Bab 24
Pertunjukan di pernikahan Anton membawa banyak berkah untuk grup sinden Swarna, yang malam itu manggung. Penonton mengira aku adalah sinden Swarna dan banyak permintaan agar aku manggung. Pimpinan Swarna bernama Tarji. Laki-laki gemuk berkumis, datang langsung ke rumah untuk bicara denganku dan Mbok Darmi. Dalam hal ini aku tidak ikut bicara, membiarkan Mbok Darmi yang memutuskan untukku.
"Nyai Gendhis boleh saja tampil bersama kalian, tapi statusnya hanya bintang tamu. Kamu siap ndak dengan bayarannya?" tanya Mbok Darmi.
Tarji mengangguk antusias. "Siap, Mbok. Asalkan Nyai Gendhis mau bersama kami, bayarannya kami juga siap."
Setelah bayaran diputuskan kami pergi ke tempat Swarna tampil. Di sebuah desa yang agak jauh letakknya. Seperti biasa aku pergi dampingi oleh Mbok Darmi dan yang lain. Menik merisku, dan Lamsmi membantuku memakai kebaya. Sebelum naik ke panggung, Mbok Darmi memberiku ramuan khusus untuk diminum.
"Ramuan ini, akan membuka auramu. Membuat orang ndak bisa memalingkan perhatiannya dari kamu. Terutama kaum laki-laki."
Aku tampil perdana sebagai bintang tamu grup Swarna. Malam itu para sinden yang lain lain pun terciprat rejeki dengan menerima banyak tips. Empat perempuan itu mengucapkan terima kasih padaku dengan tulus.
"Nyai Gendhis sudah membantu kami, sekarang jadi banyak tanggapan karena Nyai dan kami pun ada uang. Terima kasih Nyai."
Hampir setiap Minggu aku tampil bersama Swarna. Mbok Darmi yang awalnya ingin aku ikut audisi grup sinden terkenal kini berubah pikiran.
"Ndak perlu ikut grup Karpita. Kamu di sana hanya akn ditindas, dengan banyak saingan. Sinden bintang Karpita namanya Nyai Cempaka dan terkenal sangat angkuh serta suka menindas sinden baru. Lebih baik kamu tetap di Swarna, besarkan grup ini dan menjadikan dirimu bintang untuk menyaingi Nyai Cempaka."
Aku menurut apa kata Mbok Darmi. Tetap di Swarna yang sekarang kebanjiran job. Apalagi saat ada acara bersih desa, seminggu dua kali kami manggung. Swarna yang semula grup kecil dengan delapan penabuh gamelan, kini berubah menjadi lebih besar. Tarji mengangkat lima penabuh gamelan lagi, membeli sound system baru, dan kini kami menjadi grup menengah dengan aku sebagai sinden utama. Sebelumnya aku meminta maaf dan minta ijin pada sinden lama kalau sudah membuat mereka tersingkir. Merek berempat adalah perempuan-perempuan baik yang hanya ingin menghasilkan uang. Tidak ada yang merasa tersaingi olehku.
Setahun bersama grup Swarna, kini namaku terkenal di kabupaten. Riasan Menik makin lama makin bagus, dan Lasmi yang semula aku minta untuk melanjutkan sekolah, memilih untuk kursus menjahit.
"Saya ingin membuat kebaya untuk Mbak Bening."
Aku mendukung niatnya dan membiayainya kursus, sama seperti yang aku lakukan untuk Menik. Mbok Darmi masih sama seperti, menjadi penasehat dan orang tua untukku. Setiap kali ada waktu, aku tidak pernah menganggur, terus melatih kemampuan menari dan menembang.
Suatu hari, orang yang aku harapkan selama ini mendadak muncul di hadapanku. Sutrisno, terlihat begitu kurus dan kacau, membawa tas berisi barang-barang dan meraung saat melihatku.
"Mbak Bening, saya senang bertemu Mbak Lagi. Tolong saya, Mbaak!"
Laki-laki itu bercerita kalau anaknya yang dulu sering aku belikan obat, sudah meninggal dari tahun lalu. Istrinya berselingkuh dengan laki-laki lain dan kini mereka bercerai. Sutrisno yang dulu pengawas kebun, karena Jagad marah akhirnya dipecat dan menjadi kuli panggul di pasar.
"Saya ndak punya siapa-siapa lagi. Ingin ikut Mbak Bening saja."
Tentu saja aku menerima dengan senang hati, bagaimana pun Sutrisno adalah orang yang pernah berjasa bagiku. Kedatangan laki-laki itu juga membawa kabar buruk untukku.
"Mbak Bening kabur, Pak Mulyo mendatangi Simbah dan membawanya ke rumah. Mungkin niatnya untuk jaminan agar Mbak Bening datang demi Simbah."
Aku terbelalak mendengarnya. "Jadi, Simbah sekarang ada di rumah ayahku?"
Sutrisno menggeleng dengan murung. "Ndak lagi, Mbak. Beliau meninggal tahun lalu juga karena sakit. Sepertinya tertekan karena dikurung dan memikirkan Mbak Bening."
"Ndaak, kamu bohong, Sutrisno!"
"Benar, Mbak. Untuk apa saya bohong?"
Aku meraung dan menangis, menjatuhkan diriku ke lantai. Menyesali diri karena tidak mendatangi Simbah saat dia masih hidup. Aku terlalu larut dalam kehidupan duniawi, hanya memikirkan diri sendiri hingga lupa ada orang tua yang mengharapkan bertemu denganku.,
"Simbaaah! Aku mau ketemu, Simbaaah!"
Terlalu sedih dan histeris membuatku pingsan. Saat sadar, aku hanya mengurung diriku di kamar selama beberapa hari, menangisi satu-satunya orang tua dan kelurga yang aku punya. Menolak makan dan minum dan hanya berbaring sambil terisak. Mbok Darmi datang ke kamar setelah aku mengurung diri tujuh hari lamanya.
"Bening, kamu pasti ndak lupa apa yang dikatakan Sutrisno bukan?"
Aku menatap Simbok dengan mata buram.
"Simbahmu meninggal di rumah ayahmu. Apa kamu akan diam saja dan membiarkan mereka tetap hidup nyaman?"
Mbok Darmi mengusap air mataku dengan sapu tangan.
"Kamu harus bangkit, harus kuat lagi. Sekarang bertambah orang yang harus kamu buat menderita. Jagad, Santika, dan keluarga ayahmu, Apa kamu akan membiarkan kematian Simbah sia-sia?"
Merenungi perkataan Mbok Darmi, aku tersadar dengan tujuanku semula. Aku sudah melangkah sejauh ini dan bukan waktunya untuk mundur. Mbok Darmi benar, yang perlu aku lakukan adalah menambah dafta sasaran balas dendam. Kalau dulu nama ayahku hanya sekedar ada untuk dibenci, kini menjadi ada untuk diserang.
"Simbok benar, aku harus bangkit lagi."
Mbok Darmi tersenyum. "Bocah Ayu, memang harus kuat. Kamu ini Nyai Gendhis, bukan Bening. Jangan terlalu larut dalam kesedihan. Doakan saja Simbah tenang di akhirat."
Aku bangkit perlahan dari ranjang, menerima uluran bubur dari Menik yang menyusul masuk. Menik membuka jendela lebar-lebar dan mengusap matanya yang basah.
"Mbak Bening jadi kurus. Aku kuatir kalau Mbak sakit."
"Aku baik-baik saja, Menik. Buatkan aku wedang jahe, ya?"
"Nggih, Mbak. Sekarang aku buatkan."
Mbok Darmi memberiku waktu untuk berduka cita selama dua Minggu. Setelah itu aku digembleng lagi, untuk menjadi Nyai Gendhis. Tarji dan orang-orang Swarna gembira saat melihatku muncul. Mereka bilang tidak berani tampil tanpa aku karena semua orang menginginkan Nyai Gendhis.
"Aku akan tampil lagi Pak Tarji, tapi dengan satu syarat."
"Boleh, Nyai. Katakan apa saja syaratnya."
Aku meminta agar Sutrisno diangkat jadi pemain gamelan, dengan begitu bisa ada di sampingku. Tarji menerima tanpa kata, dan setelah itu mengajari Sutrisno cara menabuh gamelan. Berlatih beberapa bulan, Sutrisno menjadi penabung gendang.
Grup pendampingku makin banyak, Menik perias, Lasmi khusus menangani pakaian, dan Sutrisno menjadi penabuh sekaligus pengawalku. Karena kini aku terkenal, banyak laki-laki yang berusaha mendapatkanku. Saat di panggung, aku membiarkan mereka menyentuh dada atau pinggulku, asalkan ada uang. Tapi saat turun dari panggung, aku tidak memberi kesempatan mereka untuk mendekat. Tugas Sutrsino untuk menerima hadiah dari mereka tanpa membiarkannya menyentuhku.
Dalam waktu empat tahun semenjak pergi dari rumah Jagad, aku menjadi sinden terkenal yang digilai para laki-laki. Mendapatkan banyak uang dan membelikan barang-barang berharga untuk Mbok Darmi. Menik, Lasmi, dan Sutrisno pun hidup enak bersamaku.
Suatu hari, aku menerima undangan tampil dari salah satu wakil bupati. Saat melihat alamat yang tertera dan bayaran yang tinggi, aku menerima tanpa ragu. Berharap bertemu seseorang di sana. Keinginanku menjadi kenyataan, Menik mendandaniku sangat cantik. Lasmi memakaikan kebaya serta kain yang menonjolkan bentuk tubuh dan dadaku. Sebelum aku naik ke panggung, menghampiri para tamu undangan dan berdiri di depan laki-laki pertengahan abad yang ternganga melihatku.
"Apa kabar, Ndoro?"
Jagad terbelalak. "Bening? Ini kamu?"
Aku tersenyum, mengusap dada dengan sengaja. "Bening sudah mati, Ndoro. Namaku sekarang, Nyai Gendhis."
.
.
.
Tersedia di Karyakarsa dan Playbook.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top