Part 16

VoMen guys, jan lupa,btw masih ada yg belum follow aku deh kayaknya ya. Yuk lah follow
Happy reading.

"Oke, aku rasa kalian berdua harus menceritakan apa yang terjadi," bisik Panji disambut senyum di bibir Widuri.

***

Acara usai, setelah menemui Mika, ia pamit untuk pulang.

"Aunty, kapan  kita ketemuan lagi?"

Widuri sekilas melirik Panji yang tengah sibuk dengan ponselnya.

"Nanti, pasti kita bisa ketemuan lagi, oke?"

Mikayla mengangguk antusias. Widuri meninggalkan Mika dan Panji yang masih menelepon seseorang.

"Mika, kita pulang sekarang?"

Gadis kecil itu mengangguk.

"Kita ketemu tante Alisha dulu ya."

"Oke,Pa!"

Panji tersenyum mendengar jawaban putrinya.

Mobil melaju menuju tempat salah satu cafe  milik Panji. Di sana telah menunggu Alisha dan beberapa rekan kerja yang lain.

"Hai, Mikayla ...." sapa Alisha saat mereka sampai di lokasi.

"Hai, Tante."

"Ini, tante punya coklat, mau?" tawar Alisha

"Mau dong!" Mika menerima dengan senang.

Sementara Mika dan Alisha sedang asyik berdua. Panji bersama rekan yang lain tampak serius membahas sesuatu.

"Jadi minggu depan kita keluar kota untuk melihat lokasinya,pastikan lahan itu telah bebas dan tidak ada masalah dengan sertifikatnya!" ujar Panji menatap rekan-rekannya yang duduk mengelilingi meja. Mereka semua terlihat sepakat.

"Panji, kamu yakin membiarkan lahan yang ditawarkan cewek yang waktu itu sama kamu?" seorang rekannya bertanya.

Sejenak ia diam, kemudian menggeleng.

"Maksud kamu, Rania?"

Lelaki yang ditanya mengangguk.

"Nggak dulu, tahan aja tawaran yang itu, aku kurang yakin," sahutnya.

Yang lain mengangguk mengerti.

"Panji, si Rania itu calon mama untuk Mika?" seloroh seorang pria berambut cepak di depannya. Mendengar itu Panji menyeringai kemudian menggeleng.

"Entah, kita lihat nanti aja, lagi pula aku nggak ngebet kaya kamu ...." Kalimat itu menggantung saat ia melihat pasangan yang baru saja memasuki cafenya. Dia melirik jam tangan. 

"Saatnya makan siang, silakan kalian mau pesen apa,"  ujarnya pada teman yang duduk di sekelilingnya. Mata lelaki itu tak lepas dari wanita yang baru saja masuk.

"Mika, ayo kita pulang," ajaknya menggandeng tangan putrinya. Merasa aneh Alisha protes.

"Kenapa kamu cabut duluan, Panji?"

"Meeting dah kelar, Mika harus istirahat, urus aja yang lainnya ya," sahut Panji melangkah pergi. Sementara Mika menurut mengikuti langkah papanya.

***

"Sebaiknya jangan telat makan, Widuri, itu asam lambung naik bisa menyebabkan kamu seperti ini," saran Damar saat mereka menikmati Makan siang di cafe.

"Entah, aku males aja," sahutnya sambil meminum air mineral.

Damar tersenyum.

"Aku tahu, pasti ada yang sedang mengganggu pikiranmu, iya kan?" tebak Damar menatap gadis di depannya.

Widuri menggeleng. Wajah cantiknya meredup.

"Aku sudah nggak punya siapa-siapa lagi, Damar. Jadi apa yang aku pikirkan?" tanyanya menerawang.

"Justru karena kamu nggak punya siapa-siapa lagi itu yang bikin kamu seperti ini. Ck! Ayolah kamu punya aku, cerita ke aku."

Mata Widuri beralih pada lelaki yang juga tengah menatapnya.

"Makasih, dokter," balasnya dengan senyum dikulum. Damar tertawa kecil mendengar ucapan itu.

"Apa kabar orang tua angkatmu?"

"Baik, mereka baik, dan sehat. Kapan-kapan aku ajak kamu menemui mereka, mau?"

Widuri mengangguk tersenyum. Mereka berdua kembali meneruskan makan siang.

"Kamu mau balik lagi ke sekolah?" Damar bertanya saat mereka bersiap hendak keluar cafe.

"Iya, aku masih ada jam."

"Oke, kamu tunggu di mobil, aku bayar dulu."

Widuri melangkah meninggalkancafe, ia menuju tempat parkir. Setelah lama menunggu, Damar muncul dengan wajah penuh tanya.

" Kenapa? Kok wajahmu aneh gitu?" tanya Widuri sambil merapikan rambutnya yang ditiup angin.

"Aneh, kasir bilang makan siang tadi gratis."

Widuri mengernyit tak mengerti, Damar Mengangkat bahu seraya menggeleng.

"Gratis, maksudnya?"

"Iya, dia bilang sudah ada yang bayarin."

"Iya tapi siapa, Damar?"

Lelaki berkacamata itu menggeleng.

"Entah, ayo masuk, aku antar kamu ke sekolah."

Di dalam mobil,  Widuri masih bertanya-tanya siapa yang membayar semua makan siang di cafe tadi.

"Mungkin ada seseorang yang mengenalmu, Damar, dia tak ingin kamu tahu."

Damar menggeleng.

"Kasir itu tidak memberikan informasi apapun."

"Ya sudahlah, nggak perlu di pikirin, anggap itu rejeki," tegas Widuri tersenyum disambut anggukan oleh Damar.

Tak lama mobil sampai di pelataran sekolah.

"Makasih, Damar." Widuri berkemas membuka pintu.

"Sama-sama, Widuri. Oh iya kapan kamu bisa aku ajak ke rumah?"

Gadis itu menatap Damar kemudian tersenyum.

"Aku pengajar, kamu pasti tahu kapan jadwal liburku."

Lelaki berkulit bersih itu tersenyum hingga terlihat cekungan di kedua pipinya.

"Oke, nanti aku hubungi ya. Selamat bekerja, Duri!" godanya dengan memanggil dengan panggilan yang dulu selalu membuat gadis itu menangis.

Mendengar itu Widuri membulatkan matanya ke arah Damar. Lelaki itu kali ini terkekeh geli.

***

Sore itu hujan turun deras, Mika sedang bermain di kamarnya. Sedang Panji tengah berada di ruang kerja.

Di atas meja masih tertata dua bingkai figura yang di dalamnya ada foto Diandra. Lelaki itu tersenyum mengusap lembut wajah perempuan yang tengah tersenyum bahagia.

Lelaki itu menyandarkan tubuhnya, masih memegang bingkai mungil. Bibirnya menyungging senyum.

"Mika sudah besar sekarang, Sayang. Sama sepertimu, dia keras kepala ..., sama seperti auntynya," gumamnya masih dengan bibir tersungging.

"Papa!" Tiba-tiba Mika masuk.

"Ya, Sayang?"

"Mika pinjam ponsel Papa sebentar," pintar gadis kecil itu.

"Untuk apa, Mika?"

Mika tak menyahut, ia mengambil benda pipih di meja kerja Panji. Ia mencari galeri foto, kemudian klik. Mata beningnya berbinar.

"Papa, tadi Mika foto sama aunty, minta di fotoin sama bu guru,"lagi papa lihat deh!" ujarnya menyodorkan ponsel pada Panji.

Lelaki itu mengikuti permintaan putrinya. Tampak Widuri tengah tersenyum bersama Mika di foto itu. Kemudian kembali ia berikan pada putrinya.

"Aunty cantik ya, Pa."

"Mika juga cantik, kalian kan perempuan," sanggah Panji tertawa kecil.

Mika ikut memamerkan deretan gigi putihnya.

"Papa kangen sama mama ya?" tanya Mika saat melihat Panji kembali memegang foto Diandra.

"Selalu, papa selalu merindukan mama," jawabnya tersenyum seraya mengangkat tubuh Mika ke pangkuannya.

Manja Mikayla bersandar di dada Panji. Lelaki itu mendekap putrinya erat.

"Tidur, Sayang. Sudah malam."

"Papa temani Mika tidur ya," mohonnya seraya mendongak menatap Panji.

Lelaki itu mengangguk.

"Mika tidur di sini aja, nanti Papa gendong ke kamar." 

Di luar hujan semakin deras, suara petir bersahutan membelah sunyi malam.

"Mika." Panji memanggil 0elan seraya mengusap-usap kepala putrinya.

"Ya, Pa?."

"Mika bisa mulai sekarang nggak lagi bertemu aunty?"

Gadis kecil itu menatap papanya heran.

"Kenapa lagi, Pa? Kan aunty sudah baik sama Mika, aunty nggak ikut Oom Sena pergi kan?" tanyanya polos. Mendengar itu Panji tertawa mencubit pipi Mikayla.

"Aww, Papa! Sakit," pekik Mika memegang pipinya.

"Maaf, Sayang. Maaf," ujar Panji di sela tawanya.

Lelaki itu kemudian diam. Ia teringat siang tadi, Widuri tampak sedang bersama seseorang yang dia tidak tahu.

"Mika, emang kalau nggak ada aunty kenapa sih?" tanyanya ingin tahu.

Putrinya itu diam,  ia terlihat menggeleng.

"Papa, Mika pingin punya mama," sahutnya lirih.

Panji menarik napas pelan kemudian membuangnya cepat. Kembali ia mengeratkan pelukan.

"Mika, Sayang. Dengar papa, kalau papa tidak bisa menemukan mama untuk Mika, bagaimana?"

"Mika mau aunty jadi mama Mika!"

Gadis itu merangsek masuk ke pelukan Panji. Lelaki itu merasa ada getaran halus di bahu Mikayla, gadis kecilnya itu menangis.

Lelaki itu memang  mempunyai sikap dingin, tapi ia selalu tak tega jika melihat putri kesayangannya menangis.

Sejak kepergian Diandra, ia telah berjanji akan membahagiakan putri mereka dengan segenap jiwa. Apapun akan ia lakukan asal Mika bahagia.

Untuk mencari pengganti Diandra sebenarnya bukan hal sulit, tetapi lagi-lagi ia harus mencari seseorang yang juga dicintai Mikayla.

Jika saat ini Mika memilih Widuri, dia masih bimbang dengan perasaannya sendiri.

Baginya Widuri gadis baik, meski ia pernah merampas perhatian romo waktu itu. Tak di pungkiri dia kagum dengan sikap gadis itu pada Mika.

Tapi untuk jatuh cinta, ia masih tidak yakin. Dia tak ingin rasa simpati dan kasihan pada gadis itu membuatnya salah memilih, karena bagi Panji mencintai itu adalah murni karena cinta. Bukan karena hal lain.

Rania, untuk Rania, Panji sadar perempuan itu bukan seorang yang pas untuk menggantikan Diandra. Meski sebelumnya ia merasa yakin.

Hujan di luar masih deras, Mikayla sudah terlelap dalam pelukannya. Lembut ia mengecup kening Mika.

"Mika, maaf, papa belum bisa mewujudkan permintaan Mika yang satu ini. Tapi papa janji suatu saat nanti Mika pasti memiliki seorang Mama," bisiknya pelan.

***

Hari minggu, seperti yang sudah dijanjikan Damar, ia menjemput Widuri di sebuah cafe. Lelaki berhidung mancung itu akan mengajak Widuri bertemu kedua orang tua angkatnya.

Memakai setelan baju berwarna merah muda dengan bunga-bunga kecil dan rambut sebahu dibiarkan tergerai, membuat Widuri tampak anggun. Polesan lipstik berwarna senada menambah sempurna senyumnya.

"Hai, kamu tampak cantik!" seru Damar menatapnya kagum. Pipi Widuri sontak merona.

"Ayo, masuk." Lelaki berkemeja putih itu membukakan pintu mobil untuknya.

"Terima kasih, Damar," ucapnya kemudian masuk.

Tak lama Damar pun masuk mobil.

"Kita berangkat sekarang."

Widuri mengangguk tersenyum.

Sepanjang perjalanan mereka berdua sesekali bercanda. Damar pintar mencairkan suasana. Meski dia seorang dokter, tetapi pembawaan yang santai dan humoris membuat siapapun nyaman.

"Kita sudah sampai," ujar Damar menghentikan mobilnya tepat di sebuah rumah tak begitu besar tapi sangat asri. Banyak tanaman bunga dan tanaman obat di halaman.

"Ibuku senang menanam apapun," jelas Damar seolah mengerti kekaguman Widuri saat melihat hijaunya halaman rumah Damar.

Mereka berdua masuk. Setelah ia mempersilakan Widuri duduk, lelaki itu masuk memanggil ibunya. Tak lama Damar keluar bersama seorang ibu yang tersenyum melihat kehadirannya. Takzim ia menyalami ibu Damar.

"Damar cerita banyak tentangmu, Widuri, membuat ibu penasaran, sebab baru kali ini dia cerita panjang lebar tentang perempuan," ujar ibunya seraya melirik sang putra. Hal itu membuat Damar mengusap tengkuknya sambil tersenyum.

Widuri tampak tersenyum malu.

"Ibu senang kamu mau diajak ke sini. Kalau ada waktu luang, kamu bisa datang main ke sini, Widuri."

Mendengar itu terlihat wajah gadis itu bahagia.

"Terima kasih, Bu. Saya merasa menemukan kembali ibu saya," ucapnya lirih.

Damar ikut bahagia, dia merasa senang bisa membuat gadis itu tersenyum.

****

Hayoo, Part ini boring yaa, wkkwk😂. Gpp toh hidup kadang membosankan bukan? Elah, ngapa aku jd curhat? Wkwkw
Yodah, see you😘, thanks sudah membaca gaes.









Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top