1

Kania turun dari mobil Alphard hitam milik sang Papa dengan sangat hati-hati, tak jarang Kania harus mengangkat ujung roknya sedikit untuk mencegah hal yang tidak dia inginkan terjadi, seperti jatuh dan diabadikan dalam sebuah foto lalu menjadi sampul majalah. Kalau itu terjadi, Kania mungkin akan memilih mengurung diri di rumah daripada keluar namun reputasi sempurnanya merosot. Ya—Kania terkenal dengan kesempurnaan, baik sebagai model ataupun kepala editor majalah.

Kania segera mengedarkan pandangannya ke segala arah, menghela napas kasar karena merasakan ini akan jadi malam terpanjang dalam sejarah dia melakukan peran 'Kekasih Alby Bagaskara'.

"Jalan, Nia. Kok, jadi patung di sini." Kania merasakan tangannya tiba-tiba ditarik sedikit ke samping, Kania ingin melancarkan protes tapi tatapan dari pelaku penarikan membuat Kania menelan kembali bulat-bulat protesnya.

"Kenapa sih, Ma?" tanya Kania malas-malasan, Kania bisa menebak ditujukan untuk apa tatapan tegas sang Mama.

"Jangan membuat kekacauan," bisik Ibu Yohana—Mama Kania. Tanpa menghilangkan sedikit pun senyum dari wajah beliau, dengan tangan masih setia melingkar pada lengan Kania. Mempertontonkan pada banyak orang yang datang seberapa dekat hubungan Ibu dan anak yang mereka punya, tak berapa lama rangkulan terasa pada pundak Kania. Dan Kania tersenyum semakin lebar, berusaha menegaskan tentang bahagia yang dia rasa selama berada di tempat ini. Di gedung hotel bintang lima, yang kebetulan adalah milik kekasihnya.

"Senyum seperti ini sepanjang acara, Nia. Papa mau, kamu terlihat sempurna." Kali ini bisikan datang dari Pak Ryan—Papa Kania. Seketika Kania menahan diri untuk tidak muntah, karena kata sempurna yang diucapkan oleh Pak Ryan sungguh sangat memuakkan.

"Aman, Pa. Kapan sih, aku tidak pernah bersikap sempurna untuk Papa?" Kania mengucapkan rangkaian kata dengan nada menyindir, Kania berjalan masuk diapit oleh orang tua-nya. Begitu dia berhasil masuk ke dalam gedung hotel, orang pertama yang dia cari adalah sang pemili, Alby Bagaskar. Karena Kania paham, kesempurnaan yang diminta oleh sang Papa memerlukan Alby untuk melengkapinya. Ibu Yohana dan Pak Ryan, melepaskan tangan mereka dari tubuh Kania. Mulai berpencar, mencari; kolega, rekan bisnis, teman ataupun teman gosip untuk berbagi informasi, sekaligus menunjukkan pada dunia jika mereka mempunyai tempat di kalangan atas. Tentu saja Pak Ryan dan Ibu Yohana mempunyai tempat yang lebar di kalangan atas. Siapa yang tidak kenal Ryan Atmadja? Pengusaha property nomor satu di Indonesia, tentu saja orang-orang akan senang hati berkomunikasi dengan Pak Ryan. Ditambah sedang kencang berhembus kabar tentang rencana pernikahan Alby dan Kania. Alby yang kebetulan tercatat sebagai salah satu pewaris perusahaan kontraktor nomor wahid se-Asia, berhasil membuat Pak Ryan semakin disegani sekaligus didekati untuk kepentingan bisnis.

Pak Ryan tidak masalah jika didekatin untuk kepentingan bisnis, toh, dia juga bisa mendapatkan keuntungan yang lebih banyak dari para kolega bisnisnya itu. Yang Pak Ryan permasalahkan saat ini adalah posisi Kania.

Wanita itu telihat masih berdiri di posisi awal dengan mata terpaku pada satu pemandangan yang ada di salah satu sudut hotel, pada tempat duduk yang berada di depan pintu kaca menuju area swimming pool. Mempertontonkan sepasang suami istri yang terlihat begitu bahagia, tenggelam dengan dunia sendiri tanpa mempedulikan suara ramai orang ataupun iringan lagu. Pada jarak sejauh sekarang, Kania masih mampu merasakan sebesar apa cinta di antara keduanya, sepasang suami istri itu. Rasa cinta yang mereka miliki terlalu besar hingga membuat satu orang sedang menatap mereka dengan iri, salah, dua orang. Yang satu mengawasi dari kejauhan, sementara yang satu menyaksikan secara live.

Kania tidak sengaja bertemu dengan mata Pak Ryan, seperti telah mendapatkan ultimatum untuk bergerak. Kania buru-buru mengambil gelas kaca berisikan sampanye, sekaligus berjalan membelah keramaian. Tentu saja dia masih mempertahankan senyum sempurna miliknya, sesekali menundukkan kepala sedikit untuk menghormati tamu yang lebih tua. Tidak butuh waktu lama untuk Kania keluar dari keramaian dan tiba pada satu lorong menuju sebuah ruang dengan tempelan office. Beruntung Kania pernah ke sini dua kali untuk 'mengikuti' Alby, jadi dia tidak perlu kesasar ke ruang lain.

Kania masuk dengan hati-hati, lalu dia tersenyum tipis saat mendapati yang dia cari tengah duduk di depan sebuah layar besar yang tersambung dengan ratusan CCTV hotel ini. Kania mengambil posisi dia, ikut memandang layar dan menegak minumannya sedikit demi sedikit.

"Kenapa tidak dibesarkan saja bagian yang kamu mau? Aku tahu, pandanganmu itu tertuju pada keadaan di dekat pintu menuju swimming pool." Kania meletakkan gelasnya di atas meja, mencoba mengambil alih keyboard dan mouse untuk mengatur posisi layar. Kania hampir berhasil, namun niatnya tertahan yang disebabkan oleh cengkraman kuat pada punggung tangannya. "Kenapa, Alby? Aku sedang membantumu melihat wanita yang kamu mau, sekaligus aku ingin membuatmu sadar. Dia bukan lagi wanita bebas yang bisa kamu pandangi sepuas hati, dia itu—"

"Stop," geram Alby. Matanya menatap tajam mata Kania, dia merasa lelah dengan semua olok-olok yang selalu dikeluarkan oleh Kania setiap kali mereka bertemu. Alby melepaskan cengkraman tangannya dari Kania.

Kania mendengus, "Dia itu Elora Wildani Bagaskara, dia sudah menyandang nama belakang Bagaskara. Nggak perlu lagi kamu berikan nama belakangmu. Sampai kapan kamu akan terus seperti ini? Akui saja lah...." Kania menahan napas, saat menyadari tubuh Alby bergerak maju. Membuat dirinya semakin menempel dengan tembok, tatapan Alby begitu dingin sekaligus mengejek.

"Kenapa kamu harus repot-repot mengurusi hatiku, Kania? Apapun keinginan aku, semua urusanku. Oh, ayolah! Jangan terlalu mendalami peran sebagai kekasihku, karena itu semua hanya untuk sebuah pertunjukkan. Tuhan pun tahu, aku dan kamu bagaikan gelap dan terang. Tidak akan pernah bisa beriringan," ucap Alby. Satu tangannya masuk ke saku celana, sementara tangan satu lagi meraih ujung dagu Kania. "Berhenti mengomentari tentang hatiku, ke mana hatiku berlabuh atau apapun itu."

Alby melepaskan dagu Kania dengan kasar, memutar posisi tubuhnya, berniat untuk pergi meninggalkan Kania.

"Mau kamu pandangi dia terus, dia nggak akan pernah membalas pandanganmu. Karena bagi dia, kamu hanya lah adik ipar. Tidak lebih." Alby memutar tubuhnya menghadap Kania, membuka lebar matanya menunjukkan kemarahan dalam dirinya terpancing keluar karena Kania terus mengutarakan pendapat tentang perasaannya pada Elora. Wanita yang mencuri seluruh perhatiannya sejak dua tahun lalu, dan sialnya wanita itu jatuh pada Ardiaz Bagaskara. Kakak kandungnya. "Berhenti menciptakan ilusi semu tentang kebersamaan kalian, karena itu nggak akan pernah terjadi."

Kania menegakkan tubuhnya, memberanikan diri berjalan mendekat ke arah Alby. Jari telunjuknya terjulur menuju wajah Alby, bermain di atas bulu-bulu halus yang menghiasi tulang rahang Alby. Pandangan keduanyan saling mengadu, saling bertukar embusan napas.

"Menyerahlah Alby, tinggalkan perasaanmu pada wanita itu." Wajah Kania semakin dekat dengan wajah Alby, puncak hidung keduanya saling bersentuhan. "Apa aku harus berhubungan dengan Ardiaz dulu, baru kamu mau memandangku sebagai wanita? Kamu selalu menyukai wanita yang diinginkan oleh Ardi—"

Alby menghentikan perkataan Kania dengan bibirnya, putus asa terasa sangat jelas mendamping adegan ciuman bibir yang dilakukan oleh Alby. Kania terkejut, tapi tidak lama. Tangan Alby merengkuh pinggang Kania, sementara kedua tangan Kania hanya mampu mencengkram sisi kemeja Alby pada bagian dada bidang pria itu. Setelah merasa cukup menguasai Kania, Alby menghentikan pergerakkan bibirnya. Kania menahan seringai puas untuk ciuman yang baru saja terjadi antara mereka. Dan Alby menyadari itu.

"Wow, untuk pertama kalinya kamu mencium bibirku. Biasanya kamu hanya mau mencium kening ataupun pipiku, itupun terjadi dihadapan orang banyak. Tapi kali ini, kamu mencum bibirku dan di ruang tertutup," ucap Kania penuh semangat. "Kemajuan, apa kah kita harus mengulangnya lagi nanti saat di depan wartawan dan keluarga kita?"

Alby menggerakkan jarinya di atas kulit bibir, matanya mengawasi setiap gerak gerik Kania. Terutama raut wajahnya saat mengartikan ciuman yang dia lakukan beberapa menit lalu.

Alby menghela napas kasar, lalu memutar bola matanya malas. "Membosankan.. "

Tidak mempedulikan reaksi kaget Kania, Alby berjalan meninggalkan wanita itu.

Kania mematung, tidak mampu mengeluarkan kata, hanya tarikan napas yang tajam. Menunjukkan betapa marahnya dia saat ini, Kania memiringkan tubuhnya menempel pada ujung meja, kedua tangan dia mencengkram erat sisi meja, mencoba menyalurkan rasa sakit yang terasa menyiksa. Terutama ucapan Alby dengan kurang ajar, berputar di dalam otaknya.

M-E-M-B-O-S-A-N-K-A-N

Pria itu baru saja mengungkapkan ciuman yang mereka lakukan membosankan, di saat Kania sudah berusah melambungkan harapan. Kania merasakan dirinya kesusahan bernapas, topeng wanita sempurna dan bahagia Kania lepaskan begitu saja. Dirinya sudah di ambang batas, dia tidak mampu lagi menghadapi kehidupan palsu ini.

"Aku menginginkan kebersaman denganmu secara utuh atau nggak sama sekali," bisik Kania penuh tekat.

Tak berapa lama air mata lolos membasahi wajah cantik Kania.

"Sandiwara ini berakhir, Alby. Nggak peduli setelah ini hidupku akan sepanas di neraka, toh, memang selama ini aku hidup dalam surga palsu," kata Kania pada dirinya sendiri. Kania mulai tertawa getir, sekaligus menghapus air mata yang tak kunjung mau berhenti.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top