Part 8
Lelaki itu meletakkan kuas, kemudian memeluk putrinya.
"Mika,terkadang apa yang kita inginkan tidak selalu bisa kita dapat. Papa harap Mika mengerti," ucapnya.
"Pa, apa boleh Mika minta?"
"Boleh, Mika minta apa?"
"Mika minta Mama!"
Panji mengusap puncak kepala putrinya seraya tersenyum. Permintaan yang sudah dia kira sebelumnya.
"Mika, apa papa saja tidak cukup untuk Mika?"
Gadis kecil itu memeluk Panji, kemudian mencium pipinya.
"Papa, Mika juga ingin punya mama yang sayang sama Mika, seperti Aunty Widuri ...."
Panji mengangguk mengerti.
"Baiklah, ayo ikut papa!" ajak Panji menggandeng Mikayla.
"Kemana, Pa?"
"Cari mama, kan?"
Mikayla tertawa mendengar ucapan Panji. Dengan manja gadis itu meminta Panji menggendongnya.
***
Widuri dan ibunya sedang serius merencanakan konsep pernikahan. Hari bahagia gadis itu tinggal satu bulan lagi. Sesekali gadis itu bicara dengan Sena lewat video call. Wajah ayunya berbinar bahagia.
Sudah dua bulan Widuri tak lagi tinggal di rumah Panji. Di samping karena untuk persiapan pernikahan, juga gadis itu tidak ingin Mika berpikir bahwa dirinya bersedia menggantikan mamanya.
Flash back
Saat Mika dan Widuri berdua di dapur, gadis kecil itu meminta sesuatu yang tidak mungkin baginya.
"Aunty, Mika boleh minta tolong?"
"Minta tolong apa, Sayang?"
"Aunty mau kan jadi mama Mika? Tinggal sama papa di sini?"
Widuri membulatkan mata menatap Mikayla.
"Mika, permintaan Mika itu tidak mungkin bisa Aunty lakukan."
"Kenapa, Aunty?"
Widuri tersenyum mengusap pipi gadis itu.
"Mika, kalau minta tolong jangan seperti itu, jelas nggak bisa, Sayang." Panji tiba-tiba hadir di antara mereka. Widuri tersenyum datar. Sesekali mata keduanya saling menatap.
"Kenapa, Pa? Nanti Mika telepon Oom Sena, bilang kalau Mika mau Aunty jadi Mama Mika," ucapnya polos.
Mendengar itu Panji menggeleng dan pergi meninggalkan keduanya seraya mengucap maaf.
***
Telepon dari Mika membuatnya gundah.
"Ada apa, Nduk?" Ibunya bertanya.
"Mika, Bu."
"Kenapa, Mika?"
"Dia ingin Widuri tinggal di sana lagi,"
"Widuri, pernikahanmu tinggal satu bulan lagi, jaga perasaan suamimu, berhenti memberi perhatian lebih pada Mika."
Gadis itu diam, sesekali nampak menghela napas.
"Ibu mengerti kamu sayang sama Mika, jika saja Mika punya ibu, itu bukan satu masalah. Yang jadi masalah adalah karena Panji seorang duda, dan tentu itu akan sedikit memengaruhi pikiran Sena, Nduk." Ibunya duduk mendekat pada Widuri.
"Iya, Bu, Widuri paham."
"Syukurlah, jaga nama baik keluarga, Nduk," lanjut perempuan berwajah teduh itu. Widuri mengangguk menanggapi.
***
Panji sedang frustrasi, sudah dua hari putri kesayangannya mogok makan. Tak kurang dia dan Mbok Ratri membujuk Mika agar mau makan, tapi tidak satu orang pun dari mereka berhasil.
"Bagaimana, Mbok? Masih belum mau makan?" tanya Panji saat dia baru saja pulang dari kantor.
Mbok Ratri tersenyum menggeleng.
"Dia sudah mau makan," jawabnya gembira.
Panji mengernyit, mendengar suara Mika tertawa di kamarnya.
"Mbok?"
"Mbak Widuri dari siang tadi ke sini, Mas Panji, langsung Mika makan banyak tadi," jelas asisten rumah tangganya itu.
Panji membuang napas kasar. Pria itu cepat menuju kamar Mika. Langkahnya terhenti saat melihat putrinya tertawa dengan wajah berbinar menanggapi cerita yang dibacakan Widuri. Kedua perempuan itu tidak menyadari Panji tengah memperhatikan mereka.
Pelan Panji memutar badan, mengurungkan niat untuk masuk ke kamar Mika. Wajah tampannya meredup, ia melangkah pelan menuju kamar.
Selesai membersihkan badan, Panji memilih tetap dalam kamar. Dia mengambil benda pipih dan nampak menghubungi seseorang.
***
"Mika, Aunty pulang dulu ya," pamit Widuri pelan pada Mika.
Gadis kecil itu nampak tak suka, wajahnya mendadak berubah. Mata beningnya mulai berkabut. Mika mengabaikan ucapan Widuri.
"Mika, Mika nggak boleh begitu, Sayang." Lembut Widuri membelai rambut Mika.
"Aunty."
"Ya?"
"Kapan Aunty ke sini lagi?" tanyanya dengan suara bergetar.
"Mika, mungkin Aunty nggak bisa sering ke sini lagi ya, tapi pasti Aunty sesekali datang. Mika mengerti kan?"
Gadis kecil itu melipat wajahnya. Kerinduan pada belai seorang ibu mendadak patah saat mendengar ucapan Widuri. Bahunya berguncang, Widuri tahu gadis itu sedang menangis. Tak tega melihat Mika tersedu, ia memeluk erat tubuh gadis itu.
"Mika, sudah jangan menangis. Ayo kita jalan-jalan," suara Panji mengejutkan keduanya. Widuri menatap sekilas pria angkuh di depannya. Seolah tak melihat Widuri, Panji menggendong Mikayla.
"Mika, di depan ada Tante Alisha, kita jalan - jalan ya," ajak Panji seraya menghapus air mata putrinya.
"Hai, Mikayla ..., sini gendong tante." Perempuan bernama Alisha itu mendekat dan mengambil Mika dari gendongan Panji. Widuri menyaksikan peristiwa, Mika nampak tak menolak ajakan keduanya.
"Permisi, Mas Panji, saya pamit pulang," pamitnya pada Panji.
"Tunggu!" cegah Panji menghentikan langkah Widuri.
"Alisha, kamu bawa Mika ke mobil, nanti aku menyusul," perintah lelaki itu tegas.
Gadis berpenampilan casual itu mengangguk mengerti, dia membawa Mika seperti yang diinginkan Panji.
Kini tinggal dia dan Widuri di dalam kamar Mika.
"Maafkan Mika, aku tahu dan paham posisimu, aku bisa pastikan setelah hari ini, dia tak lagi merengek meminta hal yang sama padamu," ucap Panji menatap intens pada gadis yang tengah tertunduk di depannya.
"Saya mengerti, Mas. Mika tidak salah, dia hanya anak kecil yang merindukan kehadiran mamanya," balasnya lirih.
"Aku tahu itu."
"Baiklah, apa saya bisa pamit pulang sekarang?" tanya Widuri masih menunduk.
"Aku tidak punya hak untuk melarangmu bukan?" Panji balik bertanya.
"Permisi, Mas. Maafkan saya jika sering menyulitkan Mas Panji."
Widuri berjalan melintasi Panji yang masih berdiri. Aroma wangi dari tubuh Widuri, mengingatkan Panji saat tanpa sadar dia mengecup bibir gadis itu.
"Widuri, tunggu!" tanpa sadar dia menahan tangan gadis itu. Sehingga mereka dekat tanpa jeda. Entah apa yang ada di kedalaman mata keduanya. Mereka sesaat saling menatap.
Panji mendekatkan bibirnya pelan, tanpa sadar Widuri memejamkan mata.
"Terima kasih, Widuri ...," bisiknya lembut di telinga gadis itu. Bibirnya sedikit tertarik membentuk senyum yang tak bisa diartikan.
Sementara wajah Widuri memerah menahan malu. Segera dia melepaskan pegangan tangan Panji, dan berlari keluar kamar untuk pulang.
***
"Ibu, apakah orang yang sudah jatuh cinta itu, tidak boleh jatuh cinta lagi?" tanya Widuri pada ibunya saat mereka baru saja makan malam. Mendengar pertanyaan putrinya yang dianggap aneh, perempuan paruh baya itu menarik lengan Widuri.
"Ayo ke kamar, ada apa denganmu, Nduk?"
Setelah sampai di kamar Widuri, ibunya kembali menanyakan pertanyaan putrinya.
"Nggak apa - apa, Bu, hanya saja ..., Widuri merasa aneh," jelas gadis itu seraya duduk di depan meja rias.
"Aneh?"
Pelan Widuri mengangguk.
"Kenapa ada sesuatu yang lain yang Widuri rasakan saat bersama Mas Panji, Bu ...."
Ibunya melangkah mendekat dengan mata penuh tanya.
"Apa maksud kamu, Nduk?"
Yang ditanya diam menatap lurus ke arah cermin di depannya. Wajah itu nampak gelisah tak mampu mengartikan perasaan akhir - akhir ini.
"Widuri, apa itu artinya kamu diam-diam mulai mencintai Panji?" tanya ibunya lirih.
Sadar dia dalam kebimbangan, cepat ia menggeleng.
"Tidak, Bu. Widuri hanya mencintai Mas Sena! Hanya Mas Sena, dan sebentar lagi kami akan menikah," serunya menatap wajah sang ibu yang masih heran dengan perubahan sikapnya.
Bersambung dulu yaa
Btw saya hiatus di fb ajah, hihi. saya ttp update di Wattpad. Untuk di Kbm, entahlah ... Titip salam sayang dan maaf aku buat pembaca KBM ya guys. Mamachihh.
Oh iyaa, VoMen jan lupaaa 💖💖😘😘😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top