Part 12
Masih setia menunggu kisah ini?
Kuy lah cuss baca yes😘
Baca sambil dengerin lagu di atas, nyessss gitu deh😁😘
Sekilas Panji melihat Sena menatap putrinya yang tengah bermanja dengan Widuri.
"Panji, sepertinya kamu harus mencari pengganti Diandra, romo lihat Mika sangat menginginkan seorang ibu." Romo tiba-tiba muncul di sebelahnya.
Lelaki penyuka warna biru itu tersenyum menanggapi ucapan romo.
"Panji nggak pernah memikirkan hal itu, Romo. Buat Panji, Diandra adalah ...."
"Bukan buat kamu, tapi buat Mikayla, putrimu!" sela lelaki bijak itu.
Panji terdiam, kemudian menggeleng.
"Entah, Panji bukan Romo yang bisa mudah melupakan mama!" sindirnya melirik.
Hening, sayup terdengar suara tawa Mika di dalam.
"Romo khawatir pada Widuri, andai kalian berjodoh tentu itu akan membuat hati romo tenang." Ucapan itu membuat Panji menoleh. Matanya menyiratkan rasa ingin tahu.
"Ada apa dengan dia?"
Helaan berat terdengar dari napas lelaki tua itu.
"Sena, ini tentang Sena!"
Kembali ia bertanya dengan wajah serius.
"Ada apa dengan Sena?"
Romo menceritakan hal yang sama sekali tak disangka olehnya. Lelaki itu pernah memergoki suami Widuri itu tengah menerima telepon dari seseorang.
Beliau mendengar Sena tengah mengkhawatirkan kandungan entah siapa. Yang membuat romo semakin curiga, lelaki itu memanggil seseorang di sana dengan panggilan sayang.
Panji mendengarkan dengan seksama cerita romo.
"Jadi maksud, Romo, Sena punya ...."
"Entah, tapi firasat romo seperti itu."
Sejenak kembali hening.
"Bukankah mereka besok sore berangkat?" tanya Panji tampak khawatir.
Romo mengangguk pelan.
"Kamu bisa bantu romo, Panji?"
"Bantu apa, Romo?"
"Kita tanyakan semua ini ke Sena."
Panji diam, ia teringat malam itu saat Widuri sendiri di halte. Meski saat itu dia tidak begitu jelas mendengar suara Sena, tapi jelas lelaki itu marah. Panji melihat ekspresi dan gerak tubuh Sena.
Dengan menarik napas, Panji mengangguk.
"Baik, Romo. Panji bantu."
***
Di ruang tengah, tiga lelaki tengah duduk dengan mimik muka serius. Panji sesekali menatap tajam pada Sena. Sedang Sena membuang wajahnya menghindari tatapan Panji.
"Jawab, Sena! Apa yang kamu sembunyikan dari kami dan Widuri!"
Lelaki yang ditanya mengeraskan rahang, tangannya tampak mengepal.
"Widuri bercerita apa memangnya, Romo? Sehingga saya diadili seperti pesakitan?" balas Sena.
Romo menggeleng, beliau menjelaskan dari mana timbul rasa curiga.
Kasar Sena mengusap wajahnya.
"Maafkan saya, Romo. Tapi saya sangat mencintai Widuri, dan yang Romo dengar itu adalah ...." Sena diam.
"Katakan saja, Sena!" sergah romo mulai kesal.
"Dia adalah suatu kesalahan yang seharusnya tak terjadi," sambung Sena pelan sambil mengacak rambutnya.
Panji dan romo sejenak saling tatap, kemudian kembali mereka menatap Sena.
"Jadi maksudmu, dia ...."
"Iya, Romo, dia istri saya, saya sama sekali tidak berniat untuk menghianati Widuri, saya khilaf, Romo ...." Sena menunduk tampak menyesal.
Romo mengusap dadanya sambil menggeleng. Sena menghambur berlutut pada romo memohon untuk dimaafkan, dan meminta agar Widuri tetap menjadi istrinya.
Melihat itu, Panji beranjak pergi.
"Panji, panggil Widuri ke sini. Biar dia yang menentukan apa yang akan dia pilih!" perintah romo disambut anggukan oleh Panji.
Lelaki itu melangkah ke halaman belakang, ia melihat Mika tengah tertidur di dalam dekap gadis itu. Sejenak ia melihat ke arah pergelangan kemudian mengangguk, ini adalah waktu jam tidur putrinya. Pelan ia mendekat. Jelas ia melihat bulir air mata jatuh di pipi Widuri.
"Maaf, romo memintamu datang ke ruang tengah."
Suara Panji membuatnya tersentak. Segera di sekanya air mata.
"Baik, Mika biar saya bawa ke kamar dulu."
"Tak perlu! Sini biar aku yang bawa." Panji mendekat pelan mengambil dari dekapan Widuri. Tanpa sengaja tangan mereka saling menyentuh.
"Maaf!" ucap Panji singkat, kemudian meninggalkan Widuri.
Di ruang tengah, gadis itu duduk berseberangan dengan Sena. Ia menunduk mendengar perkataan sang romo. Ia tak menyangka romo tahu hal sebenarnya.
"Sekarang keputusan ada padamu, Widuri! Kamu yang akan menjalani nanti," tegas romo.
Pelan ia mengangkat wajah menatap suami yang baru beberapa hari menikahinya. Kembali bulir bening menetes.
Sena hanya bisa diam membalas tatapan dengan penuh permohonan.
"Maafkan aku, Mas. Aku mundur, ceraikan aku, berbahagialah kamu dengan Andini!" suara Widuri serak, setelah bicara seperti itu, ia berlari menunduk menuju kamar. Tanpa disadari gadis itu menabrak dada bidang milik Panji yang baru saja keluar dari kamar menidurkan Mika.
Panji bergeming sesaat, ia tak bereaksi.
"Maaf!" ucap Widuri menunduk kembali meneruskan langkah. Lelaki itu menghela napas, kemudian menggeleng. Ia kembali menuju ruang tengah.
"Ceraikan Widuri, Sena!" Romo berucap dengan wajah marah.
Lelaki itu menunduk, berkali-kali ia mengacak rambut.
"Kalau kamu tidak mau mengurus perceraian, biar kami saja yang mengurusnya! Dan sebaiknya kamu kemasi barangmu sekarang juga!" sambung romo lagi.
Sena mengangguk pelan.
"Baik, Romo. Saya ceraikan Widuri dan saya kemasi barang saya, boleh saya meminta sesuatu sebelum saya pergi?" pintanya lirih.
"Apa?"
"Boleh saya bertemu Widuri sebentar?"
"Hmm, temui dia, tapi jika ia tak mau, jangan memaksa!" jawab romo tak menatap.
***
"Pergilah, Mas! Jangan pernah kembali, aku sudah cukup sakit dengan semua kebohonganmu!" Widuri menatap ke luar jendela. Sena masih berdiri di pintu.
"Maafkan aku, Widuri, aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku sangat mencintaimu!"
Gadis itu membalikkan badan, menatap tajam dengan mata mengembun.
"Jika memang benar mencintaiku, kenapa Mas berbuat seperti itu? Membuat perempuan itu hamil? Itu bukan cinta, Mas! Sudah, pergi sekarang, aku cuma minta Mas urus perceraian kita!"
Sena menarik napas berat, ia mengangguk.
"Kamu jangan khawatir, aku segera urus seperti apa yang kamu minta, Widuri."
****
Hari-hari berikutnya, Widuri kembali beraktifitas. Sena, telah resmi menceraikannya. Seolah tak ingin kenangan buruk menari di memorinya, Widuri semakin bersemangat mengajar dan membuka les privat di rumah.
Hal itu tentu saja membuat Mika bahagia, gadis kecil itu tak tahu apa yang terjadi. Yang ia tahu hanya aunty kesayangannya tidak jadi pergi.
Pagi itu Panji mengantar Mika ke sekolah.
"Papa."
"Hmm." Panji fokus mengemudi.
"Pulang nanti Papa nggak usah jemput ya," pinta Mika.
Dengan kening berkerut, Panji menatap sekilas putrinya.
"Ada apa? Kenapa papa nggak boleh jemput anak papa?"
Mika menampakkan deretan gigi putihnya.
"Mika janjian sama aunty! Boleh ya, jalan-jalan sama aunty," suara Mika manja merayu papanya.
Panji menyungging senyum, ia mengangguk.
"Oke, jadi Mika jalan sama aunty berdua aja?"
Gadis kecil itu mengangguk cepat.
"Oke, terus kalau sudah pulang, papa jemput di rumah eyang, gitu?"
Lagi-lagi ia mengangguk, kali ini tak lupa Mika mencium pipi Panji sambil mengucap terima kasih.
***
Di cafe sebuah mall, seorang gadis berkaca mata tampak tengah menunggu seseorang, sesekali ia melihat jam tangan, kemudian menyapukan pandangan berharap yang ditunggu tiba.
Tak berapa lama, dari arah berlawanan, seorang pria dengan t-shirt hitam, celana jeans dengan sepatu kets melangkah menghampiri. Wajah gadis tersebut terlihat bahagia.
Sejenak mereka bersalaman. Kemudian duduk.
"Maaf, sudah bikin kamu nunggu," ujar sang lelaki sambil tersenyum.
"It's oke! Nggak apa-apa, aku juga belum lama kok."
Sang pria memanggil pelayan, memesan minuman dan makanan kecil.
"Jadi kapan kamu mau bikin pameran tunggal, Rania?" tanyanya seraya menyandarkan tubuh di kursi.
"Aku rencana sih, bulan depan, entah ini masih cari sponsor juga sih!"
Lelaki itu mengangguk. Tak lama datang pelayan membawakan pesanan mereka.
"Silakan, aku yang ngajak, maka aku yang mempersilakan."
Ucapan pria itu disambut tawa Rania.
"Eh, sebentar, kamu bilang mau ngajak Mika, kemana dia?"
Panji tersenyum mengangkat bahu.
"Dia udah punya acara sendiri," jawabnya tergelak kemudian menyeruput cappucino.
Kembali Rania tertawa mendengar jawaban Panji.
Sementara di tempat lain Mika tengah asik memilih buku cerita, di sampingnya terlihat Widuri dengan sabar menemani.
"Aunty, ini buku kesukaan papa!" Mika mengangkat satu buku resep masakan sehat kepada Widuri. Gadis itu tersenyum geli.
"Papa suka masak?"
Mika mengangguk.
"Mika kan nggak suka sayur, jadi papa cari masakan seperti ini," jelas Mika.
Gadis itu mengangguk mengerti. Setelah berputar-putar memilih buku, mereka berdua melanjutkan ke toko mainan.
"Mika, bukannya mainan Mika sudah banyak ya?"
Gadis kecil itu mengangguk.
"Tapi Mika pingin ini, Aunty." Ia menunjuk satu boneka kelinci berwarna pink.
"Ya sudah, ambil, habis itu kita pulang ya, sudah siang banget, sebentar lagi sore."
Sambil melonjak gembira, Mika mengangguk.
Setelah mendapatkan mainan yang ia inginkan, Mika dan Widuri menyusuri mall untuk pulang.
"Aunty, tunggu!" Mika menghentikan langkah, matanya mengarah ke dua orang yang tengah bercanda di cafe tepat di depannya.
Widuri mengikuti arah pandangan mata Mika.
"Aunty, itu Papa, 'kan?"
Widuri diam, matanya mencoba memastikan bahwa lelaki yang di maksud Mika adalah benar-benar Panji.
"Itu, Papa Mika, 'kan?" tanyanya lagi kali ini mata gadis kecil itu meminta penjelasan Widuri.
"Iya, itu Papa Mika."
Gadis itu berdecak tak suka.
"Papa sama siapa itu, Aunty?"
Widuri menggeleng tersenyum.
"Yuk, kita pulang, Papa Mika pasti sedang ada urusan dengan tante itu, Mika nggak boleh ganggu. Ayo kita pulang," ajak Widuri menggandeng Mika. Tapi gadis kecil itu tampak tak puas dengan penjelasannya.
"Papa!" teriak Mika berlari mendekat.
***
Bersambung
VoMen manisnya ditunggu. Hihi 😁
Colek cantik jika typo.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top