Bab 7

"Mbak, coba makan sedikit. Perut ndak boleh kosong."

Suara Menik terdengar sangat pelan di telingaku. Mencoba membujuk dan merayu agar aku mau makan. Bujukan itu disertai isakan dan juga tangisan lirih. Menik jelas merasa kasihan padaku, diperkosa oleh laki-laki yang seharusnya menjadi pelindung. Kami menikah tanpa cinta, tidak ada yang bisa kuharapkan dari laki-laki itu tapi tidak kusangka akan begini menyakitkan. Tadi malam tubuhku dipukul, wajah ditampar dan digunakan sesuka hati. Aku bahkan tidak punya kuasa untuk tubuhku sendiri. Saat laki-laki itu bergerak di atas tubuhku, rasa jijik dan kesakitan melandaku. Ingin rasanya mati dengan menggigit lidah sendiri tapi tersadar ada Simbah yang sedang menungguku pulang.

Kenapa hidupku harus tragis seperti ini, padahal aku ingat tidak pernah berbuat jahat pada orang lain. Meskipun aku bukan umat beragama yang terlalu taat, setidaknya aku mengerti batasan antara melakukan hal baik dan hal buruk. Lalu kenapa Tuhan memberiku cobaan seperti ini? Apakah aku pernah melakukan kesalahan dan mendapat hukuman untuk itu?

"Mbaak, kalau ndak mau makan setidaknya minum sedikit. Ayo, aa, buka mulutnya."

Demi Menik yang terus merengek, aku memiringkan tubuh. Membiarkan Menik menyuapiku bubur bercampur air. Berusaha untuk tidak memuntahkannya meski di lidah terasa pahit.

"Menik ...."

"Iya, Mbak."

"Sakit sekali."

Tangisku meledak dan Menik duduk di pinggir ranjang untuk mengusap bahu dan rambutku. Kami berdua bertangisan di rumah kecil ini tanpa kata. Menik memahami penderitaanku dan ikut bersedih denganku. Kami terisak-isak bersama, saling memeluk dan menguatkan. Aku membiarkan Menik menghiburku meski sama-sama tahu kalau kami menderita di sini. Di rumah yang bagai tahanan ini, aku hanyalah alat jual beli dan Menik, satu-satunya orang yang memperlakukanku sebagai manusia. Tanpa dia, aku tidak punya siapa-siapa lagi.

"Saya tahu dan mengerti kalau sakit, Mbak. Saya juga ndak tega lihatnya tapi di sini ndak ada yang berani melawan Ndoro Jagad dan istrinya. Seorang orang takut dan tunduk."

Aku mengusap air mata, mendadak teringat kalau Menik ikut pidah kemari bersamaku. Karena disiksa semalaman, aku tidak punya waktu untuk memikirkan nasib abdiku itu. Padahal sebagai majikan aku harusnya peduli padanya.

"Bagaimana keadaanmu di sini? Mereka memperlakukanmu dengan baik?"

Menik tersenyum. "Ndak ada bedanya sama di rumah Pak Mulyoharjo."

Aku tahu Menik menyembunyikan sesuatu. Pasti terjadi hal yang menyakitkan dan tidak mengenakan di sini dan Menik harus menahan perlakuan tidak mengenakkan itu demi aku.

"Maafkan aku, Menik. Sudah menyeretmu dalam penderitaan."

"Jangan ngomong begitu, Mbak. Saya ikut karena kerelaan dan bukan terpaksa. Yang terpenting Mbak selalu sehat biarpun berada di neraka ini."

Aku pun ingin melakukan seperti yang dikatakan Menik. Tetap sehat dan tenang di tempat seperti ini tapi hal buruk terus menerus terjadi padaku dalam waktu berdekatan, kalau bukan demi Simbah mungkin aku sudah gila atau bunuh diri.

Siang itu tidak ada orang yang menjengukku sama sekali, hanya Menik seorang yang datang untuk mengirim makanan dan membantuku berganti pakaian. Selama seharian penuh Menik menemani, hanya pergi sebentar untuk melakukan sesuatu dan malam adalah mimpi buruk. Dimulai pukul sepuluh, laki-laki itu akan datang dalam keadaan mabuk. Merobek pakaianku, memukul, dan menampar, tidak peduli kalau aku menjerit dan berkali-kali memperkosa. Membuatku tidak hanya kehilangan tenaga tapi juga harga diri.

Penyiksaan demi penyiksaan itu berlangsung selama tujuh hari berturut-turut atau bisa jadi lebih, aku tidak pernah menghitung hari. Setiap malam, saat pintu membuka dan laki-laki itu muncul, tubuhku gemetar dan tidak bertenaga. Diperlakukan layaknya binatang, aku merasa diri sangat hina dan kotor.

"Kamu adalah istrinya, jangan memberontak atau mati."

Pada awalnya aku memang berteriak dan melawan, tapi justru menambah berat siksaanku dan berlangsung lebih lama dari biasa. Sampai akhirnya aku mengubah taktik menjadi gedebok pisang yang kaku dan tidak bergerak sedikitpun, terserah apa yang dilakukannya padaku. Jurus itu berhasil, siksaan menjadi lebih cepat dan pukulan serta tamparan berkurang.

"Menjijikan, aku punya istri baru tapi tak ubahnya tiang listrik!"

Setelah tiga Minggu meniduriku terus menerus, akhirnya terhenti di Minggu keempat. Jagad tidak pernah lagi datang selama tiga hari berturut-turut. Kesempatan itu digunakan Menik untuk merawat luka-luka di wajah dan tubuhku. Mengolesi salep dan memberi obat penghilang nyeri. Meskipun Jagad kaya raya tapi makanan yang diberikan untukku tidak lebih baik dari rumah ayah. Nasi, sayur, dan lauk biasa. Tidak ada istimewa seperti ayam atau daging, rupanya mereka menganggapku tawanan yang tidak layak diberi makanan enak.

"Mau jalan-jalan ndak, Mbak? Lihat-lihat sekitar. Wajah Mbak pucat sekali."

Saran dari Menik terpaksa kutolak. Bukan karena tidak ingin jalan-jalan tapi tubuhku terlalu lemas untuk sekedar berjalan.

"Besok-besok, aku kayak nggak ada tenaga, Menik."

"Ya udah, tidur dan istrahat, Mbak. Mumpung Ndoro ndak datang lagi."

Ternyata, waktuku untuk istirahat tidak lama, karena kali ini yang berkunjung adalah istrinya Jagad. Perempuan itu mendatangiku suatu siang bersama beberapa abdi rumah. Memakai baju terusan semata kaki warna hijau, perempuan yang masih cantik di usia yang tidak lagi muda, menatapku dengan hidung terangkat. Seolah tubuhku menguarkan bau busuk. Kalau tidak salah ingat, namanya Santika. Nama yang bagus, cocok untuk orangnya.

"Enak banget jadi kamu, ya? Dibawa ke rumah ini bukannya kerja malah malas-malasan! Apa kamu pikir sebagai istri dari Ndoro Jagad kamu merasa punya segalanya?"

Santika membungkuk ke arahku yang duduk di pinggir ranjang, menarik rambut dan berbisik mengancam.

"Perempuan jahanam. Ayahmu menjualmu kemari sebagai pembantu bukan jadi majikan. Tempat tinggalmu memang beda, bukan di mess pembantu tapi di sini. Itu karena kamu harus melayani Ndoro saat malam. Tapi saat siang, kamu harus bekerja keras di rumah ini untuk membantu ayahmu membayar utang-utang!"

Satu lagi penderitaan muncul dan aku hanya bisa mengangguk pasrah. Tidak ingin bersilat lidah.

"Iya, Nyonya."

"Bagus. Mulai besok, kamu mulai bekerja di kebun. Ikut bersama petani lain memetik jeruk. Kalau sampai berani kabur, aku yang akan membunuhmu!"

"Jangan kuatir, aku nggak punya tujuan kalau mau kabur juga."

Jawabanku membuat Restini menyipit. Kebencian terlihat jelas di matanya. Aku hanya menghela napas panjang.

"Pintar juga kamu. Seperti bukan anak laki-laki bodoh dan serakah itu! Bekerja dengan keras, dan jangan malas-malasan!"

Keluar dari kandang buaya dan masuk ke kandang singa, adalah pepatah yang tepat untukku. Kalau pun aku ingin menangis, air mata tidak akan pernah bisa keluar. Aku hanya bisa pasrah, barangkali jalan menuju kematian memang ada di rumah ini. Saat ini yang paling bersedih justru Menik, karena melihatku harus bekerja di kebun. Menik yang malang, punya majikan yang justru membuatnya repot. Santika pergi bersama abdi-abdinya setelah selesai mengancamku.
.
.
Di Karyakarsa bab 30.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top