8. Sebuah Peruntungan
"Nay, hati-hati ya pulangnya. Hindari motor berwarna merah. Aku sedikit khawatir dengan peruntunganmu hari ini." Shita menepuk pundak Nayya pelan sebelum pergi berlalu.
Nayya melongo. Ucapan Shita selalu membuatnya bergidik ngeri. Mengingat terakhir kali ramalan yang diucapkannya sungguh menjadi kenyataan. Kenapa juga dia harus satu kelompok dengan Shita, sih. Nayya menghela napas pasrah.
Nayya segera merapikan laporan tugas kelompoknya dan memasukkan laptop ke dalam tas. Hari sudah terlalu sore dan mulai mendung. Dia harus segera pulang kalau tak ingin kehujanan. Terlebih lagi hari ini dia pulang sendirian.
Nayya mempercepat langkahnya dengan tergesa hingga sedikit gegabah saat menyeberang jalan. Suara klakson terdengar nyaring bersamaan dengan seseorang yang menarik lengannya untuk menepi. Motor merah yang melaju ugal-ugalan nyaris menabraknya kalau saja ... Valdy? Kenapa harus dia yang menjadi pahlawan hari ini.
"Kalau menyeberang jangan sambil ngelamunin pacar!"
Nayya memelotot. Kok bisa tepat sekali perkataan Valdy barusan. Sekali pun Valdy sudah menolongnya, tetapi kata-kata ketus cowok itu selalu membuat emosinya naik. Ingin sekali rasanya Nayya menjambak rambut lebat cowok itu.
"Terima kasih," balas Nayya tak kalah ketus sambil melepaskan diri dari cengkeraman tangan Valdy.
Tidak ingin semakin emosi, Nayya pun berjalan lebih dulu meninggalkan Valdy. Akan tetapi, langit seakan tak berpihak padanya. Tetesan air hujan perlahan mulai jatuh menyentuh hidung kemudian seluruh tubuhnya. Gerimis datang bersama angin dingin yang menguarkan bau lembab dari tanah yang basah.
Sebelum Nayya sempat berpikir, sebuah jaket bomber putih sudah menutupi kepalanya. Lagi-lagi Valdy menjadi penyelamatnya. Nayya mendongak dan menemukan Valdy kini tengah menatapnya khawatir. Khawatir? Nayya tidak salah menerjemahkan mimik wajah si aslab judes itu, kan?
"Jangan sampai kamu makin sakit kena hujan."
Belum sempat Nayya mengucapkan terima kasih, Valdy sudah berlari pergi mendahuluinya.
***
Nayya duduk di depan laptopnya sambil bertopang dagu, tampilan layar pembuka masih fotonya berdua dengan Devan. Namun fokus Nayya saat ini bukan pada foto penuh kenangan itu, melainkan pada jaket bomber putih yang tergantung di pintu kamarnya.
Kilasan kejadian tadi sore kembali terulang di pikirannya. Nayya mendesah pelan. Semenjak putus cinta, pikirannya makin tak fokus. Nayya mengembuskan napas kasar dan memilih untuk membuka media sosialnya. Menuliskan sebuah kata-kata puitis di beranda instagramnya bersama dengan sebuah foto tetesan hujan.
Suara tetesan hujan yang jatuh selalu membuat perasaanku bercampur aduk tak keruan.
Bersamaan dengan munculnya kenanganmu yang sulit untuk kulepaskan.
Tombol unggah ditekannya. Barisan tulisan tersebut muncul di linimasa media sosialnya. Sekali lagi dipandanginya barisan kalimat tersebut dan sebuah rasa penasaran mulai mengusik relung hatinya. Jarinya bergerak lincah mencari akun Devan. Terlalu penasaran hingga Nayya membuka instastory akun mantannya tersebut. Muncul foto cowok itu yang kini terlihat tersenyum dengan beberapa teman asingnya. Seperti tak ada raut kesedihan juga penyesalan telah melepaskan Nayya begitu saja.
Nayya menghela napas berat. Terlalu kecewa dengan apa yang baru didapatinya barusan. Sesak kembali memenuhi rongga dadanya. Ingin rasanya dia berteriak memaki Devan dan menanyakan beribu alasan yang ingin dia dengar dari cowok itu.
Seperti mengerti apa yang sedang dia rasakan, tiba-tiba saja laman instagramnya menghilang. Berganti dengan sebuah animasi kucing yang lucu. Nayya menggeser tetikusnya, tetapi laman instagramnya tak juga muncul kembali. Hingga animasi kucing menari itu selesai barulah laman media sosialnya kembali. Sungguh aneh. Laptopnya sepertinya tidak ada masalah. Jaringan internetnya juga bagus. Jadi kenapa tiba-tiba laptopnya berubah begitu? Atau jangan-jangan ada yang meretas akunnya?
Membayangkan hal tersebut, Nayya jadi takut sendiri dan segera mematikan laptopnya untuk menghentikan akses si peretas ke akun media sosialnya. Sepertinya besok dia harus minta bantuan Rino untuk memeriksa laptop dan semua akun media sosialnya. Semoga saja tidak ada data yang hilang.
***
Suara ketukan di pintu membangunkan Nayya. Dengan sedikit terhuyung Nayya melangkah menuju pintu dan membukanya.
"Loh, kamu belum siap-siap, Nay?" tanya Ranita heran. "Kamu sakit, ya?" Ranita meletakkan telapak tangannya di kening Nayya dan berjengit kaget. "Kamu demam, Nay. Mendingan kamu di kos saja, enggak usah masuk kuliah dulu hari ini."
"Kayaknya sih gitu. Kepalaku pusing banget."
"Yaudah, kamu balik tidur lagi aja. Udah minum obat belum? Udah sarapan?"
"Nanti aja deh, Ta. Tiduran sebentar lagi juga nanti aku sehat lagi."
"Oke deh, kalo ada apa-apa cepat telepon aku atau yang lainnya ya."
Nayya mengangguk lesu dengan senyum tipis yang dipaksakan.
Baru saja Nayya menutup pintu kamarnya saat sebuah ketukan kembali terdengar mampir di telinganya.
"Ada apa lagi, Ta?" Nayya kira Ranita kembali lagi, tetapi yang kini terlihat di depan kamar kosnya adalah Valdy.
"Kakak kenapa ke sini?" tanya Nayya ketus. Dia benar-benar tak ingin melihat wajah mengesalkan Valdy untuk sekarang ini. Walaupun cowok itu tinggal di gedung indekos pria yang berada tepat di depan gedung indekos putri yang ditempatinya, tetapi tetap saja, dia tak ingin sering-sering melihat wajah dingin dan judes milik Valdy.
"Jaketku."
"Oh, jaket. Tapi jaketnya belum kucuci."
"Eggak apa-apa."
"Oke, sebentar." Nayya masuk mengambilkan jaket Valdy yang dibawanya kemarin ketika kehujanan. "Ini. Makasih banyak."
Bukannya langsung pergi, Valdy justru mengulurkan tangannya yang bebas ke arah Nayya. Ada sebuah botol minuman vitamin C dalam genggaman tangannya.
"Banyakin minum vitamin biar enggak gampang sakit!"
Usai mengucapkan hal tersebut dan Nayya sudah menerima botol vitamin yang diberikannya, Valdy pun melangkah pergi. Sikap kaku dan penuh tanda tanya yang sulit ditebak itu selalu membuat Nayya bingung sekaligus heran. Tak paham juga apa maksud cowok itu dengan kalimat manis yang justru terdengar ketus dan dingin di telinga Nayya. Sungguh tak enak untuk didengar.
Tidak hanya sampai di situ, menjelang sore Valdy kembali mengetuk pintu kamar Nayya. Wajah Nayya yang terlihat pucat juga rambut kusutnya membuat tampilan wajah Nayya semakin menggelikan. Nayya yang sedikit kesal karena cowok itu mendapati penampilan terburuknya hanya bisa merengut tak senang.
"Kakak kenapa ke sini lagi? Jaketnya kan sudah kukembalikan tadi."
Tanpa bicara Valdy mengulurkan sebuah bungkusan kertas dengan logo restoran siap saji terkenal. Nayya melongo bingung.
"Buatku?"
"Temanmu menitipkannya padaku. Takut kamu belum makan."
"Hah? Oh ... iya, makasih."
Lagi, Valdy langsung berbalik pergi tanpa berkata apa-apa lagi. Nayya hanya bisa melihat punggung tegap cowok itu menjauh.
Begitu masuk ke dalam, Nayya langsung membuka bungkusan kertas tersebut. Satu buah mangkuk kertas berisi bubur hangat dikeluarkannya. Kebetulan Nayya memang belum makan dan bubur tersebut langsung tandas tak bersisa. Hingga sebuah ketukan menginterupsinya.
"Gimana keadaanmu, Nay?" kali ini benar Ranita yang datang.
"Katanya kamu sakit ya, Nay? Udah minum obat belum?" tanya Malina yang menyusul masuk diikuti Lalita dan Riana.
"Udah mendingan kok," jawab Nayya sambil tersenyum. "Oh ya, makasih ya udah beliin aku bubur."
"Bubur?" Ranita yang lainnya saling pandang bingung.
Nayya menunjuk mejanya di mana mangkok kertas bekas bubur masih tergeletak di sana.
"Siapa yang kasih?" tanya Riana curiga.
"Kata Kak Valdy tadi ...."
"Aaaah~ Kak Valdy ...." Kali ini keempat sahabatnya saling pandang dengan senyum penuh arti mengembang di bibir mereka.
"Kita baru mau tanya kamu mau makan apa, eh ternyata udah ke duluan Kak Valdy. Ya udahlah, enggak jadi."
"Maksudnya?"
"Coba pikir saja sendiri!"
****
Gimana? Gimana?
Masih pengin tau kelanjutan kisah Nayya sama Valdy kan?
Ayok dong ramaikan komennya. Komen apa aja boleh, curhat juga boleh. Jangan lupa berikan taburan bintang-bintangnya 🌟🌟🌟 biar aku makin semangat publish. 😁
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top