meja, diikuti oleh Alby.

"Bisa iya, bisa juga tidak. Ya, seperti yang ada di headline majalah itu. Kamu mabuk dan mungkin kamu juga sedang banyak tekanan pekerjaan, jadi..." Alby benci harus mengakui ini, tapi tatapan Kania saat ini membuat hati Alby bergentar aneh. Alby meraup wajahnya dengan kasar, "Istrirahlah di kamar tamu, letaknya berada di tengah-tengah kamar tidurku dan kantor."

"Istirahat? Kita nggak jadi melakukan yang kamu inginkan? Meluruskan masalah atau apa pun itu."

Alby menegakkan tubuhnya, mengedarkan pandangannya ke segala arah lalu kembali memandang Kania.

"Kamu bilang nggak mau Om Ryan tahu keberadaanmu, kalau kamu muncul di depan media. Aku yakin dalam hitungan jam para bodyguard Om Ryan ada di depan pintu apartemenku dan memaksamu untuk pulang."

Wajah Kania berubah Pias dan Alby tidak suka itu, bukan hanya tentang wajah Kania. Alby tidak suka keseluruhan diri Kania saat ini.

Alby mengusap dagu, tulang rahang. Sebelum akhirnya meraup wajahnya dengan kasar, seakan mencoba untuk mengisir sesuatu Alby melirik ke arah Kania, wanita itu duduk dengan tubuh tegang. Sorot Kania menunjukkan kesedihan yang tidak pernah dilihat Alby sebelumnya, bibir wanita itu bergetar kecil memperlihatkan emosi seperti apa yang coba Kania kendalikan. Dengan keraguan Alby memberanikan diri menyentuh tangan Kania, mengelus buku-buku tangan Kania dengan ibu jarinya.

"Kenapa kamu datang ke sini?"

"Hah?"

"Iya. Kenapa dari sekian banyak tempat di Jakarta, kamu memilih untuk berdiri di depan gedung apartemenku?"

Kania mengangkat kedua bahunya bersamaan, "Entah, aku hanya turun dari satu bus ke bus lain. Dan tadi pagi, hati kecilku menyuruh untuk turun di tempat ini."

"Jadi selama tiga hari ini kamu pergi ke sembarang tempat?" Lagi untuk kesekian kalinya, Alby menatap tidak percaya ke arah Kania. Kania bersiap untuk menjawab namun Alby lebih dahulu melanjutkan ucapannya. "Bersembunyi di sini selama yang kamu mau, nggak akan ada yang bisa menyakiti kamu." Kania memandang Alby tidak percaya, beberapa jam lalu ada pria yang memperlakukannya dengan kasar. Meneriakinya dengan kata-kata tajam dan saat ini ada pria yang menjanjikan tempat berlindung, anehnya pria itu pria yang sama.

Menyadari Kania menatapnya dengan tatapan menyelidik, Alby bersiap menarik mundur tangannya. Tapi Kania dengan cepat menahan menggunakan satu tangannya yang kosong.

"Kamu sangat berubah, maksudku penampilanmu terlalu berbeda. Karena seingatku, kamu nggak terlalu menojol dibandingkan tiga kakak laki-lakimu. Eh, benar kan kalau punya tiga kakak laki-laik? Satu kandung, dua sepupu. Ya, maksud aku-" Alby menutup mulut Kania dengan tangannya.

"Sebenarnya apa yang ingin kamu sampaikan? Aku nggak lebih baik dari tiga pria Bagaskara lainnya?" Kania menggeleng cepat tanpa menyingkirkan tangan Alby dari depan bibirnya. "Sudah-lah. Kamu hanya sedang lelah dan bingung dengan keadaan ini, istirahatlah di kamar. Jangan memikirkan apapun, urusan media biar aku yang urus."

Untuk kesekian kalinya, pandangan keduanya saling mengadu. Alby menyingkirkan tangannya dari bibir Kania secara perlahan, mengarahkan tangannya ke kulit pipi Kania. Rasa dingin menyambut jari-jari Alby, membuat pria itu buru-buru mengalihkan tangannya menuju ke pundak Kania. Mengusap puncak bahu Kania dengan hati-hati.

Bisa dibilang ini adalah hal lembut pertama yang dilakukan Alby, setelah 6 bulan hubungan mereka hanya diisi saling adu pendapat ataupun perang kalimat menohok.

"Apa hubungan kita sudah kacau dari awal? Atau..."

"Sudah aku katakan, jangan memaksakan diri untuk berpikir. Semua kekacauan saat ini, terjadi karena salah paham," ucap Alby. Dia mencoba meyakinkan Kania, walaupun sepertinya gagal.

"Aku tanya, apa hubungan kita sudah kacau dari awal? Atau aku penyebab kekacauan hubungan kita? Kamu selalu mengatakan 'kekacauan yang kamu buat' dari awal pertemuan kita."

Alby menarik napas lalu mengembuskan secara perlahan.

"Tidak, hubungan kita baik. Sangat baik dan aku yang mengacaukan semuanya, bukan kamu," jawab Alby.

Alby merasa mual dengan jawabannya sendiri, Tuhan pun tahu jawaban sebenarnya dari pertanyaan Kania. Mereka berdua yang mengacaukan segalanya, Kania terlalu emosional dan Alby terlalu enggak untuk meluruskan keadaan.

Kania memaksakan diri puas dengan jawaban Alby. Seakan tahu usahanya berhasi, Alby menyingkirkan tangannya dari pundak Kania, membetulkan posisi tubuhnya lurus ke arah depan. Kania berdiri, bersiap untuk melangkah menuju ke arah kamar tamu.

"Alby," panggil Kania dengan sangat lembut. Untuk sesaat Alby memilih memejamkan matanya daripada segera melihat ke arah Kania, Lalu Kania memanggil namanya untuk kedua kalinya, dan Alby membuka mata, membalas tatapan Kania.

"Apa?"

"Mungkin saat ini otakku terlalu bingung untuk mengingat semua hal tentang kita, tapi setidaknya aku berhasil menemukan satu kesamaan yang membuatku yakin sebelumnya kita adalah pasangan sempurna." Alby menaikkan satu alis, ada rasa was-was menunggu lanjutan dari kalimat Kania. "Kita sama-sama terbiasa dibandingkan dengan orang yang kebetulan lahir lebih dahulu dari kita, merubah kita menjadi semacam bayangan atau bahkan ilusi bagi orang yang mengenal kita hanya sekedar lewat. Memaksa kita berusaha keras menjadi sempurna atau sekedar setara dengan pendahulu kita." Setelah mengatakan itu Kania menghilang dari pandangan Alby.

Seketika Alby menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa, mencoba mengendurkan otot-otot dalam dirinya yang tegang sejak matanya melihat Kania, Alby mengadahkan kepala dan memandang langit-langit putih.

Kamu benar! Itu kesamaan kita, Kania    

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top