2. Ramalan

Sudut mata Valdy mengikuti punggung cewek yang seharian ini berdebat dengannya. Cewek itu melangkah cepat meninggalkan ruangan dengan bibir masih merengut kesal. Entah kenapa wajah bulat mungil dengan bibir mengerucut itu selalu tak lepas dari jangkauan pandangan matanya. Aneh, apa hari ini kepalanya telah terbentur sesuatu yang mengakibatkan matanya tak berfungsi dengan baik?

Valdy menggeleng pelan untuk mengenyahkan bayangan praktikannya barusan. Namun begitu matanya menemukan nama Anindita Nayyara Dianti dalam daftar absen praktikum hari ini, Valdy tidak bisa tidak penasaran dengan cewek mungil yang berani mendebatnya itu. Tahu-tahu jemarinya sudah bergerak lincah di atas papan ketik laptopnya untuk memasukkan sederet nama tersebut dan muncullah beberapa laman media sosial si pemilik nama. Wajah cowok itu terlihat tidak puas. Sepertinya data yang dia inginkan tidak ada di sana dan rasa penasaran itu sungguh mengganggunya. Kali ini Valdy merasa otaknya sudah benar-benar bermasalah. Untuk apa dia sebegitu penasarannya dengan cewek mungil yang suka menggerutu itu?

"Val, kamu enggak lupa sama latihan nanti sore kan?" Sebuah suara lembut menginterupsi dan mengembalikan pikiran Valdy ke dunia nyata.

Cewek cantik jebolan none Jakarta itu kini berdiri di hadapannya dengan senyuman manis yang membuat cowok manapun bertekuk lutut. Zelia, penanggung jawab lab multimedia di kelas sebelah. Partner kerja Valdy di lab komputer.

"Iya. Jam empat, kan?" Zelia mengangguk sambil tersenyum.

"Eh, ada Neng cantik. Kok, yang disamperin cuma Valdy aja sih?" Yasa, aslab di kelas Valdy sekaligus sahabat satu kosnya, berjalan mendekati Zelia dengan memamerkan senyum paling memikat yang sayangnya tak pernah ada satu cewek pun yang terpikat.

"Loh, ini kan nyamperin Bang Yasa juga," sahut Zelia ramah.

"Enggak usah genit! Yok ke kantin! Aku lapar." Valdy langsung menyeret Yasa keluar ruangan sambil melambaikan tangan sekilas pada Zelia.

"Eh, kampret, kasih aku kesempatan buat deketin Zelia kenapa sih? Dasar sohib nggak peka nih!" gerutu Yasa sambil melepaskan dirinya dari rangkulan Valdy.

"Kasihan Zelia kalau dideketin cowok macam kamu!"

"Lah, kenapa? Aku kan nggak kalah ganteng dari kamu," sahut Yasa penuh percaya diri dengan pose telunjuk dan ibu jari di sudut dagunya.

"Zelia butuh yang setia bukan yang hobi berkelana kayak kamu!"

"Ya, kan namanya juga usaha. Kata emak juga siapin kandidat sebanyak-banyaknya baru pilih yang paling baik dari yang terbaik!"

"Dasar!"

***

Sementara itu, suasana hati Nayya masih belum membaik. Cewek itu masih memasang raut wajah masam sambil menggigit bibir bawahnya meski sudah keluar dari gedung tempat lab komputer berada. Seolah sedang melampiaskan kesal pada aspal jalanan, Nayya melangkahkan kakinya dengan kasar dan cepat.

"Heh, ngebut amat sih jalannya?" Ranita menarik ujung baju belakang Nayya dan membuat gadis itu berhenti mendadak dengan tubuh doyong ke belakang. "Kenapa mukanya masih kusut begitu?"

Nayya berbalik dramatis menghadap kedua sahabatnya, "Tuh cowok ... kok ada ya, yang nyebelin modelan gitu?" Ada geram tertahan dalam nada suara Nayya.

"Siapa? Kakak asisten yang tadi?" tanya Ranita yang masih tak paham situasinya.

"Kak Valdy maksudnya?" sahut Lalita terlihat tertarik dengan topik pembicaraan yang dibuka Nayya.

"Ah, taulah. Apes banget aku hari ini. Kenapa cuma aku yang disuruh buat program baru?"

"Eh, masa sih?" Ranita terlihat terkejut sekaligus prihatin dan Nayya hanya bisa mengangguk lemas.

"Udah sih, nggak usah manyun. Mending makan dulu, laper nih! Masih ada sisa 15 menit sebelum mata kuliah berikutnya." Lalita pun menyeret kedua sahabatnya itu menuju kantin kampus yang letaknya di samping gedung fakultas mereka.

Begitu sampai di kantin kampus, Lalita terlihat senang sedangkan Nayya kebalikannya. Saat menyisir ruangan kantin untuk mencari meja yang kosong, tatapan Nayya tanpa sengaja kembali berserobok dengan tatapan asisten menyebalkan yang baru saja membuat kepalanya mendidih. Ya, Valdy ada di sana, pada meja di tengah ruangan bersama Yasa.

"Heh, ngelamun aja nih! Buruan pilih menu!" Ucapan Lalita akhirnya bisa mengalihkan perhatian Nayya. Cewek itu akhirnya berjalan menuju salah satu kios bakso dan memesannya.

"Woi, udah nggak makan berapa hari kamu, Nay?" Riana, sahabat Nayya yang lain baru saja tiba di kantin saat Nayya dengan kalap menyendok makanannya dengan cepat.

"Maklumin aja. Lagi badmood dia tuh," sahut Lalita sambil menggeser tubuhnya memberikan tempat untuk Riana dan Malina yang hendak bergabung.

"Badmood kenapa emangnya? Bukannya ini hari pertama praktikum, ya? Ada kakak asisten yang ganteng nggak?" cerocos Riana sambil melihat Ranita dan Lalita bergantian.

Tiba-tiba saja terdengar suara dentingan sendok beradu dengan mangkuk dengan kasar dan membuat keempat cewek yang ada dalam satu meja tersebut langsung memandang ke arah asal suara. Di hadapan mereka terlihat mulut Nayya mengerucut dengan pipi mengembung penuh makanan dan sangat tergesa mengunyah makanannya. Nayya menelan semua makanannya dalam sekejap lalu meneguk habis minumannya sebelum bangkit berdiri hendak meninggalkan kantin.

"Kamu mau ke mana, Nay?" tanya Malina yang masih terkejut dengan cara makan Nayya barusan.

"Kelas. Pengap di sini!" Keempat sahabatnya kini saling pandang mendengar alasan kepergian Nayya.

"Kenapa sih dia?" tanya Riana heran.

"Bete sama kakak asisten labnya tadi," sahut Ranita enteng.

Sebenarnya Nayya tidak benar-benar pergi ke kelasnya. Dia duduk di bangku taman dekat gedung fakultas sambil memeriksa ponselnya. Mulai dari semua pesan medsos sampai surel dia buka satu per satu seperti sedang menunggu sesuatu. Namun pada akhirnya hanya helaan napas kecewa yang terdengar berikutnya. Tatapannya kosong menerawang jauh ke depan.

"Heh, kirain udah di kelas. Kenapa malah bengong di sini?" Suara Riana yang nyaring membangunkan Nayya dari lamunannya. Cewek itu mendongak dan menemukan keempat temannya sedang berjalan menuju ke arahnya.

"Nungguin kalian," jawab Nayya datar.

"Udah ih, jangan badmood gitu. Nanti coba minta bantuan Rino aja. Dia kan pinter banget buat program sederhana gitu." Ranita merangkul Nayya sambil menyemangati sahabatnya yang masih terlihat murung tersebut.

"Oh, iya bener juga." Mendengar ide tersebut jelas membuat Nayya kembali bersemangat. Setidaknya satu masalahnya kini punya solusinya.

Begitu masuk ke dalam kelas, Nayya segera mengedarkan pandangannya mencari Rino. Namun orang yang mereka cari ternyata belum datang. Langkah Nayya yang semula bersemangat kini kembali lunglai. Cewek itu melangkah gontai menuju bangku barisan kedua dari belakang dan menghempaskan diri dengan kasar pada salah satu bangku di sana. Hingga terdengar suara pekikan riang dari barisan tepat di samping Nayya mengalihkan fokusnya. Di sana terlihat beberapa orang berdiri berkerumun mengelilingi seorang cewek yang sedang meletakkan deretan kartu bergambar aneh di atas meja.

"Eh, kalian lagi apa sih?" tanya Ranita penasaran sambil melongo melihat apa yang sedang dikerjakan cewek yang sedang menyusun kartu tersebut.

"Shita lagi ngeramal. Seru, deh! Ayo sini ikut juga!" ajak cewek yang tadi terpekik riang.

Karena penasaran Nayya dan Lalita segera menghampiri Ranita yang sudah lebih dulu melihat apa yang sedang cewek bernama Shita lakukan itu. Kalau Malina, dia terlihat tak tertarik dengan ramalan dan memilih membuka ponsel untuk berselancar menjelajahi media sosialnya.

"Eh, Ta, ramalin si Nayya nih! Katanya dia sial terus seharian ini," celetuk Ranita tanpa meminta persetujuan Nayya dan membuat cewek itu hanya bisa mendelik tajam.

Shita mengulurkan setumpuk kartu tarot yang telah dikocoknya dan membukanya lebar menjari seperti kipas di hadapan Nayya.

"Sekarang kamu pilih tiga kartu dulu!"

Meskipun sedikit ragu, Nayya mengulurkan tangannya untuk memilih kartu yang ada di tangan Shita. Tiga lembar kartu yang Nayya tarik sudah disusun Shita di atas meja. Kemudian Shita mulai membukanya satu per satu. Kartu pertama bergambar delapan piala, kartu kedua bergambar lambang kematian dan kartu terakhir bergambar roda keberuntungan. Untuk sesaat kerutan tipis menghiasi kening Shita sebelum cewek itu mulai membuka mulut untuk menjelaskan arti semua kartunya.

"Ada sebuah kisah yang harus berakhir dan ada sebuah kisah yang baru saja akan dimulai." Shita mulai menjelaskan arti kartunya dengan tatapan dan nada suara yang entah kenapa membuat Nayya bergidik. Seketika saja bulu kuduknya meremang dan perasaannya mendadak berubah tak nyaman. Apakah sesuatu yang buruk akan terjadi padanya? Apa maksudnya dengan kisah yang harus berakhir?

****

Diramal hal menyedihkan kayak Nayya pasti bikin perasaan nggak enak seharian.

Ada yang tau nggak kalo tarot juga digunakan sebagai media konseling dalam ilmu psikologi?

Terima kasih udah ngikutin kisah Nayya dan Valdy, jangan lupa support aku terus ya.

Salam hangat dari author yang hobi menggalau. 😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top