Part 1
Haiiiii, pasti pada bete yaa, kenapa sih cerbung yang lama nggak di up malah bikin baru 😁, Yah itulah, terkadang tetiba muncul aja ide, pas ada langsung deh eksekusi, hihi. Btw baca dulu deh, kali. Aja suka 😊💜
Happy reading guys
Panji masih duduk di depan kanvas, mengusap cat air di sana. Lelaki berwajah dingin dengan alis tebal dan mata tajam itu tak berhenti menuangkan isi hatinya, seolah kanvas itu media mencurahkan perasaannya.
Enam bulan sudah dia harus 'terkungkung' di kursi roda. Kecelakaan membuat istri yang telah memberinya satu putri itu meninggal. Meski kejadian telah lama berlalu, tetapi rasa bersalah masih menggayut pikirannya. Dia membenci dirinya, juga membenci Tuhan, yang menurutnya tidak adil.
Peristiwa kecelakaan terjadi saat mereka baru saja pulang dari belanja bulanan. Beruntung bayi mereka saat itu tak diajak. Sebuah minibus yang melaju dengan kecepatan tinggi menabrak mobil mereka, belakangan diketahui minibus itu bermasalah dengan rem.
Diandra meninggal seketika, sedang Panji harus terus terapi supaya kakinya kembali berfungsi dengan normal.
"Mas Panji, maaf seharian ini belum makan apapun, nanti Panjenengan sakit." Mbok Ratri ragu berkata.
"Bawa saja kembali semua makanan itu, saya nggak selera!"
Sambil menunduk perempuan paruh baya itu mengambil makanan di meja.
"Malam ini Panjenengan mau makan apa, Mas?"
"Nggak usah disediakan, saya bisa ambil sendiri jika mau," ujarnya menggeleng.
"Tapi pesan Romo kakung ...."
"Mbok, untuk urusan itu, biar saya yang bicara ke Romo. Sekarang Mbok bawa aja semua makanan itu ke dapur."
"Inggih, Mas."
Raden Panji Bagaskara, seorang pemuda keturunan darah biru, dibesarkan oleh seorang ayah tanpa belai lembut ibu. Sang ibu meninggal saat dia berusia tujuh tahun. Sejak itu Panji berubah menjadi pemurung, menutup diri, dan dingin.
Pertemuannya dengan Diandra, membuat hari-hari pria berkulit bersih itu berwarna, dia bisa menatap dunia dengan senyum, hingga akhirnya menikah. Namun, kebahagiaan itu tidak lama, empat tahun setelah mereguk bahagia, Diandra harus pergi selamanya.
Dua bulan setelah kepergian Diandra, ayahnya menikah lagi. Hal itu membuat Panji kembali ke sifat aslinya, dingin bahkan lebih dari sebelumnya. Sejak kehadiran perempuan yang menurutnya telah mengacaukan sang ayah, Panji memutuskan untuk pindah.
Dia tak tahan jika harus berhari-hari bertatap muka dengan ibu tirinya. Terlebih Widuri, anak perempuan dari pernikahan wanita itu di masa lalu.
Meski sangat membenci dan menyesali dirinya, pria bertubuh atletis itu sangat menyayangi Mikayla, putri cantiknya yang saat ini menginjak usia tiga tahun.
***
"Panji, romo harap kamu datang di acara syukuran kelulusan Widuri, adikmu!"
Panji diam menatap wajah keras Romo, kemudian membuang napas kasar.
"Aku tidak kenal Widuri! dan aku tidak punya adik!" Panji memencet tombol di kursi rodanya, meninggalkan romonya sendiri di ruang tamu.
"Panji! Sejak kapan kamu tidak menghargai orang tua?" hardiknya.
"Sejak Romo menikah dengan perempuan penggoda itu, dan sejak dia dan anaknya masuk ke rumah besar kita!"
"Tutup mulutmu!" kembali Romo menghardiknya,kali ini tangannya siap melayang ke pipi Panji.
"Silahkan! Tampar saja! Aku tak peduli siapapun!" tantang Panji kembali menatap romo.
"Eyaaang!" panggilan dari Mika menyudahi ketegangan keduanya. Seorang gadis kecil berlari ke arah pria berambut sedikit putih itu. Dengan senyum lebar Broto menyambut sang cucu kemudian menggendongnya.
"Eyang sendirian?" tanya gadis kecil berambut ikal itu.
"Iya, kenapa?"
"Aunty Widuri kenapa nggak diajak?" tanyanya manja. Sejenak Broto melirik Panji yang membeku.
"Aunty Widuri masih sibuk, besok ke rumah eyang ya, ajak Papa," ujarnya.
Gadis kecil itu menatap Panji dengan tatapan memohon.
"Papa ..., kita besok ke rumah eyang ya."
Pelan lelaki itu mengangguk tersenyum.
Mikayla melonjak kegirangan, segera turun dari gendongan eyangnya dan berlari ke arah Panji kemudian memeluknya.
"Terima kasih, Papa. Mika sayang sama Papa!"
"Papa juga sayang sama Mika," balasnya.
***
Sore itu di rumah keluarga Broto nampak kesibukan. Malam nanti adalah acara syukuran kelulusan Widuri, anak tiri Broto. Meski begitu tak ada perbedaan, Broto sangat menyayangi putri tirinya itu, demikian sebaliknya.
Widuri telah menyelesaikan kuliahnya dan lulus dengan hasil memuaskan. Hal itu tentu saja membanggakan bagi Broto dan istrinya.
"Widuri, apa semua sudah siap?" tanya ibunya.
"Sudah, Bu."
"Yo wes, sekarang kamu bersiap - siap dulu sana."
Widuri mengangguk. Baru saja gadis berkulit pualam itu hendak melangkah, suara gadis cilik menghentikannya.
"Aunty!"
Mata bening milik Widuri berbinar melihat Mikayla berlari ke arahnya.
"Heii, apa kabar, Mika?"
"Baik, Aunty kenapa kemarin nggak ke rumah Mika?"
Gadis berambut sebahu itu tersenyum, namun matanya meredup melihat tatapan tajam dan wajah keras Panji.
"Aunty lagi nyiapin ini semua, Sayang. Mika main dulu sama eyang putri ya, aunty mau mandi dulu," ucap Widuri mengusap pipi Mika. Gadis itu mengangguk.
Ragu Widuri menarik bibir ke arah Panji. Lelaki itu membuang muka ke tempat lain.
Meski Widuri sangat dekat dengan Mika, namun tidak dengan Panji. Setiap sore kerap Widuri ke rumah Panji untuk mengajar Mika baca tulis. Namun, lelaki itu sama sekali tak pernah menemuinya.
Namun, hal itu bukan masalah bagi gadis bertubuh semampai itu. Rasa sayangnya pada Mika membuatnya mengacuhkan sikap Panji.
***
Malam menjelang, pesta mulai meriah, nampak Mika berlarian menikmati pesta. Teman-teman Widuri berdatangan mengucap selamat padanya. Kebahagiaan terpancar di wajah kedua orang tuanya, demikian juga Widuri.
Keceriaan di ruang pesta tidak memengaruhi seorang lelaki yang duduk di kursi roda, lelaki berhidung mancung itu duduk sendiri di halaman belakang menatap langit. Kilasan bahagia masih tergambar di memorinya.
Dia masih ingat betul bagaimana kebahagiaan saat Diandra menjadi pendamping hidupnya, kemudian bagaimana raut kegembiraan sang ayah saat mendengar dia akan menimang cucu. Semua masih tergambar jelas.
Panji membuang napas kasar, meski secara finansial dia tak pernah kekurangan, tetapi sejak kepergian Diandra hidupnya serasa ada yang hilang.
Peristiwa yang menyebabkan wanita yang sangat dicintainya itu meregang nyawa, semua itu dia merasa karenanya. Andai saat itu dia membiarkan Diandra mampir ke salon langganannya, pasti hal buruk tak terjadi.
Malam semakin larut, pesta pun usai. Panji masih setia dengan langit dan bintang seolah tak ingin beranjak dari sana. Sementara angin malam bukan hal yang baik bagi kesehatan.
"Mika sudah tidur?" tanya Ratih ibunya.
"Sudah, Bu," jawab Widuri.
"Mas Panji kemana, Bu?" lanjutnya lagi.
"Seperti biasa, dia ada di halaman belakang. Coba kamu ajak masuk," ibunya memberi saran.
Widuri mengangguk melangkah menuju halaman belakang. Ia melihat Panji sendiri.
"Mas, sudah malam, apa tidak sebaiknya masuk?" tanya Widuri ragu,sebab selama ini tak pernah ada percakapan antara dia dan Panji.
Nampak tak ada respon dari lelaki itu, seolah dirinya tak ada.
"Mas? Saya bantu? Tidak baik malam malam masih di luar," ujarnya lagi.
Namun, Panji bergeming tak peduli. Widuri mencoba mengerti, pelan dia menyentuh kursi roda mencoba mengajak Panji masuk.
"Jangan sok baik! Jangan sok perhatian!" hardik Panji membuat Widuri mundur selangkah.
"Maaf, ada apa, Mas?" lirihnya.
"Kamu tuli? Hah! Aku bilang jangan berlagak sok baik! Kamu nggak perlu bertindak seperti ini! Aku bisa sendiri! Pergi!" bentaknya pada Widuri.
Gadis itu menyipit, ada kemarahan di wajahnya.
"Mas Panji! Saya berbuat seperti ini bukan karena ingin dianggap perhatian atau apa! Saya hanya sekedar berempati pada Anda! Baik, saya akan meninggalkan Anda sendiri!" ucap Widuri kesal kemudian meninggalkan Panji.
Lelaki itu tetap mengacuhkan, tetapi kemudian dia menelepon seseorang, dan tak menunggu lama datanglah seorang lelaki paruh baya.
"Nggih, Panjenengan mau pulang sekarang, Mas?" tanyanya sopan.
"Iya, Pak Mul! Tolong bangunkan Mika, bawa ke mobil. Kita pulang sekarang," perintahnya. Tanpa menyahut Pak Mul mengikuti perintah Panji.
"Mbok ya besok saja kalian balik, kasian Mika, dia sudah tertidur nyenyak," usul ibunya. Panji hanya menggeleng menanggapi.
"Panji, biarkan malam. Ini Mika tidur di sini, besok pagi Widuri antar ke rumah," ujar Pak Broto.
"Mika harus pulang malam ini," jawab Panji dingin, "tidur di mana dia?" tanyanya.
"Dia tidur di kamar saya, biarkan malam ini dia tetap di sini." Suara Widuri terdengar kesal.
"Mika bukan anakmu!" ucap Panji sinis, "Pak Mul, angkat Mika, bawa ke mobil!" lanjutnya lagi.
"Jangan Pak Mul! Biar saya saja yang membawa Mika ke mobil," cegah gadis itu.
Panji menekan tombol jalan pada kursi rodanya, meninggalkan perdebatan. Setelah Panji masuk mobil, tak lama nampak Mika yang masih pulas digendong Widuri.
Pelan gadis itu membaringkannya di kursi belakang. Setelah dirasa Mika tetap pulas, gadis itu keluar dan menutup pintu mobil perlahan.
"Jalan, Pak Mul!" ujar Panji dingin.
"Terima kasih, Mbak Widuri," ucap Pak Mul sopan, seolah mewakili Panji.
Widuri mengangguk tersenyum membalas Pak Mul. Sedang Panji tetap dengan ekspresi dinginnya hingga mobil pergi meninggalkan rumah Pak Broto.
***
Bersambung
Ada yang suka? 😁😅
Semua kisah di sini insya Allah akan di update tapi selow pemirsahh 😊.
Bersabarlah, hehe
Love you all readers 💜
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top