Bab 4
Aku tidak tahu berapa lama disekap di kamar ini, karena melalui hari tanpa tahu siang dan malam. Kamar dikunci dari luar dan tanpa jendela dengan penerangan remang-remang. Makan dan minum diantar dan itu pun dalam jumlah yang terbatas. Beberapa jam sekali mereka membawaku ke kamar mandi untuk buang air kecil atau mandi, tapi aku melakukannya dengan sangat pelan karena tubuhku lemas. Makanan yang diberikan tidak lebih dari sekepal nasi dan tempe goreng satu, air pun hanya satu botol kecil. Mereka memberiku makan hanya pagi dan malam, selebihnya tidak ada apa-apa. Di dalam tanpa perabot apa pun selain dipan dan lemari kecil.
Sesekali aku mendengar langkah kaki dan obrolan di luar kamar, tanpa tahu siapa saja mereka. Bersandar pada dinding, yang aku pikirkan adalah nasib Simbah. Apakah dia baik-baik saja? Pasti Simbah menangis dan bingung karena aku dibawa pergi. Meskipun tahu yang membawaku adalah ayahku sendiri. Hubungan mereka tidak pernah baik sedari dulu, dengan diriku diculik tiba-tiba, sudah pasti Simbah marah dan sedih.
Sebenarnya apa yang terjadi dengan orang-orang di rumah ini? Bertahun-tahun tidak pernah menghubungiku dan sekarang aku dibawa kemari dengan paksa. Mereka bahkan bicara soal pernikahan. Siapa yang mau menikah? Aku tidak akan sudi melakukannya meskipun untuk menolong ayahku sendiri. Laki-laki tua yang hanya kudengar namanya saja, tanpa pernah merasakan sentuhan kasih sayangnya. Selama ini Simbah yang merawat, mengasuh, dan membiayai pendidikanku. Bukan orang-orang sialan di rumah ini.
Aku mengernyit, tubuhku lemas dan bahkan untuk berdiri pun sulit. Menyelonjorkan kaki, aku ingin sekali keluar tapi bagaimana caranya. Seandainya ada jendela, aku bisa melakukannya. Kamar ini bahkan lebih pengap dari gudang tempatku dulu bekerja mengemas barang. Tanpa cahaya matahari, tanpa ventilasi udara, membuat leherku tercekik.
Terdengar langkah kaki dan tak lama, suara-suara terdengar di depan kamar.
"Kapan kita harus keluarkan dia, Pak?"
"Nanti saja kalau sudah dekat harinya."
"Tapi, kita juga perlu persiapan. Biarpun anakmu itu cantik, kalau pucat dan kurus kering mana mungkin Pak Jagad suka."
"Halah, laki-laki seperti dia sudah pasti suka. Bening itu masih muda. Yang dibutuhkannya adalah perempuan untuk mengandung keturunannya."
"Iyo, sih. Tapi tetap saja aku inginnya bocah itu dikeluarkan dulu dari dalam. Kasih makan, didandani, dengan begitu kelihatan ayunya."
"Yowes, terserah kamu. Tapi, hati-hati, yo. Jangan sampai dia kabur lagi."
Aku menggigil dalam takut, merasa diriku seolah sapi yang diperlihara, digemukan, sebelum dipotong. Bergerak perlahan, aku ingin membuka pintu tapi belum sampai tanganku memegang knop, pintu dibuka dari luar. Dua pasang tangan memegang lenganku.
"Lepaaskaaan! Lepaskan akuu!"
"Diaam!" Perempuan tua itu melotot, kali ini aku dibawa ke kamar yang lebih terang dan luas.
"Kita lepaskan di sini Bu Restini?" tanya salah satu laki-laki yang memegangiku.
"Iya, tinggalkan kami! Kunci pintunya dari luar dan kalian berjaga. Aku akan keluar kalau sudah bicara dengan si gembel ini!"
Dua laki-laki yang menyeretku keluar, tertinggal hanya diriku bersama perempuan tua bernama Restini. Samar-samar aku mengingat tentang perempuan ini. Dulu sekali, dia pernah memukulku dan juga ibuku. Kami berdua terlempar ke lantai yang licin. Kenangan buruk itu muncul kembali setelah aku mengingat namanya. Restini, istri pertama ayahku.
"Apa kabarmu, Bening? Baik aja, toh? Di dalam kamar meskipun kecil dan sempit tapi harusnya cukup buat kamu. Dapat makan dan minum lagi, kapan lagi kamu bisa mendapatkan fasilitan gratis begitu."
Aku mendengkus keras. "Makan dan minum gratis? Aku nggak butuh semua itu. Kenapa kalian nggak antar aku pulang sebelum polisi datang? Simbah pasti mencariku."
"Polisi? Oh, mereka datang mencarimu. Suamiku mengajak mereka ngopi dan makan, habis itu pulang." Restini menunduk, matanya tajam berkilat ke arahku. Aroma tembakao bercampur dengan wewangian yang aneh. Aku mual menciumnya. "Kamu akan ada di kamar ini, makan, tidur, dan berdandan. Kalau kamu berani menolak perintahku, jangan harap bisa melihat simbahmu lagi."
Tanganku gatal ingin menampar wajah keriput itu tapi menahan diri karena tidak pernah diajarkan untuk menggunakan kekerasan. Entah bagaimana caranya bisa mengusir perempuan ini.
"Kenapa harus aku? Selama ini aku ndak ada urusan sama kalian."
Restini menyeringai, terlihat kejam dan jahat. Entah apa yang ada di pikirannya soal aku.
"Kamu memang ndak ada urusan sama kami. Tapi, ingat kalau dalam darahmu mengalir darah suamiku. Tentu saja kamu bagian dari rumah ini."
"Bertahun-tahun aku ditelantarkan—"
"Itu karena ibumu kabur. Dia lari bersama laki-laki lain!"
"Bohong! Jangan bicara bohong soal ibukuu!"
"Memang kenyataannya begitu, kamu sama simbahmu saja yang bodoh. Mau maunya dikelabuhi sama Kayani. Harusnya Kayani mikir sebelum kabur dari sini. Meskipun istri kedua tapi suamiku memperlakukannya dengan baik dan tega-teganya dia kabuur! Bersama polisi berpangkat rendah pula!"
"Tidak, kamu ngaco! Kamu bohong!"
Aku meraung dan hendak menutup mulutnya tapi Restini bertindak sigap dengan menamparku. Tubuhku yang sudah lemas karena kekurangan makan dan cairan, terpelanting ke lantai. Tidak cukup menampar sekali, Restini memukul berkali-kali dengan kekuatan besar dan membuatku jatuh menelungkup dengan darah merembes dari mulut ke leher. Rasanya asin, pahit, anyir, dan bercampur dengan kesedihan.
"Jangan macam-macam denganku, gadis kampung dan miskin! Sekarang kamu tetap di sini, makan, tidur, dan dandan. Kalau kamu membantah, aku akan suruh orang menyiksa simbahkmu itu. Percayalah, aku mampu melakukannya. Brengsek!"
Restini menginjak punggungku sebelum menggedor pintu dan keluar. Aku merintih, terguling di tempatku dan berbaring nyalang menatap langit-langit. Air mataku merembes ke pipi meskipun tidak kuinginkan. Tidak ada gunannya terus menerus menangis meskipunya nyatanya hati sakit sekali. Ya Tuhan, aku ingin pulang.
Di kamar baru ini memang ada jendela tapi diteralis. Ada kamar mandi juga dan mereka membebaskanku untuk memakainya. Makanan yang lebih baik dengan sayur dan lauk diantar, aku tidak ingin memakannya tapi pembantu yang ditugaskan melayaniku selalu berpesan.
"Makan yang banyak, Mbak. Kalau ndak, kasihan simbahmu. Saya dengar mereka menahan Simbah kalau Mbak Bening ndak mau makan."
Nama pembantu itu Menik, usianya kurang lebih sama denganku dengan tubuh pendek dan kulit sawo matang. Menik yang selalu datang mengantar makanan, minuman, dan menyiapkan pakaianku. Selama seminggu aku berusaha menelan makanan yang diberikan, meskipun rasanya keras di tenggorokan. Hingga suatu siang, Restini datang dan meminta Menik mengganti bajuku.
"Bedakin dan pakai lipstik merah. Lalu turun!"
Aku berpikir ini kesempatan untuk melarikan diri, karenanya aku membiarkan Menik mengganti baju dan meriasku. Setelah itu aku dituntun keluar bersama dua laki-laki yang menjaga kamar. Tiba di lantai bawah, sudah banyak orang di sana. Aku berdiri bingung di tengah ruangan, sampai terdengar suara ayahku.
"Ndoro Jagad, ini anak saya. Cantik, muda, dan namanya Bening."
Seorang laki-laki bertubuh tinggi memakai kemeja biru dengan celana katun abu-abu yang semula berdiri memunggungiku kini membalikkan tubuh. Mata laki-laki itu tajam, bagaikana elang dan pandangannya menembusku, seoalah ingin membunuh hanya dengan satu kali kedip.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top