Perfect Competition 2
Yogyakarta. 2008
Beberapa teman dekatku mulai mengadu padaku, bahwa mereka mendapat selebaran berisi salah satu kandidat yang namanya tercantum sebagai bakal calon ketua BEM tahun ini. Hanya ada dua kandidat yang maju dalam bursa perhelatan akbar event demokrasi tahunan di wilayah fakultas Ekonomi. Aku dan Naga. Temanku berkata bahwa penyebaran selebaran itu dilakukan secara tersembunyi. Aku kesal, karena belum saatnya untuk membagi-bagi selebaran semacam itu. Panitia sudah menyediakan waktu khusus mulai kapan dimulainya kedua belah pihak berkampanye.
Kalau begini caranya, Naga sudah melancarkan aksi kampanye terselubung. Aksinya tentu saja bisa mengancam posisiku. Kayaknya Naga sengaja mencuri start dariku. Aku memang bertaruh dengannya, tetapi bukan dengan cara begini. Payah, strategimu sama sekali tidak elit, Ga. Sayang sekali kecerdasan yang kamu punya tidak bisa kamu manfaatkan dengan baik.
Napasku agak tersengal ketika menemukan sosok Naga sedang merebahkan badan di bangku panjang di pojok kantin. Sebelah lengannya ia gunakan untuk tumpuan kepalanya. Aku berjalan mendekatinya, kedua mata Naga mengatup.
"Naga," panggilku.
Kelopak matanya membuka. Mata gelapnya langsung memaku pandanganku. Naga menipiskan bibir. "Hai, Vara. Kamu merindukanku?"
"Kamu ngapain?" Kuayunkan selebaran itu persis di depan mukanya.
Bibir Naga makin mengurva. Dia menegakkan badan, mendongakkan wajah, dan menatapku yang berdiri tepat di depannya. "Maumu, kan?"
"Tapi, enggak gini juga. Caramu ini sama sekali enggak benar. Kamu curang, aku akan melaporkan hal ini sama panitia biar kamu didiskualifikasi. Kamu melanggar kesepakatan!"
"Kesepakatan yang mana? Apa kamu pernah bilang secara spesifik cara apa yang akan kupakai untuk memenangkan kompetisi ini?" tanya Naga santai.
Kelopak mataku berkedut. Belum sempat aku melayangkan gugatan berikutnya, Naga menyela.
"Kesepakatan kita hanya menyebutkan hasil akhir tanpa menjelaskan prosesnya. Jadi, mau pake cara apa pun terserah aku, yang penting menang. Enggak ada yang bisa menyingkirkan aku dari kompetisi ini termasuk kamu, Vara. Cuma menang lima kali kompetisi buat sampai ke hati kamu, kan?"
Aku melengos, menghadap ke arah lain. Tersentak saat jari Naga bertengger di daguku, membuatku membelokkan pandang kepadanya. Naga memindaiku, matanya turun pada bibir dan leher. Gigiku bergemeletuk, hatiku menggeram.
Lelaki ini memegang pergelangan tangan supaya aku merapat padanya. Naga berbisik di atas telinga. Aku bisa merasakan hidungnya membentur rambutku.
"Kurang jelas apalagi sih, Var. Kamu mau bikin aku capek sama sayembara anehmu itu? Kalau yang ini menang, berarti tinggal satu langkah lagi buat menjatuhkan hati kamu. Terlalu mudah bagiku, Vara. Kamu bukan rival yang sepadan. Lima kali aku menang dari kamu, kamu harus segera putus sama Ganjar. Oke?"
Telapak tanganku mendorong dadanya menjauh. "Dan kamu juga harus putus sama Kiara."
Naga mengulurkan tangan, aku menyambutnya ragu. Dia menjabat tanganku erat. Lagi, mata pekatnya mengirim gumpalan sihir paling membahayakan di dunia. Tak mau menatapnya lama karena aku khawatir terperosok lagi ke lubang yang sama.
"Sepakat," sahutnya sembari melepaskan kaitan tangan kami. "Entar malem kamu ada acara?"
"Enggak ada."
"Bantuin ngerjain tugas dong, Var. Ada yang aku enggak ngerti, nih."
"Malas, ah. Kamu harus terbiasa bekerja mandiri, Ga. Enggak selamanya pekerjaan itu diselesaikan secara berkelompok. Biasakan ngerjain tugas tanpa bergantung sama orang lain. Biar kamu enggak kaget masuk dunia kerja ntar," sergahku.
"Aku kan, ketergantungannya cuma sama kamu, Var. Dikumpulin besok, nih." Naga menangkupkan kedua tangannya sambil mengedip-ngedipkan mata. "Please, Vara."
Bersidekap, aku mengamati tingkahnya yang selalu kekanak-kanakan. Sebetulnya aku sudah capek menghadapi sikapnya Naga, tetapi mau gimana lagi, kami sama-sama lalai. Sama-sama bersembunyi dalam balutan persahabatan, bersembunyi dari Ganjar dan Kiara untuk memekarkan perasaan masing-masing. Kami sama-sama berdusta. Menurutku, penyelewengan perasaan paling aneh yang pernah terjadi.
Aku tahu ini tidak benar, tidak semestinya terjadi. Interaksi sosialku dengan Naga seharusnya berlangsung wajar selayaknya teman biasa. Dulu kami pernah mencoba bersama, tetapi dominasi ego antara aku dan dia saling terobsesi berlomba menduduki puncak segalanya, membawa kebersamaan kami berisi kompetisi belaka. Keinginan untuk menjadi nomor satu di setiap aktivitas akademik maupun dalam pergerakan organisasi mahasiswa merupakan urutan teratas daftar keinginan kami.
Kupikir bukan hubungan kasih sayang yang sehat. Aku yang pertama kali mengusulkan melepaskan ikatan. Naga setuju, tapi dia butuh pengalihan isu untuk mengalihkan rasanya. Kepada Kiara—gadis kelas sebelah yang katanya paling bening di antara lainnya, Naga mencoba merajut kisahnya. Aku memilih Ganjar, kakak tingkat yang setiap hari mengirimiku cokelat.
Satu minggu yang lalu, Selasa petang, Naga mengeluh ingin kembali. Enak saja. Hatiku bukan barang yang segampang itu bisa diretur. Bodohnya, kenapa aku tidak menolak saja malah menawarinya tantangan. Rumit ketika aku memilih berurusan dengannya lagi.
Aku bagaikan Roro Jonggrang yang menantang Bandung Bondowoso membangun seribu candi dalam semalam untuk memenangkan hati sang Roro. Otakku tak henti berputar untuk menggagalkan keinginan Naga. Seperti Roro yang memerintahkan para dayang membunyikan lesung dan membakar jerami untuk mengelabui bahwa hari sudah mulai pagi. Bedanya, Roro Jonggrang berhasil mengelabui Bandung Bondowoso dengan strateginya, sedangkan aku belum punya strategi apa pun untuk mematahkan keinginan Naga.
"Vara? Kamu melamun?" Usapan telapak tangan Naga di pipi membuatku terlonjak. Aku menepisnya kasar.
"Aku enggak bisa bantuin kamu. Aku baru ingat kalau Ganjar akan ke rumahku nanti malam."
Naga bersiul. "Kamu sedang membangun chemistry sama Ganjar, ya? Malah kelihatan banget kalau kamu sama sekali enggak cinta sama dia. Dia enggak bakal paham sama kamu, Var. Aku tuh udah capek sembunyi, Var. Sama kayak kamu. Coba kamu lebih kooperatif dikit."
"Sok tahu. Emangnya Kiara paham sama kamu, Ga? Aku heran, Kiara mau-mau aja kamu kibulin. Dikasih apa tuh bocah sampai rela kamu jadikan tempat penampungan pelampiasanmu."
Naga tergelak, aku sempat memperhatikan lesung pipinya yang timbul. Sesaat detak jantungku berirama lebih cepat. Merasa berdosa karena memperhatikannya terlalu lama, wajahku berpaling ke samping. Pura-pura melihat seekor kucing hitam loreng berkalung lonceng yang kebetulan melintas.
"Enggak usah buka aib diri sendiri." Satu tepukan kecil mendarat mulus di ujung kepalaku lalu berubah menjadi elusan lembut hingga ke belakang kepala. "Mendingan kamu fokus sama persiapan strategi tim sukses kamu biar entar jumlah suara kita seimbang dan dilakukan pemilihan ulang. Tapi jangan dendam kalau tetap namaku yang muncul jadi pemenang di putaran kedua."
"Enggak ada siaran ulang. Cukup satu putaran dan namaku akan mendominasi pilihan. Masyarakat tahu pihak mana yang berpotensi jadi pemenang. Hanya tangan-tangan pengecut aja yang bikin kemenangannya terlihat palsu," sindirku.
"Apa pun, Vara. Enggak peduli caraku kotor bahkan keji sekalipun aku enggak peduli. Yang penting kamu mau balik lagi sama aku. Kita bisa membangun koalisi untuk menutupi kebusukan hati masing-masing. Aku paham kamu dan kamu paham aku, Vara. Mau sampai kapan kamu bersandiwara? Mau sampai kapan kamu membohongi Ganjar kalau kamu sama sekali enggak cinta sama dia?"
'Plak!'
Bola mata Naga membesar. Segera kutarik tangan dari pipinya. Kuusap telapak tangan berulang. Mataku memejam sejenak, mengatur pernapasan, menetralisir udara yang bergumul memperebutkan ruang dalam rongga dada.
"Kamu, sangat kurang ajar. Asal kamu tahu, aku cinta sama Ganjar. Sangat, melebihi rasa cinta yang pernah kurasakan padamu. Hapus saja harapanmu bersamaku, Naga. Kamu enggak akan mendapatkannya," geramku dengan intonasi sedatar mungkin, mencegah buliran bening yang menggenang di pelupuk mata agar tidak berlinang.
Lagi, bibir Naga membentuk kurva. Kali ini bermaksud meremehkan.
"Oya? Lantas, untuk apa kamu sok-sokan bikin tantangan buat aku kalau kamu cinta banget sama Ganjar? Kamu itu aneh, Var. Mana ada perasaan dibikin taruhan. Tapi aku sadar kalau aku lebih aneh dari kamu. Mau-maunya aja nerima kesepakatan enggak penting demi balikin hati yang pernah kamu kasih sama aku."
Aku mengibaskan tangan kemudian membalikkan badan, berkata sambil lalu. "Iya, hatinya aku ambil lagi karena aku enggak ikhlas ngasih ke kamu."
Kudengar Naga tertawa kencang. Otomatis langkahku terhenti. "Kalau kamu cinta sama Ganjar, kamu enggak akan minta aku putus dari Kiara."
Napasku terembus dalam. Aku terperangkap perangkapku sendiri. Jemariku lincah memberantakkan rambut yang tergerai melewati bahuku.
"Aku memintamu putus sama Kiara bukan berarti kita kembali. Supaya sepadan, aku berpisah dengan Ganjar dan kamu berpisah dengan Kiara," ujarku sinis.
"Bukan begitu peraturannya. Sesuai sama kesepakatan awal aja, Var. Enggak usah bertele-tele. Aku berhasil menduduki peringkat teratas dari segala persaingan yang melibatkan kita berdua, maka kamu harus bersedia balikan sama aku. Simpel. Kalau cuma mutusin Kiara, aku bisa lakuin sekarang. Aku bertahan sama dia hanya untuk mengulur waktu kapan saat yang tepat buat kembali sama kamu," sahut Naga tegas.
Ya Tuhan, mengapa lelaki ini sangat menjengkelkan? Bisakah Engkau enyahkan dia dari sekitarku bagaimanapun caranya. Ah, tolong loloskan saja rencana aplikasi pengajuan beasiswanya ke luar negeri supaya aku tidak bertatap muka dengannya lagi.
Terpaksa aku memutar badan. Ubun-ubunku cenat-cenut mendengar pernyataannya. "Kamu enggak bisa seenaknya mempermainkan perasaan perempuan, Ga. Kasihan Kiara."
"Kamu juga mempermainkan perasaan Ganjar. Kasihan dia, ketulusannya kamu jadikan alat. Kubilang kita itu sama-sama busuk makanya mendingan kita barengan aja biar enggak ada pihak tersakiti."
Kepalaku berdenyut. Rasanya tubuhku agak oleng. Sangat memalukan sampai aku pingsan di kantin. Aku mau melarikan diri.
"Vara, I love you," teriak Naga.
Lelaki sinting ini makin menjadi. Untung saja sekelilingku sepi. Cuma segelintir mahasiswa yang asyik berkutat memanfaatkan fasilitas wifi gratisan dan penjaja makanan yang kudapati tersenyum simpul kepadaku. Kupercepat langkah kaki menghindari ucapan Naga berikutnya yang kuduga lebih membahayakan dari meledaknya bom waktu.
Kursi memanjang terletak di sebelah kanan tangga lantai tiga itu aku duduki. Kedua tanganku menopang dagu, memikirkan strategi terbaik untuk berhasil mencapai puncak kompetisi. Getaran ponsel dalam saku celanaku mengurai fantasi.
Naga : Kok dicuekin. Kamu nggak mau bales i love you too sama aku gitu?
Pesan dari Naga langsung kuhapus saat itu juga. Lelaki pengganggu itu tak henti bertingkah. Aku yang setengah mati berusaha menghindari, tetapi dia malah semakin gencar mendekati. Ayo otak berpikirlah, aku tidak mau termakan kata-kataku tadi. Gawat bila sampai Naga mendominasi sayembara di antara kami. Aku tidak mau Naga kembali meski sesungguhnya dalam hatiku juga ingin merasakannya lagi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top