38. Gunung Yang Siap Meletus

Valdy menghentikan mobilnya tepat di depan gerbang rumah Nayya. Namun si pemilik rumah justru masih tertidur pulas di bangku penumpang. Valdy menoleh lalu tersenyum melihat Nayya masih asik dengan dunia mimpinya. Cewek itu kelihatan sangat lelah. Valdy menjadi tak tega untuk mengganggu tidur nyenyak cewek di sampingnya itu, tetapi malam sudah larut dan Valdy tidak mungkin membiarkan Nayya tidur dengan posisi yang tidak nyaman seperti ini. Akhirnya Valdy berusaha membangunkan Nayya dengan menepuk lembut tangannya. Tepukan lembut itu sama sekali tidak mempan. Valdy mencoba lagi dengan menepuk pelan pipi Nayya, tetapi cewek itu hanya bergerak pelan mengubah posisi tidurnya.

Kehabisan akal, Valdy mendekat ke telinga Nayya lalu berbisik, "Bangun Nay! Kalo nggak mau bangun, nanti aku gendong sampai ke dalam rumah."

Seketika saja Nayya langsung membuka mata. Cewek itu sempat mengerjap pelan beberapa kali sebelum benar-benar membuka matanya. Nayya menoleh melihat keadaan di sekelilingnya dan menemukan pemandangan yang terasa familiar.

"Udah sampai, ya?"

"Udah dari tadi malah, tapi kamu keasikan bobo sampai ileran." Refleks Nayya menyentuh kedua sudut bibirnya, tetapi tak menemukan bercak basah apapun. Nayya langsung mendelik tajam ke arah Valdy yang kini tertawa pelan. "Bagus, kalo udah keluar judesnya berarti udah sadar. Jadi, sekarang mau turun apa perlu aku gendong, nih?"

"Aku bisa turun sendiri, ya!" sungut Nayya jengkel dan cewek itu pun langsung membuka pintu mobil untuk bersiap keluar. Valdy hanya tersenyum melihat kelakuan Nayya tersebut lalu mengantar cewek itu hingga ke depan pintu pagar rumahnya.

"Besok pulang ke kos jam berapa?"

"Belum tau jam berapanya. Sore atau malam mungkin. Kenapa?"

"Mau aku jemput nggak?"

"Nggak usah. Kan ini mobil harus dikembalikan ke yang punya. Awas nanti Kakak malah tambah kena marah, loh!" Valdy kembali tersenyum. "Oh iya, ya. Tapi kan tadi katanya kamu yang mau tanggung jawab."

"Udah deh, Kak. Nggak usah cari ribut. Udah sana cepet pulang!" usir Nayya secara halus, tetapi Valdy sudah kebal dengan sikap Nayya yang seperti ini. Cowok itu hanya tersenyum lebar sambil mencubit puncak hidung Nayya.

"Yaudah, aku pulang dulu, ya. Besok kabarin aku kalo kamu mau balik ke kosan."

"Kenapa harus ngabarin Kakak? Emang Kakak siapa?" balas Nayya ketus.

"Siapa ya? Makanya, cepat kasih aku status biar kalo ada yang tanya aku bisa jawab aku ini siapamu."

"Ngarep. Udah ah, sampe ketemu di kosan. Daaah Kakak!" Nayya melambaikan tangan sambil masuk ke dalam halaman rumah. Valdy menunggunya di depan pagar sampai cewek itu menghilang di balik pintu rumahnya.

***

Sudah jam empat sore dan Nayya sudah bersiap untuk kembali kekosannya. Baru saja keluar rumah, Nayya melihat orang yang paling dia hindari berdiri di depan pagar rumahnya. Cowok itu melambaikan tangannya pelan sambil mengulas senyum di bibir.

"Hai Nayya," sapa Devan seramah mungkin. Mau seketus atau segalak apapun Nayya hari ini, dia bertekad tidak akan takut dengan semua perlakuan cewek itu padanya.

"Kamu ngapain di sini?" tanya Nayya tak acuh dan berjalan melewati Devan begitu saja.

"Mau antar kamu ke kosan," jawab Devan jujur karena dia tahu Nayya tidak suka basa-basi.

Nayya memajukan tubuhnya menatap Devan lalu tangan Nayya terulur untuk menyentuh kening cowok di hadapannya ini. Seketika saja Devan menahan napasnya, debaran jantung kembali berdetak sangat kencang. Devan menatap Nayya lekat-lekat, berusaha mencari rasa yang yang sebelumnya sempat menguap. Untuk sesaat Devan terpesona dengan Nayya.

"Enggak panas," gumamnya pelan. "Kamu kesambet apa kok bisa tiba-tiba dapet ide buat nganterin aku?" tanya Nayya sambil menatap Devan heran.

"Loh, bukannya selama ini memang aku sering antar kamu ke mana aja, ya?"

"Dulu ya! Sekarang udah enggak!"

"Aku masih mau kok, Nay. Masih mau selalu antar jemput kamu."

"Aku yang nggak mau!" tandas Nayya super ketus.

"Terserah kalo kamu nggak mau, pokoknya hari ini aku mau antar kamu sampai ke kosan."

"Terserah!"

Biarpun sudah ditolak beberapa kali, Devan tidak juga menyerah. Cowok itu tetap menemani Nayya di sepanjang perjalanan menuju indekosnya. Sampai membuat Nayya menyerah untuk mengusir Devan menjauh darinya. Nayya lebih memilih diam seolah-olah tak mengenal Devan. Hanya Devan yang berusaha mengajak obrol Nayya sedangkan Nayya hanya sibuk bermain ponsel. Sekalian mengirimkan sebuah pesan pada Valdy seperti janjinya semalam.

Devan tak peduli dengan pendapat Nayya tentang sikapnya kali ini. Cowok itu hanya ingin memastikan Nayya sampai di tempat kosnya dengan selamat. Devan bahkan menjaga Nayya dengan sangat ketat ketika berada di dalam kereta listrik yang mereka tumpangi. Devan juga menggunakan tubuhnya sebagai perisai agar Nayya tidak tertabrak orang yang baru masuk atau akan keluar di setiap stasiun pemberhentian.

Lama-lama Nayya terharu juga dengan sikap mantannya ini. Namun akal sehat Nayya kembali menariknya ke dunia nyata. Kalo memang sudah putus kenapa harus bersama lagi, itu pikiran Nayya. Seperti dahan yang patah, akan sulit disambung kembali. Meskipun bisa disambung, tetapi tidak akan pernah bisa menjadi sekokoh sebelumnya. Sama saja dengan hubungannya bersama Devan. Semenjak cowok itu melepaskannya dan tak ingin berjuang bersamanya lagi, Nayya langsung menutup semua kemungkinan yang akan menggoyahkan perasaannya.

Nayya bahkan menghempaskan tangan Devan yang hendak menggandengnya ketika menyeberang jalan raya. Rasanya aneh saja. Dulu memang Nayya akan dengan senang hati menerima genggaman tangan itu di tangannya. Dulu Nayya akan betah berlama-lama merasakan kehangatan genggaman tangan Devan yang selalu membuatnya merasa aman. Dulu Nayya akan amat senang bila bisa berjalan bersisian dengan Devan. Namun kini, semuanya telah berubah. Entah kenapa yang terbayang dibenaknya adalah wajah Valdy dan semua perlakuan cowok itu padanya.

"Jadi ini kosan kamu?" tanya Valdy begitu mereka tiba di komplek indekos Nayya.

"Iya. Kenapa?"

"Ada kosan cowoknya juga, ya?" tanya Devan waspada setelah mengamati keadaan di sekelilingnya. "Kamu harus hati-hati loh tinggal di sini."

"Nggak usah mikir yang aneh-aneh. Kosan ini yang paling aman dari pada kosan yang ada di sekitar sini. Lagipula tempat ini yang paling dekat dengan kampus. Jadi nggak perlu khawatir."

"Nay." Tiba-tiba terdengar suara yang memanggil Nayya. Cewek itu langsung menoleh dan mendapati sosok Valdy yang baru saja keluar dari gedung indekos putra. "Kamu baru sampai?"

"Iya." Valdy lalu melirik ke samping Nayya dan menatap Devan dengan tatapan tajam.

"Jadi kamu nggak mau aku jemput karena pulang diantar dia?" tanya Valdy ketus dan membuat alarm di kepala Nayya menyala lalu berbunyi nyaring. Cewek itu mulai merasakan tanda-tanda sikap yang tak bersahabat dari Valdy.

"Nggak juga sih. Dia aja yang mau ngikut."

"Jadi kalian satu kosan?" tanya Devan sambil memandangi sosok Valdy yang sedang berdiri di hadapannya.

"Iya," jawab Nayya singkat. Cewek itu masih memikirkan cara agar suasana tegang dan menyeramkan ini bisa segera berlalu. "Oh ya, Van, kamu udah bisa pulang dengan tenang sekarang. Aku kan udah sampai dengan selamat sampai ke kosan. Lagipula aku udah capek banget, mau istirahat." Nayya mencari seribu alasan agar Devan meninggalkan komplek indekosnya.

"Oke. Kamu langsung istirahat aja. Muka kamu udah mulai kelihatan pucat, tuh. Jangan kebanyakan begadang bikin komik. Ingat jaga kesehatan!" nasihat Devan sebelum pulang. "Aku pulang dulu, ya!" Devan mengulurkan tangan mengusap lembut kepala Nayya, hal yang dulu biasa dia lakukan ketika pamit pergi.

Bersamaan dengan hal ini, Nayya langsung melirik ke arah Valdy. Gawat! Sepertinya akan ada gunung meletus yang siap tumpah.

****

Dear readers, mulai besok novel Peretas Hati sudah bisa di order di Shopee GrassMedia Official ya

Yang mau bawa pulang kisah mereka langsung aja ke Shopee selagi bonusnya kece-kece.

Salam hangat dariku 🥰💕

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top