31. Insecure
Seharian ini Nayya dibuat salah tingkah dengan sikap Valdy terhadapnya. Mulai dari mengungkapkan perasaannya sampai rela menemani Nayya menyusuri setiap lorong rak di perpustakaan untuk mencari buku yang Nayya butuhkan.
Kini mereka berjalan bersisian keluar kampus untuk kembali ke indekos. Di atas kepala mereka terpampang jelas langit gelap yang bertabur bintang kelap-kelip. Suasana yang pas untuk dua sejoli yang baru saja saling membuka hati.
"Jalannya jangan cepat-cepat, dong!" Tangan Valdy terulur untuk meraih tangan Nayya dan menggenggamnya. Nayya yang terkejut langsung melirik sekelilingnya seperti maling yang takut ketahuan orang. Mungkin karena sudah terbiasa bersikap waspada dengan sikap Valdy yang kadang-kadang sering membuatnya berada dalam masalah.
"Tumben Kakak pulang ke kosan jalan kaki. Biasanya juga naik motor."
"Jagain kamu. Takut kamu nyebrang nggak hati-hati," jawab Valdy masih dengan kata-kata ketusnya. Namun satu hal yang membuat Nayya mengulas senyum di bibirnya. Cowok itu mengucapkan kalimatnya tanpa berani menatap Nayya. Jelas-jelas khawatir tetapi ucapan yang keluar dari mulut Valdy selalu berkebalikannya.
"Oh, gitu." Nayya manggut-manggut. Nayya tahu Valdy hanya beralasan saja. Untuk apa menemani Nayya berjalan kaki selama sepuluh menit sampai ke kosan jika bisa tiba dalam waktu lima menit jika menggunakan motor.
"Mulai sekarang setiap kamu pulang kemalamam, aku yang anter kamu pulang!" ucap Valdy sambil menatap Nayya dengan raut wajah serius. Sepertinya cowok ini mulai menegaskan posisinya terhadap Nayya.
Sepanjang perjalanan dari kampus ke komplek indekos, Valdy tak pernah melepas genggamannya dari tangan Nayya. Walaupun sesekali Nayya menarik lepas tangannya dari genggaman cowok itu saat ada seorang cewek yang Nayya kira mahasiswi kampusnya. Nayya masih takut orang lain mengetahui situasi yang terjadi padanya dan Valdy. Cewek itu masih kapok jadi bahan gosip sekampus.
"Jangan kebanyakan begadang. Nanti matamu kayak panda. Jangan lupa istirahat yang cukup biar nggak gampang sakit!" wejangan Valdy saat mereka tiba di depan pintu kamar Nayya.
"Iya ... iya. Kakak juga sana cepet pulang." Nayya melambaikan tangannya sebelum masuk ke dalam kamar
Nayya sempat mengintip sekilas dari jendela kamarnya saat Valdy berbalik menuju gedung indekos pria. Saat itu barulah Nayya bisa mulai bernapas lega. Kehadiran Valdy dengan jarak yang terlalu dekat seperti tadi sungguh membuat jantungnya bekerja amat keras. Nayya bahkan harus memegangi dadanya yang masih bergemuruh demi meredam suara debarannya yang kencang.
Hal itu pun berlanjut keesokan harinya. Pagi-pagi sekali Ranita menggedor pintu kamar Nayya untuk membangunkan sahabatnya itu. Ada jadwal mata kuliah jam pertama pagi ini. Namun betapa terkejutnya Nayya saat membuka pintu kamar dan menemukan Valdy sudah berdiri di depan pintu kamarnya bersama Ranita.
"Ya ampun, Nay. Kebiasaan banget sih bangun kesiangan. Buruan mandi sana. Udah hampir telat, nih!" cerocos Ranita sambil mendorong Nayya masuk kembali ke dalam kamar agar cewek itu segera bersiap-siap.
"Kamu duluan aja, Ta. Biar Nayya aku yang antar," ucap Valdy saat melihat Ranita berdiri gelisah sambil beberapa kali melirik jam tangannya.
"Serius nih, Kak?" tanya Ranita sedikit sangsi.
"Iya." Valdy mengangguk pasti.
"Oke deh. Makasih banyak kalo gitu." Ranita melambaikan tangan sambil tersenyum kemudian segera menarik Lalita yang baru keluar kamar kosnya. Keduanya langsung berangkat meninggalkan Nayya dalam pengawasan Valdy.
***
"Heh, ngelamun lagi! Kebiasaan deh. Lagi mikir apa, sih?" tanya Ranita yang baru saja tiba di kantin usai menyerahkan tugasnya ke ruangan dosen. Cewek itu langsung duduk di samping Lalita dan tepat di depan Nayya yang masih menopang dagu dengan salah satu tangannya. Sorot mata Nayya menerawang jauh ke tengah taman di samping kantin.
"Mikirin nasib buruk," jawab Nayya singkat.
"Buat apa dipikirin. Usaha dong biar berubah jadi nasib baik," celetuk Ranita asal. "Tuh, pas banget kesempatan langsung ada di depan mata. Kali ini jangan disia-siain, ya!"
Nayya mendelik, tak mengerti dengan apa yang baru saja dibicarakan Ranita. Sampai sahabatnya itu mengedikkan dagu ke samping kanannya. Nayya mengikuti arah pandang sahabatnya dan menemukan Valdy berjalan ke arah kantin. Meski wajah lelaki itu terlihat serius, tetapi senyuman tipis terukir di bibirnya.
"Dia udah sering ngasih sinyal loh, ke kamu. Cuma kamu aja yang pura-pura nggak paham apa maunya."
"Bukannya pura-pura. Cuma aku masih mikir, apa pantes cewek kayak aku yang berada di sisinya? Rasanya nggak ada yang bisa dibanggain dibandingin sama Kak Zelia." Suara Nayya terdengar lesu dan serak. "Belum lagi para penggemar dari berbagai fakultas yang masih lebih keren dari pada aku. Apalah aku yang berkaki pendek, wajah dan otak juga pas-pasan. Nggak ada bagus-bagusnya. Kalau dibandingin sama mereka semua, aku tuh kayak titik noda di atas taplak meja."
"Kok jadi insecure gitu. Percaya sama dirimu sendiri, dong. Kamu itu manis. Buktinya Kak Valdy yang kayak kulkas berjalan itu bisa langsung jatuh cinta sama kamu."
Kalimat Ranita selesai tepat pada saat Valdy tiba di belakang Nayya. Cowok itu langsung mengulurkan tangannya untuk mengusap puncak kepala Nayya sambil menyapa cewek itu. Ranita langsung mematung dengan rahang nyaris terjatuh, sedangkan Lalita kini terbatuk-batuk karena tersedak makanannya.
"Kalian ... jangan-jangan ...." Ranita bahkan tak berani melanjutkan kalimatnya saat melihat Valdy menatap Nayya dengan tatapan yang dalam. Sudah jelas apa maksud tatapan itu. Lalita yang sering lemot bahkan menyikut Ranita tanda dia juga paham situasi yang terjadi di depan mereka saat ini.
"Hmm ... kita udah jammmph ...." Kalimat Valdy terputus karena Nayya langsung membungkam mulut cowok itu dengan tangannya.
"Jangan bilang kayak gitu di sini. Kakak mau aku jadi bahan gosip lagi?" bisik Nayya pelan.
Valdy mengangguk dan melepaskan tangan Nayya dari mulutnya.
"Jadi kamu maunya kita backstreet?" tanya Valdy dengan raut wajah tak puas.
"Sttt... jangan kencang-kencang!" Nayya yang gelagapan segera meletakkan telunjuknya di dekat bibir untuk mengisyaratkan agar Valdy memelankan suaranya. Cewek itu bahkan langsung memandang ke sekelilingnya untuk memastikan tak ada satu orang pun yang mendengar ucapan Valdy barusan kecuali kedua sahabatnya ini.
"Memangnya kenapa sih? Kok kayaknya kamu ketakutan banget orang lain tau tentang kita?"
"Sssttt ...." Sekali lagi Nayya menyuruh Valdy diam.
"Kamu kenapa sih Nay? Pacaran kan bukan kriminalitas. Kenapa kamu ketakutan banget gitu?" tanya Valdy lagi.
Lagi-lagi Nayya membungkam mulut Valdy dengan tangannya. Cewek itu kembali memandang sekelilingnya. Masih khawatir kalau-kalau ada orang yang mendengar percakapan mereka.
"Kakak duduk di dekat aku aja, dalam waktu lima menit beritanya bisa langsung sampe di Gu-date, gimana kalau mereka tau hubungan kita. Jangan harap masih bisa lihat aku di sini besok. Bisa aja aku udah tinggal nama," jelas Nayya dengan suara sepelan mungkin.
"Hush! Jangan ngomong aneh-aneh, deh!" tandas Valdy dengan tatapan marah.
"Karena itu, aku mohon sama Kakak. Cukup kita aja yang tau, ya ... ya ... ya." Nayya menatap Valdy dengan tatapan memohon sambil mengedipkan kedua kelopak matanya beberapa kali. Tentu saja wajah menggemaskan yang lugu milik Nayya ini mampu membuat Valdy luluh. Cowok itu akhirnya mengangguk setuju untuk merahasiakan hubungan mereka di depan publik.
"Kalian berdua juga, awas kalau sampai embeeer bocooor!" ancam Nayya dengan tatapan tajam menghunjam ke arah ke dua sahabat yang masih melongo terkejut di depannya.
****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top