Part 19

"Oom dokter, selamat siang ...." Gadis kecil cantik telah tiba di antara mereka.

Damar tersenyum kecut menyadari waktu yang ingin ia habiskan dengan Widuri tersita.

***

"Hai, Mika," balas Damar tersenyum.

Tak lama Panji datang, kali ini ini dia terlihat lebih fresh dari kemarin. Damar tersenyum menyambut uluran tangannya.

"Aku dengar nanti sore, dia boleh pulang?" tanyanya pada Damar. Lelaki itu mengangguk tersenyum.

"Sepertinya dia tidak bisa dibiarkan sendiri, sebab jika ia abai dengan apa yang ia makan, seperti pedas, kecut dan jarang makan maka bisa dipastikan penyakitnya akan datang lagi," jelasnya panjang lebar, sesekali matanya melirik Widuri. Panji menangkap mata Damar yang sesekali mencuri pandang itu.

"Eum, iya, aku rasa memang begitu. Jadi aku sudah putuskan supaya dia pulang ke rumah. Bukan begitu, Widuri?" Tatapan Panji mengarah ke manik gadis itu. Merasa ditatap intens ia mengangguk gugup. Papa Mika itu tersenyum puas.

"Oke, aku balik dulu. Widuri sampai ketemu nanti sore."

Damar pergi setelah berpamitan dengan Panji.

"Yeay, berarti nanti malam Aunty tidur di rumah ya, Pa?" Mika bersorak. Panji mengangguk tersenyum. Tak lama Mbok Asih datang, ia sibuk mengemas baju dan barang yang akan dibawa pulang.

"Kamu nggak makan buahnya?" tanya Panji saat melihat potongan pepaya merah yang masih utuh. Widuri menggeleng pelan, ia tak berani menatap mata tajam itu.

"Habiskan, gimana mau cepat sembuh kalau malas makan?" perintahnya dingin.

"Lah mbok ya, njenengan suapin, Mas Panji," goda Mbok Asih yang masih sibuk mengemas. Panji melihat Mika yang asik menonton kartun di televisi.

Ia mengambil piring kecil berisi potongan buah itu, kemudian mencoba menyuapi Widuri dengan garpu.

"Makanlah, aku nggak mau kamu sakit lagi!" Sejenak mata mereka saling tatap. Isyarat dagu dari Panji membuat gadis itu membuka mulutnya.

Mbok Asih mencolek bahu Mikayla, dengan mata bahagia ia mengarahkan gadis kecil itu agar melihat pemandangan antara Papanya dan Widuri.

Wajah Mika berbinar bahagia, ia ingin memekik namun cepat Mbok Asih memberi isyarat untuk diam.

Akhirnya potongan buah di piring kecil itu habis.

"Sore ini Pak Mul aku suruh mengambil semua barang di tempat kostmu."

"Tapi ...."

"Aku nggak peduli jika kamu menolak sekali pun! Kamu harus tinggal dan kembali ke rumah itu," sela Panji masih dengan ekspresi dingin.

Widuri tak lagi membantah. Ia hanya mengangguk menanggapi.

Sore menjelang, Widuri sudah siap meninggalkan rumah sakit. Panji telah menunggu di mobil, semua urusan administrasi telah ia rampungkan.

"Widuri, jaga kesehatan ya." Damar menghampirinya.

"Makasih, Damar."

Lelaki itu mengangguk.

"Widuri."

"Iya?"

Cepat Damar meraih tangan Widuri, matanya menatap tanpa jeda pada gadis di hadapannya.

"Aku, ah mungkin ini bukan waktu yang tepat, tapi aku rasa kamu harus tahu ini." Damar menarik napas dan membuang cepat.

Widuri mengernyit kening mencoba mencari jawaban.

"Ada apa, Damar?"

"Bolehkah aku menjadi ...."

"Widuri!" suara berat Panji mengejutkan mereka berdua. Cepat gadis itu menarik tangannya dari Damar.

"Ayo pulang!" Panji meninggalkannya begitu saja setelah mengucapkan itu.

Widuri menatap Damar dengan tatapan meminta maaf. Lelaki itu tersenyum sedikit memaksa.

"Pulanglah, kita akan bicara nanti."

"Aku pulang, Damar."

***

Panji membukakan pintu untuk Widuri. Mika cepat berlari ke dalam rumah, seolah ingin memberi kejutan untuk gadis itu.

Sampainya di depan pintu, pelan ia membuka dan betapa terkejutnya dia saat semua orang di dalam rumah itu menyambut ruang kedatangannya.

"Selamat datang kembali ke rumah, Mbak Widuri ...," seru Mbok Ratri. Ia nampak terharu mendapat sambutan sedemikian rupa.

"Aunty, jangan pergi jauh dari Mika ya," pinta gadis kecil itu memeluk Widuri. Anggukannya membuat Mika bersorak gembira diikuti yang lain.

Senja menjelang, suasana rumah almarhum romo semarak. Celoteh Mika dan tawanya berderai menghias suasana.

Selepas makan malam, Mika ke kamar Widuri. Gadis kecil itu meminta di temani belajar. Jam menunjukkan pukul 20.00 WIB.

"Mika, sudah malam, tidur di kamar sana. Jangan ganggu Aunty," suara Panji mengejutkan mereka berdua.

"Tapi, Pa, Mika mau bobok sama Aunty," rengeknya.

"Nanti kalau Aunty sudah sangat sehat, Mika boleh tidur di sini."

Mata gadis kecil itu berbinar, kembali menanyakan kepastian ucapan papanya. Setelah mendapat jawaban yang membuatnya puas, ia berlari menuju kamarnya setelah sebelumnya mencium pipi Widuri.

Tinggal mereka berdua di kamar.

"Sudah diminum obatnya?"

"Sudah, Mas."

"Istirahat, besok kamu sebaiknya jangan kerja dulu. Tunggu hingga kondisimu benar-benar pulih!"

Widuri mengangguk mengerti. Panji membalikkan badan meninggalkan kamar gadis itu.

Ada rasa rona bahagia di wajahnya sepeninggal Panji. Meskipun lelaki itu tetap dingin, tapi sedikit perhatian darinya telah membuat hati Widuri berbunga.

***

Pagi-pagi ketika Widuri keluar dari kamar mandi, ia terkejut melihat di meja ada nampan berisi bubur ayam lengkap dengan teh hangat, tapi bukan itu yang membuatnya merona, setangkai mawar putih ikut menemani menu sarapan pagi pertamanya hari ini.

Tak ada pesan apapun di nampan atau di mawar putih itu. Diliriknya jam dinding, pukul 07.00 WIB. Itu artinya Mikayla sudah berangkat. Ia berpikir mungkin saat dia di kamar mandi tadi gadis itu berpamitan.

Setelah menghabiskan sarapan pagi, ia keluar kamar. Tampak Mbok Ratri tengah membersihkan dapur.

"Mbok, Mikayla ...."

"Oh, dia sudah berangkat tadi sama Mas Panji. Oh iya, Mbak, Mas Panji pesan supaya sarapannya dihabiskan."

Widuri mengangguk.

"Sudah, Mbok."

Widuri mencoba membantu perempuan paruh baya tersebut. Namun, cepat Mbok Ratri melarangnya.

"Kenapa, Mbok? Biasanya saya juga bantu kan?"

Sambil menggeleng ia menjawab, "Mbok dilarang Mas Panji membiarkan Mbak Wid kerja macem-macem."

Mendengar itu seulas senyum terbit di bibirnya. Sekilas Mbok Ratri melihat itu, wanita bersahaja itu ikut tersenyum.

"Eum, kalau gitu saya balik ke kamar ya, Mbok."

Ucapan Widuri dibalas anggukan oleh Mbok Ratri. Saat ia di kamar ponsel bergetar. Ada pesan masuk dari Damar. Pria itu menanyakan kabar dan mengingatkan untuk minum obat. Gadis itu merasa bahagia mendapatkan banyak perhatian. Ia pun membalas dengan mengetik jawaban terima kasih untuk semua perhatian.

Saat masih membalas chatting dari Damar, pintu kamar diketuk. Ia meletakkan benda pipih itu ke nakas.

"Mas Panji?" serunya terkejut melihat lelaki itu telah ada di depan pintu. Ada terlihat sungging senyum di bibirnya.

"Ini, aku ingat, kata Mika kamu suka kue pie," ujarnya menyerahkan paper bag kepada Widuri. Gadis itu menerima dengan wajah gembira.

"Terima kasih," ucapnya.

Panji mengangguk membalikkan badan kemudian pergi. Kira-kira dua langkah, Panji berhenti mendengar namanya dipanggil.

"Eum, bunga mawar putih itu ...."

"Oh, itu, kebetulan tanaman bunga di samping sedang mekar, aku mengambilnya untukmu, kalau nggak suka kamu bisa ...."

"Tidak! Saya menyukainya, terima kasih."

Panji kembali mengangguk kemudian pergi.

Widuri menutup pintu pelan. Ia memang penyuka pie buah. Satu loyang strawberry pie yang terhidang di depannya. Baru saja ia hendak mencicipi satu potong, Widuri curiga ada benda keras di saat ia memotong kue itu.

Matanya menyipit melihat cincin emas putih dengan taburan permata cantik menghias atasnya. Ia mencari - cari jawaban atas cincin itu. Ada secarik kertas di ujung kotak kue tersebut.

"Widuri, will you be the mother of my children? Will you marry me?"

Wajah Widuri merona, mata indahnya terlihat berkaca-kaca. Ponselnya bergetar lagi. Ada pesan masuk dari Damar.

[Widuri, ijinkan aku menjadi pelindungmu hingga di akhir waktu kita]

[Aku harap kita bisa bertemu]

Widuri terdiam membeku membaca kedua pesan dari dua pria berbeda.

Pelan ia meletakkan potongan pie ke meja, sementara cincin indah ia pegang. Wajahnya terlihat resah. Gadis itu berpikir untuk keluar kamar, sebab ia mendengar keributan di sana.

Widuri melihat Panji tengah berbicara dengan seorang wanita yang ia rasa pernah melihat. Wanita itu berusaha memeluknya, tapi berkali-kali Panji menolak.

"Panji, kenapa kamu selalu menghindar?" tanya wanita itu.

"Please, Rania! Aku nggak bisa, maaf."

"Why? Kamu tidak mencintaiku? Lalu apa arti setiap malam kebersamaan kita? Apa arti semua perhatian, pelukan dan ciumanmu?" Wanita itu berusaha merayu dan mendekati Panji.

"Panji, kumohon, kamu yang mendekati aku lalu kenapa kini kamu campakkan begitu saja, please, Baby." Lagi-lagi ia mencoba mengalungkan tangan ke leher lelaki di depannya.

Ia mendengar dan menyaksikan semua dengan mata berkabut. Manik mata Panji menangkap keberadaan Widuri, segera ia melepas kuat tangan Rania.

Perlahan Widuri mundur dan melangkah cepat masuk kamar. Air matanya luruh begitu saja. Ia menyandarkan tubuh di balik pintu. Pelan ia duduk dengan memeluk lutut.

Gadis itu sadar hatinya telah dimiliki oleh pria itu. Tapi apa yang dia lihat sungguh telah melukai perasaannya. Suara ribut di ruang tamu sudah tak lagi terdengar.

"Widuri, buka pintunya. Aku mau bicara," panggil Panji seraya mengetuk pintu. Ia membiarkan sebentar suara itu. Cepat Widuri mengusap pipinya yang basah.

Pelan gadis itu membuka pintu, mata mereka saling tatap.

"Maaf. Aku tidak bisa seperti orang lain yang dengan mudah mengungkapkan perasaannya, aku harap kamu bisa merasakan getar hati ini untukmu. Nikmati saja getarnya, karena cinta itu indah dan tak ada kata yang mampu menggambar pesonanya," ucap Panji masih menatap gadis itu.

Air matanya perlahan jatuh.

"Kamu tidak perlu berpikir macam-macam, apa yang kamu lihat tadi tidak seperti yang kamu pikirkan," sambungnya seolah tahu apa yang ada dalam pikiran Widuri.

Hening sejenak. Terdengar tarikan napas dari Panji. Ia melihat cincin pemberiannya di pegang Widuri.

"Boleh aku selipkan cincin itu di jarimu?"

Widuri masih bergeming.

"Baiklah, jika kamu tak menginginkannya. Tapi aku akan memaksa, besok kita menikah! Mungkin dengan itu kamu akan percaya," pungkasnya lalu membalikkan badan meninggalkan Widuri.

"Mas Panji!"

Lelaki itu menoleh. Ia melihat senyum manis di bibir Widuri, pelan tapi pasti gadis itu mengangguk ke arahnya. Sejenak ia membalas senyum itu, kemudian kembali melanjutkan langkah.

Widuri tak bisa menyembunyikan binar bahagia. Wajah putihnya semakin merona ketika sadar Mbok Asih dan Mbok Ratri mengawasinya.

***

Seperti yang ia ucapkan ke Widuri, siang itu ia langsung mengurus surat kelengkapan dan persyaratan pernikahan. Meski selama ini dia diam, tapi dalam hati lelaki itu telah menentukan dan menemukan pilihan hatinya. Tentu saja tak lepas dari rekomendasi putri kecilnya.

Sengaja ia menyuruh Pak Mul menjemput Mika hari itu. Sebab mengurus semua persyaratan cukup menyita waktu.

Tanpa terasa sore menjelang. Semua persyaratan telah ia dapatkan. Wajah tampan Panji terlihat berseri.

Saat ia dalam perjalanan pulang sejenak mampir ke salah satu cafe miliknya.

"Sial!" umpatnya melihat lagi-lagi Rania membuat keributan di sana. Perempuan itu tahu bahwa cafe ini adalah miliknya.

"Ada apa ini?" tanyanya pada karyawan yang sedari tadi menahan diri.

"Ah, akhirnya kamu datang, Panji." Rania tersenyum nakal menghampirinya. Panji kesal, kasar ia menyeret Rania keluar menuju mobil.

"Jangan buat keributan di cafe milikku! Masuk! Apa mau kamu!"

Ia membuka pintu mobil, Rania tersenyum masuk.

"Rania, jangan bikin aku marah! Jelaskan apa mau kamu!" hardik Panji dari belakang kemudi.

"Panji, aku mencintaimu. Aku merasa kita sudah begitu dekat."

"Tolong, Rania. Mungkin waktu itu aku terbawa suasana, aku pikir dulu memang kamu wanita yang pas, tapi ...."

"Ada wanita lain? Apa perempuan yang sering di sebut aunty oleh putrimu?" tanyanya menatap intens.

Tegas Panji mengangguk.

"Aku harap jangan lagi seperti ini. Kamu bisa temukan lelaki lain yang mencintaimu," ujar Panji melepaskan tangan Rania dari bahunya.

Gadis itu menggeleng sedih.

"Kamu jahat, Panji!" suaranya sejak, ia tak lagi meledak-ledak seperti tadi.

"Maaf, aku harap kamu bisa pahami, sekarang keluar! Masih ada urusan yang harus aku selesaikan."

Rania menatap Panji tak percaya.

"Kamu mengusirku?"

"Maaf!"

"Baik, tapi aku akan kembali, Panji. Jangan lupa kita pernah menghabiskan malam bersama!"

****

Udahan yakk. Terima kasih, Readers, sudah menjadi bagian dari Perempuan Kedua 😘. Tanpa kalian semangat itu tak ada. Sedikit komen dan vote cukup membuat jari ini terpanggil untuk kembali menulis.

Penasaran dengan kelanjutan kisahnya? Nih ane kasi bocoran, tapi nnti ya, hihi. Doakan saya dan keluarga sehat selalu, dan Perempuan Kedua bisa segera terbit. Eh ada yang mau nggak? 😁🙈🙊

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top