Bab 16

Aku yang tersadar lebih dulu, sebelum terjadi masalah menyuruh Menik dan Lasmi masuk. "Ayo, jangan di sini. Kita masuk!"

Keduanya menuruti perintahku, bangkit untuk mengemasi peralatan membuat rujak dan saat mencapai pintu, teriakan Santika kembali terdengar.

"PAAK! KAMU TEGA MEMUKULKU DEMI PEMBANTU RENDAHAN ITU?"

"Bukan begitu, Bu. Biar kamu sadar sebelum membunuhnya!"

"KENAPA KALAU DIA MATI? TINGGAL KUBUR AJA DI HALAMAN INI. AKU INGIN TAHU SIAPA YANG BERANI MELAPORKANKU!"

"Bu, sadaaar!"

"KAMU BERUBAH SETELAH ISTRI MISKINMU ITU HAMIIL!"

Ya Tuhan, aku bahkan tidak tahu duduk perkaranya apa, tapi kenapa dibawa-bawa dalam masalah mereka. Aku mengabaikan teriakan dan perdebatan, bergegas ke dalam lalu menutup pintu. Merebahkan tubuh di ranjang dan menyumbat telinga dengan selimut agar tidak mendengar pertengkaran di luar. Apa pun masalah Santika dengan pembantunya, bukan urusanku. Jagad marah karena kelakuan istrinyan aku tidak tahu menahu soal itu.

Menatapn langit-langit kamar, kondisi pembantu Santika membuatku teringat masa lalu dan bergidik. Bagaimana ayahku dan istrinya memukuliku terus menerus. Rasanya sakit terlebih tidak mendapatkan akses makanan serta minuman. Manusia biadab yang memperlakukan manusia lain tidak ubahnya binatang. Ayahku dan Santika punya kelakuan yang sama ternyata. Aku berusaha menghilangkan bayangan itu meski sulit. Teringat gadis yang terlentang dengan pakaian compang camping dan tubuh penuh luka. Semoga saja gadis itu bisa melewati malam ini tanpa siksaan lagi.

Keesokan harinya dalam perjalanan ke pasar diantar oleh mobil bekas yang disopiri Sutrisno, Menik mengatakan padaku kalau gadis itu sudah tidak ada di rumah utama.

"Ndak ada yang tahu dibawa ke mana, Mbak. Katanya dua orang pengawal Ndoro mendobrak kamar dan menyeret gadis itu ke mobil. Kami berharap gadis itu dikembalikan ke rumah asalnya, tapi ndak ada yang bisa mencari tahu."

Aku menghela napas panjang, ikut sedih untuk gadis yang tidak kukenal. "Seandainya saja kita ndak lemah begini, pasti bisa bantu dia Menik."

Menik mengangguk muram. "Iya, Mbak. Sebenarnya pembantu di rumah Ndoro, rata-rata punya nasib sama. Orang tua punya utang, mereka yang membayar."

"Di kebun juga gitu, Mbak." Sutrino menyahut dai balik kemudi. "Kebanyakan dari mereka pernah meminjam uang sama Ndoro Jagad ataupun Nyonya Santika. Uang ndak seberapa tapi bunga mencekik. Itulah kenapa mereka jadi buruh dengan upah kecil. Karena sebagian dipotong untuk bayar utang."

"Aku sudah tahu sebagian cerita dari para buruh di kebun. Mereka memang sangat kasihan."

"Karena itu mereka senang saat Mbak Bening bisa minjamin uang tanpa bunga. Udah dianggap sebagai malaikat sama mereka."

Perkataan Sutrisno membuatku terdiam. Tidak merasa bangga dengan apa yang aku lakukan karena memang tidak banyak bantuan yang bisa aku berikan. Membayangkan nasib orang-orang miskin yang hidupnya berada di bawah tekanan Jagad serta istrinya. Aku tidak tahu apakah masih ada rasa welas asih di dalam hati mereka untuk sesama manusia? Mungkin ada tapi hanya untuk orang-orang kaya.

Keluar dari lingkup perkebunan, perjalanan mulai menyusuri jalanan kota yang ramai oleh andong, becak, maupun angkot. Orang-orang mengayuh sepeda atau mengendarai motor dengan gembira. Hari pasaran adalah di mana semua orang seolah ingin keluar untuk membeli sesuatu.

Aku menyerahkan dua amplop pada Sutrisno sebelum turun dari mobil. "Satu amplop seperti biasa, kirim untuk Simbah. Satu amplop untuk anakmu beli seragam."

Sutrisno menerima dengan kepala menunduk dana mata berkaca-kaca. "Terima kasih, Mbak Bening."

Bergandengan tangan dengan Menik yang membawa keranjang anyaman plastik, kami menyusuri pasar yang ramai. Berhenti untuk membeli daster, dan juga setelan obral untuk Menik dan Lasmi. Selesai semua kami memutuskan beli jajan pasar sementara Sutrisno pamit untuk merokok. Tempat yang kami singgahi untuk sekedar makan adalah kios bambu Mbok Darmi.

Perempuan itu bukan hanya menjual bunga tapi juga ahli membuat jamu-jamuan. Beberapa kali aku minum jamu buatannya dan sekarang hamil.

"Jamu ini, untuk kebugaran. Minum tiap pagi." Mbok Darmi menunjuk botol hijau. "Botol satu lagi untuk kamu dan bayi. Minum tiap malam."

Aku duduk di samping kursi Mbok Darmi sambil makan jajan pasar berupa singkong rebus dengan parutan kelapa. Mbok Darmi yang sedang sepi pembeli, ikut duduk bersamaku. Bibir dan giginya kuning karena sibuk mengunyah kapur sirih serta tembaku.

"Setelah kamu hamil, pasti Ndoro makin mencintaimu, Nduk."

Jawabanku hanya berupa senyum kecil. "Makanya aku beli beli daster untuk Mbok Darmi. Suka ndak kira-kira?"

Mbok Darmi mengusap dasternya dan terkekeh. "Suka aja, wong gratis!"

Entah mulai kapan kami akran satu sama lain, dan Mbok Darmi banyak bercerita tentang masa mudanya. Tidak kusangka adalah dia mempunya pengetahuan luas tentang hubungan suami istri.

"Ada bukunya di rumah, namanya kamasutra. Aku sendiri sudah mempratekkannya, selain dengan suamiku juga dengan beberapa laki-laki yang kutemu setelah suamiku meninggal!"

Mbok Darmi terkekeh tanpa malu dan membuatku bertanya-tanya, apa benar buku itu sangat bermanfaat.

"Semua ilmu akan berguna, meski yang mesum sekalipun kalau diterapkan di tempat yang tepat. Dalam kasusmu adalah untuk membuat suamimu makin mencintaimu. Benar begitu, Bening?"

Aku mengangguk malu-malu. "Benar, Mbok. Setelah minum jamu, aku hamil dan Ndoro sekarang ndak pernah kasar lagi padaku. Jarang marah-marah dan sering memberiku barang serta uang."

"Wah, bagus itu. Mbok senang dengarnya. Kalau nanti anakmu sudah lahir, Mbok Darmi akan membantumu bagaimana agar tubuh tetap singset, keset, dan disayang suami."

Sebenarnya aku enggan mengakuinya tapi sepertinya Mbok Darmi sangat mengenal seluk beluk sex dan hubungan suami istri. Aku tidak tahu apakah pengetahuan macam itu berguna untukku tapi mendengarkan ceritanya sambil mengunyah jajanan yang lain. Kali ini berupa jagung pipil rebus yang diaduk bersama gula.

Aku mencari sosok Menik yang berpamitan untuk membeli es saat Mbok Darmi melayani pembeli. Pandanganku menyapu sekitar dan tatapanku tertuju pada pemuda tampan yang hari ini memakai kaos hitam. Tangannya menggengam tangan seorang gadis berambut sebahu, dan mereka sedang mengobrol dengan Sutrisno. Entah kenapa aku merasa patah hati saat melihatnya, padahal tidak ada hubungan apa pun dengan Segara.

Entah apa yang membuat Segara seolah menyadari tatapanku. Dia menoleh dan menatap langsung ke mataku, meskipun terpaut jarak cukup jauh tapi aku bisa melihat betapa teduh pandangannya. Aku memilih untuk menunduk dan mencoba menghabiskan makananku. Jantung berdetak tak terkira dan hati seolah menggila. Aku berusaha mengingatkan diri sendiri kalau Segara sudah punya kekasih dan aku pun sudah bersuami. Tidak perlu diingat lagi dan biarkan bunga mati bahkan sebelum berkembang.

Dalam perjalanan pulang, hatiku terombang-ambing dalam rasa sedih. Ingin bertanya pada Sutrisno tentang Segara tapi menahannya. Tidak pantas seorang perempuan yang sudah bersuami, menanykan status seorang bujangan. Aku menunduk sepanjang jalan dan Menik terus menerus meneriakan kegembiraan karena baru saja pulang dari pasar.
.
.
.
Tersedia di google playbook

https://play.google.com/store/books/details/Nev_Nov_Perempuan_Kedua?id=bHH8EAAAQBAJ

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top