Bab 23


Aku berlatih keras, bukan hanya membaca buku tapi juga belajar tindak tanduk menjadi perempuan. Selama belajar, aku tidak diperbolehkan memakai daster melainkan kebaya dan kemben. Mbok Darmi mendatangkan pelatih tari dan juga sinden untukku. Setiap hari yang aku lakukan adalah berlatih nari, sinden, serta membaca buku.

"Laki-laki yang ada di pikirannya setiap kali bertemu perempuan, ya, cuma ada satu saja, sex. Kita harus mengakui itu. Bening, kamu muda, cantik, dan pintar. Kamu harus menggunakan semua aset dalam dirimu untuk mendapatkan uang. Ingat, ketiga hal itu adalah anugerah, karenanya gunakan kesempatan sebaik-baiknya."

Tanpa mengenal rasa lelah aku terus belajar. Mbok Darmi mengatakan sebuah grup tayub terkenal akan mencari anggota baru. Aku punya kesempatan beberapa bulan untuk belajar sebelum ikut audisi.

"Apa menurut Simbok aku bisa?" tanyaku suatu malam selesai latihan. Aku dan Simbok duduk di teras depan sambil menikmati singkong rebus hasil panen sendiri.

"Tentu saja bisa. Sudah aku bilang, kamu punya bakat Bening. Ndak usah pikirkan hal lain dulu, yang terpenting kamu berusaha."

Bukan hanya aku yang berusaha meningkatkan kemampuan diri, Menik dan Lasmi pun sama. Mereka belajar membaca dan menulis, diajar langsung oleh Mbok Darmi. Lambat laun, rumah yang kami tempati berubah, tidak lagi ditumbuhi alang-lang melainkan sayur mayur. Lasmi bahkan memelihara beberapa ekor ayam di belakang, sedangkan Menik lebih suka memelihara ikan di empang kecil. Kebahagiaan mereka setiap kali berhasil memanen sesuatu yang hal yang menyenangkan untuk dilihat.

"Rumah ini besar dan nyaman, kenapa Simbok lebih suka tinggal di kontrakan yang sempit?" tanyaku.

"Di sini banyak kenangan, Bening. Aku dulu berusaha mati-matian seperti kamu sekarang demi suamiku. Setelah dia meninggal, warisan jatuh ke tanganku tapi rasanya ndak sama lagi. Rumah ini terlalu besar dan sepi untuk kutempati sendiri. Karenanya aku memilih untuk merantau. Uang yang aku dapatkan dari jual bunga dan jamu memang sedikit, tapi rasa kesepianku terobati karena punya banyak teman."

Cerita Mbok Darmi mengingatkanku akan Simbah. Sudah hampir dua tahun tidak bertemu, aku rindu sekali padanya. Sudah berbulan-bulan juga aku tidak mengiriminya uang, entah apa yang terjadi dengan Simbah sekarang. Setelah tinggal di sini, Sutrisno tidak pernah datang. Aku sudah mengiriminya surat untuk menberitahunya di mana keberadaan kami. Semoga saja Sutrisno menerima surat dariku.

Menik bertanya kenapa kami tidak pulang ke rumah Simbah dan justru kemari. Itu karena aku tidak ingin ditemukan oleh ayahku. Yakin seratus persen kalau Jagad dan ayahku akan mencariku di rumah Simbah. Demi keamanan dan ketentraman bersama, untuk sekarang menjauh dari dari Simbah. Suatu hari nanti, aku pasti akan datang menemuinya.

Selama tinggal di rumah Mbok Darmi, ada banyak hal yang kami alami. Menik berpacaran dengan seorang pemuda di kampung ini, namanya Anton. Mereka bertemu tanpa sengaja di salon tempat Menik kursus merias. Demi memuluskan rencana masa depan, Menik ingin menjadi perias pribadiku, karenannya belajar dengan sungguh-sungguh untuk merias wajah dan menyanggul. Sedangkan Lasmi, kini menempuh pendidikan paket A.

Anton mengajak Menik menikah dan tentu saja aku merestui. Anton meskipun hanya bertani tapi terlihat sebagai pemuda yang baik. Menik mengatakan orang tua Anton tidak setuju dengan hubungan mereka karena dirinya orang miskin dan anak yatim piatu.

Suatu malam, Menik pulang dari berkencan dengan Anton dalam keadaan basah kuyup dan menangis. Rupanya tanpa sengaja bertemu orang tua Anton di jalan dan disiram air lalu diusir dan dimaki.'

"Aku tahu miskin, ndak punya orang tua, tapi aku bukan anjing yang harus disiram air untuk diusir."

Aku menatap Menik dengan prihatin. Membantunya mengeringkan tubuh dengan handuk kecil. "Menik, jangan nangis. Kenyataan memang kejam. Kalau kamu cinta sama Anton, kawin lari saja."

Saranku ditolak oleh Menik. Gadis itu mengelap tubuh yang basah dengan handuk, menerima uluran jamu hangat dari Mbok Darmi dan meneguknya.

"Ndak mau saya, Mbak. Dari awal saya sudah bilang kalau akan ikut Mbak Bening kemanapun akan pergi. Sekarang Mbak Bening sedang belajar dari sinden. Saya ingin melihat Mbak berhasil dan membalas dendam dari pada mengurus masalah pribadi. Kalau mereka ndak suka sama saya, biarkan saja. Anton juga ndak ada usaha untuk mempertahakan saya, untuk apa memaksa kawin lari? Anton bisa menikah sama siapapun yang dia mau. Saya akan tetap di sini, bersama Mbak."

Kasihan Menik. Terjebak dalam kenyataan hidup yang kejam. Manusia memang sudah sifat alami untuk memilih yang lebih kaya dan berkuasa. Dua Minggu setelah kejadian itu, Anton menikah dengan gadis pilihan orang tuanya. Menik ingin datang ke resepsi dan didukung oleh Mbok Darmi.

"Kita datang rame-rame, jangan lupa siapkan kado. Kalau ndak salah mereka nanggap sinden?" tanya Mbok Darmi antusias. "bagus kalau begitu. Bening, kamu dan Menik dandan yang cantik. Jangan terlihat lusuh, terutama kamu bening. Pakai kebaya hijau yang aku beri dan sanggul rambutmu!"

Menik yang semula sedih, menatap antusias pada Mbok Darmi. "Mbak Bening, biar saya yang bantu dandan. Ingin mempraktekkan hasil kursus."

"Menurut Simbok aku sudah siap?" tanyaku.

Mbok Darmi mengangguk. "Belum seratus persen tapi ini kesempatan baik untukmu memperlihatkan kemampuan. Ingat, saat tampil di panggung, jangan menggunakan nama asli. Harus pakai nam samaran yang mudah diingat orang."

Setelah memikirkan panjang lebar, akhirnya diputuskan kalau aku memakai nama Gendhis yang artinya gula. Mbok Darmi meminta Menik dan Lasmi membuat permen dari gula dan asem, dibungkus kecil-kecil dengan rapi.

"Kamu harus punya ciri khas, setiap kali selesai manggung akan membagi-bagikan permen gula. Dengan begitu semua orang akan mengingat siapa Nyai Gendhis."

Setelah melakukan semua persiapan, aku, Mbok Darmi, Menik, Lasmi menyewa andong yang akan membawa kami ke rumah Anton. Malam menyelimuti bumi saat kami tiba di sana. Orang-orang berkumpul dalam keramaian, menyaksikan acara tayub di mana empat sinden bernyanyi dan menari diiringi gamelan.

Aku melangkah paling depan dalam balutan kebaya hijau. Bagian atas terbuka menunjukkan dadaku yang putih dan montok. Awalnya malu memakai pakaian begini tapi Mbok Darmi meyakinkanku untuk percaya diri.

"Ingat, gunakan pesonamu, Bening."

Anton menangis saat melihat Menik dan hampir saja jatuh kalau tidak ditahan. Menik justru sebaliknya, terlihat tegar dan menyalami orang tua Anton serta mempelai perempuan dengan senyum tertahan. Kami dipersilahkan duduk. Para tamu undangan, terutama laki-laki hampir semua tertuju padaku. Jemariku gemetar menahan gugup.

"Sudah siap, Nyai Gendhis?" tanya Mbok Darmi.

Aku mengangguk. "Iya, Mbok."

Setelahnya Mbok Darmi bangkit dari kursi dan menghampiri laki-laki yang menabuh gendang. Mereka bicara sesuatu lalu aku dipanggil ke depan. Pengeras suara diberikan padaku, dan empat orang sinden duduk untuk beristirahat. Gamelan mulai ditabuh perlahan, aku berdehem, terdiam sesaat sambil memejam dan mengucapkan doa-doa. Suaraku agak bergetar saat pertama kali menyinden. Awalnya semua orang hanya mematung mendengarkanku, tapi saat musik makin cepat dan aku mulai meliukkan tubuh secara perlahan anak-anak kecil mulai berteriak dan menari bersamaku. Diikuti para laki-laki yang kini naik ke panggung dengan semangat.

Malam ini berlalu dengan gembira saat aku berhasil menyelesaikan tarian dan kidung pertamaku, dilanjut kedua dan ketiga. Segera saja orang-orang mengenal namaku Nyai Gendhis.
.
.
Cerita lengkap Nyai Gendhis bisa didapatkan di Karyakarsa dan google playbook.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top