12

MOHON DIREFRESH DULU SEBELUM BACA, KRN INI REPUBLISH DGN TAMBAHAN PART...

Alby menuruni kapal boat setelah dua jam melakukan perjalanan, pria itu segera mengedarkan pandangannya ke segala arah memastikan tentang betapa indah pulau ini. Kata orang, Pulau Pantara adalah Pulau paling bagus dari semua Pulau yang ada di Kepulauan Seribu, letaknya lebih jauh dari Pulau yang lain, keadaannya masih bersih dan sepi. Wajar sepi karena untuk tiba di sini, wisatawan harus merogoh kocek lumayan dalam. Dan sepertinya Kania menyukai tempat ini, lihat saja, wanita berlari lincah mendahului Alby. Membiarkan kakinya menyusuri jembatan yang terbuat dari kayu.

Alby tersenyum puas seraya memperhatikan punggung Kania.

"Mari, Pak. Saya antarkan ke cottage pesanan Bapak." Seorang pria dengan tubuh tambun dan kulit sedikit gelap membuyarkan konsentrasi Alby pada Kania.

Tidak banyak bicara Alby mengikuti pria itu, tanpa Alby sadari si pria dengan name tag Ujang beberapa kali melirik ke arah Alby dan dua koper di tangannya. Terlihat ingin memastikan sesuatu, namun berakhir dengan gelengan kecil.

Tidak memakan waktu yang lama, Alby dan Ujang sudah berada di depan sebuah cottage. Ujang membuka pintu kayu kombinasi kaca dengan cepat, memasukkan dua koper di salah satu sudut kamar.

"Apa ada yang masih bisa saya bantu, Pak?" tanya Ujang seramah mungkin.

Alby masuk ke dalam cottage melewati Ujang, cukup lama Alby hanya membiarkan Ujang memperhatikan gerak-gerak Alby lalu menggeleng pelan sebagai kode untuk Ujang segera pergi dari cottage. Tidak perlu membuang waktu lagi, Ujang pergi begitu saja.

Alby menutup pintu cottage, bersiap untuk menutup selutuh tirai putih yang mengelilingi cottage.

"Jangan ditutup, aku ingin menikmati pemandangan di luar sana," pinta Kania.  Alby menghentikan gerakan tangannya lalu berputar memandang Kania. Wanita itu duduk di tepi tempat tidur, tatapannya lurus memperhatikan pemandangan yang nampak jelas di luar sana. "Ini keren banget," ucap Kania penuh kekaguman.

Alby memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana short jeans-nya, tidak berjalan menghampiri Kania memilih menyandarkan tubuhnya pada salah satu tangan kursi kayu.

"Kamu bahagia?" Pertanyaan tentang bahagia kembali keluar dari bibir Alby.

Kania mengalihkan pandangannya dari Pantai ke Alby, tersenyum begitu lebar. Sangat lebar hingga membuat efek tidak biasa pada jantung Alby.

"Banget!" Kania loncat dari tempat tidur, berjalan riang menuju ke arah Alby. "Tempat ini ada di urutan kedua setelah Maldives, eh.." Kania terlihat berpikir sejenak, "Aku lupa tempat ini ada di urutan ke berapa yang pasti, ini masuk daftar tempat keren yang harus aku kunjungin." Kania meraih lengan Alby. "Terima kasih sudah membawaku ke tempat ini."

Alby mengeluarkan tangan kanan dari saku celana, membawa jari-jarinya ke wajah Kania. Menyusururi kening Kania, tulang hidung, hingga berhenti tepat di atas bibir Kania. "Beritahu tempat mana saja yang ingin kamu kunjungi."

"Kenapa?"

"Kita akan ke sana."

"Serius?"

"Hmm..."

Kania menggeser kepalanya sedikit ke kanan, membuat jari Alby kehilangan bibir Kania.

"Sebenarnya untuk sekarang ini, pergi ke mana pun tidak terlalu masalah bagiku. Asalkan.." Kania memperdalam tatapannya pada Alby, "Ada kamu."

Kania menangkap jari telunjuk Alby, meminta Alby untuk mengikuti dirinya.

"Mau ke mana?"

"Keluar dong, Alby. Main air, main pasir. Kita ada di pantai, masa mau diam aja di dalam kamar. Gak asyik."

"Tapi..."

Kania tidak mau menerima bantahan dari Alby, dalam waktu singkat keduanya sudah berada di luar. Alby sempat melepaskan tangan Kania, untuk sekedar memakai kembali sandal yang tadi dia lepas. Tapi Kania memandangnya dengan aneh, mengajukan protes karena Alby memakai sandal untuk berjalan di pantai.

"Nggak seru, Alby," kata Kania. "Lebih enak kalau kaki kita bersentuhan langsung dengan pasir." Kania mengatakan itu seraya berlari menuju bibir pantai, tawa Kania menggema bersahutan dengan deru ombak.

Alby memperhatikan kakinya, akhirnya pria itu memutuskan untuk mengikuti jejak Kania. Membiarkan kakinya bersentuhan langsung dengan hamparan pasir, Kania tersenyum puas melihat Alby bergabung dengannya.

"Enakkan?" Kania mencoba mencari pembenaran, mata cokelatnya berbinar.

Alby menghela napas, mengangguk sebagai jawaban iya.

Kania meloncat kegirangan, wanita itu bergerak semakin maju ke bibir pantai. Membiarkan air melewati kakinya begitu saja, Kania mengabaikan itu. Dia terlalu senang karena berada di tempat ini. Kania bergerak ke sembarang arah, merentangkan tangan, menikmati udara yang lagi-lagi melewati tubuhnya begitu saja.

Alby masih berdiam diri, tidak berniat untuk ikut melakukan yang dilakukan oleh Kania. Hanya dengan memperhatikan Kania seperti ini sudah berhasil membuat Alby mendapatkan sedikit kelegaan, tidak ada Kania dengan senyum palsu yang biasa dia lihat. Senyum Kania di depan sana begitu lepas, itu senyum tercantik yang pernah dilihat Alby.

Cantik? Kania memang selalu cantik dan sempurna, kapan Kania muncul di depannya tanpa wajah cantik? Tapi kali ini, Kania lebih cantik.

"Argghhhh!!! Aku bahagia banget!" teriakan Kania terdengar keras. "Hey, you! Sini! Mau jadi penjaga pantai?" Kania melemparkan godaan untuk Alby, "Ayo, jangan jadi Alby yang kaku hari ini. Kamu bukan pengusaha saat ini! Kamu... hanya Alby Bagaskara."

Seperti terkena sebuah mantra, Alby mengikuti arah telunjuk Kania membawanya.

Dinginnya air laut mulai menyentuh kulit kaki Alby, tidak butuh waktu lama Alby sudah berhadapan dengan Kania.

"Menyenangkan bukan?" Kania memandang air yang menyentuh kaki Alby, "Dari dulu aku suka pantai, setiap kali aku sedih atau merasa butuh tempat untuk menyepi. Pantai adalah pilihan pertamaku, seakan aku bisa melemparkan semua bebanku ke lautan. Aku paling suka bagian saat aku teriak.. Seperti ini... ARGHHHHHHHHHHHHHHHHHH!!!" Kania berteriak sekuat tenaga, tidak mempedulikan Alby memperhatikan hingga satu alis pria itu terangkat. "Coba, teriak! Ayo, Alby."

Detik berikutnya suara teriakan Kania dan Alby bersahutan hingga keduanya kelelahan.

Kania tertawa, begitu pun Alby.

"Apa sudah lega?" tanya Kania.

Alby duduk di pinggir pantai, membiarkan air membasahi celana jeans yang dia pakai.

"Lega?"

"Iya." Kania duduk di sebelah Alby, "Semalam kamu bilang sedang banyak pikiran, aku tahu rasanya banyak pikiran. Itu seperti ada di satu ruangan pengap tak berujung, melihat ada sinar terang, tapi tak kunjung berada di sana."

Alby tersenyum, "Sedikit, berteriak cukup menyenangkan."

"Apa kamu memilih Pulau ini karena kamu tahu aku akan bahagia di sini?"

Alby mengedikkan bahunya, "Kamu pernah meminta liburan ke sini, sebelum kita bertengkar. Tapi aku menghindar dengan berbagai alasan pekerjaan, jadi.." Alby mengambil napas dalam-dalam lalu mengembuskannya secara perlahan. "Jadi aku ingin membawamu ke sini, dan sepertinya kamu puas."

"Lebih dari puas, aku bahagia." Kania menyandarkan pelipisnya pada lengan Alby, tangan kanannya bergelayut manja. "Aku ingin menikah di pantai, saat senja datang. Pasti romantis banget. Apa kamu suka pantai? Apa nanti pantai akan menjadi tempat pernikahan kamu?"

Hening, hanya deru suara ombak yang mengisi kesunyian diantara keduanya.

Alby memejamkan mata, "Jika nanti kamu menjadi pendampingku, pantai akan jadi urutan pertama di daftar tempat pernikahanku." Saat Alby membuka mata, ombak yang cukup keras menghantam kedua kakinya.

Ujung dagu Kania bertumpu pada lengan Alby, mata cokelat Kania memandang penuh arti ke arah Alby.

"Apa kita akan menikah?"

"Kita sudah dijodohkan."

"Apa kamu mau menikahiku? Menikah karena dijodohkan sangat jauh artinya dengan keinginanmu menikahiku."

Alby memiringkan kepalnya hingga menyentuh puncak kepala Kania. "Selesaikan masalah kita, setelah itu kita bicarakan tentang hati."

Alby gamang. Keinginan hatinya untuk Kania segera pergi dari hidupnya, hilang secara perlahan. Bagaikan terbawa ombak di lautan lepas.

"Alby, aku ingin seperti ini denganmu selama mungkin. Tahu nggak sih kamu? Semua rasa khawatir dalam diriku hilang, apa kamu juga mau bersamaku selama mungkin?"


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top