Bab 10

Sutrino kini menjadi temanku, sering membantu dalam mengelola perkebunan. Meski begitu aku tetap memberitahunya untuk bersikap biasa saja dan tidak berlebihan dalam memperlakukanku. Tidak ingin kedekatan kami tercium oleh orang lain terutama Jagad. Setelah uang terkumpul cukup banyak dari upah memetik jeruk serta uang dari Jagad, aku meminta bantuan pada Sutrisno untuk mencari orang.

"Bagaimana caranya, aku ingin uang ini sampai ke tangan Simbah. Kamu suruh orang yang paling dipercaya dan ingat, harus ada bukti kalau Simbah menerima uang ini. Minta dia foto atau apa pun itu, yang terpenting bukti."

"Baik, Mbak. Saya akan bantu untuk mengirim uang ini."

Bukan hal mudah untuk mendapatkan kepercayaan Sutrisno. Itu karena aku mengorbankan diri untuk membantunya. Suatu hari ada beberapa peti jeruk hilang, Santika mengamuk dan mengancam siapa pun yang berani mengambil.

"Kalian pikir bisa nyolong dari tempatku? Kalian para gembel, buruh kurang ajar ndak tahu diuntung. Sudah aku kasih kerjaan malah nyolong! Kalau sampai ndak ada yang ngaku, aku akan potong tangannya!"

Sutrisno berdiri gelisah dan gemetar mendengar ancaman Santika. Aku tahu kalau dia pelakunya, menjual sendiri dan uangnya digunakan entah untuk apa. Aku pun tidak tahu uangnya dipakai untuk apa. Pandangannya tertuju padaku, dan saat Santika menjauh untuk memeriksa, tanpa dilihat orang lain Sutrisno bersimpuh di depanku.

"Mbaak, ba-gaimana ini. Saya yang menjual beberapa peti itu. Semua saya lakukan karena anak saya sakit. Saya ndak bohong, beberapa pekerja menjadi saksi karena rumah kami berdekatan. Kalau Mbak ndak percaya boleh diperiksa."

Aku menghela napas panjang, menatapnya tajam. "Kamu mau apa dariku?"

"Bantuan, Mbak. Saya akan lakukan apa pun kalau Mbak bisa bantu saya. Se-benarnya saya sudah berusaha meminjam uang pada Ndoro Santika, tapi tidak diberikan. Katanya utang saya terlalu banyak. Mbak, tolong selamatkan saya dan keluarga saya."

Sebenarnya aku enggan berurusan dengan orang-orang, permintaan Sutrisno pun diberi gelengan kepala oleh Menik. Kami mengerti konsekuensinya kalau menentang Jagad. Namun, untuk sekarang ini akan sangat mengkuatirkan keadaan Sutrisno. Kalau sampai dipecat berarti anak dan istrinya terancam tidak makan.

"Mbaak, tolong!"

Sutrisno kembali memohon. Laki-laki gagah yang biasanya terlihat sangar, kali ini merengek dengan wajah menyedihkan demi anak dan istrinya. Belakangan aku tahu kalau anak Sutrisno menderita penyakit menahun yang tidak kunjung sembuh. Tidak ada yang tahu jenis penyakitnya tapi bocah perempuan itu sering pingsan dan mimisan tiada henti. Aku berpikir sesaat sebelum membantu Sutrisno. Kalau ini kulakukan maka akibat yang aku terima tidak akan mudah. Menggigit bibir, aku memejam dengan batin berperang, antara membantu si mandor atau mencari aman untukku sendiri. Semua orang tahu betapa kejamnya Santika, dia tidak akan segan membunuh orang kalau dicurangi. Itu yang akan dilakukannya padaku.

Aku membuka mata, meminta Menik dan Sutrisno mengumpulkan jeruk yang busuk secara diam-diam dan mengumpulkan ke sudut gudang. Dibantu oleh beberapa anak buah Sutrisno mereka bertindak cepat. Setelah terkumpul, aku memberanikan diri menghampiri Santika yang sedang mendamprat dua nenek tua.

"Ndoro, saya ingin bicara."

Santika mengalihkan andangan padaku dengan sengit. "Mau apa kamu? Jangan coba-coba jadi pahlawan kesiangan!"

"Ndak, Ndoro. Mau ngasih tahu tentang kemana jeruk-jeruk itu pergi."

Jawabanku membuat Santika menyipit. Wajah cantiknya mengerut ingin tahu. Perempuan itu membalikkan tubuh, mengulurkan tangan dan memukul pipiku perlahan.

"Kenapa kamu baru bilang sekarang? Kenapa ndak dari tadi kamu buka mulut?"

"Maaf, Ndoro. Soalnya saya sedang bingung cara bilangnya."

"Kenapa harus bingung? Ada apa memangnya?"

Aku membawa Santika ke gudang di mana jeruk-jeruk busuk yang seharusnya dibuang kami simpan. Untunglah mobil pembawa sampah sedang rusak dan tidak mengangkut jeruk-jeruk busuk itu. Santika mengernyit saat bau busuk menyergap.

"Kenapa ini?"

"Maaf, Ndoro. Tapi jeruk-jeruk ini rusak karena saya." Aku menekan rasa takut dan menguatkan diri. Mengaitkan kedua tangan di depan tubuh. "Harusnya dikirim tapi saya lupa dan meletakkan peti di luar, terkena hujan lalu busuk. Saya takut memberitahu karena itu—"

Kata-kataku terhenti saat satu pukulan melayang ke pipi dan membuatku memejam. Terdengar rintihan Menik di belakangku. Aku perlahan membuka mata dan satu lagi pukulan melayang, jauh lebih kuat dari sebelumnya dan membuatku tersungkur di tanah.

Suara Santika terdengar keras di atas kepalaku. "Perempuan kurang ajar! Kamu pikir kamu istimewa di sini? Ndak ada urusan begitu. Biarpun kamu istri kedua suamiku, tetap saja kamu buruh, Bening. Ndak semestinya kamu bertindak tanpa memberitahu kami. Sekarang itung sendiri berapa kerugian kami!"

Aku mengusap pipi, mencoba untuk tidak menangis. Rasa sakit ini tidak akan lama, hanya perlu bertahan sebentar saja dan tidak perlu takut. Santika akan pergi kalau aku tidak melawan.

"Potong gajimu! Selama sebulan kamu harus kerja keras tanpa libur dan tanpa upah! Makan pun dipotong, hanya dapat sehari sekali. Biar kamu rasakan apa itu rugi!"

Setelah Santika pergi, Menik yang menangis memeluk kakiku. Penderitaan akan makin berat selama satu bulan ini. Sutrisno kembali bersimpuh bahkan nyaris menyembahku, mengatakan ucapan terima kasih tidak terhingga. Aku hanya diam, memikirkan nasibku ke depan.

Orang-orang perkebunan yang kini tahu statusku, satu per satu mulai berubah sikap. Menjadi segan dan menjaga jarak. Jujur saja aku tidak menyukainya, lebih senang saat kami bersama seperti dulu dalam keakraban. Rupanya kemarahan Santika menghantui orang-orang itu.

Benar saja, aku hanya diberi makan saat siang, sarapan dan makan malam pun dilewatkan. Aku siap menanggung semua resiko, tapi Tuhan masih baik padaku dengan memberiku pekerja-pekerja yang baik. Mereka rela membagi sarapan untukku, dan saat malam Menik diam-diam membeli roti atau apa pun itu untukku.

"Bukan nasi tapi setidaknya bisa mengganjal perut."

Aku menerima tamparan, kekurangan makan selama satu bulan, dan sama sekali tidak ada upah, tapi balasan yang kudapatkan setimpal. Sutrisno dan anak buahnya menjadi sangat tunduk padaku, berjanji akan setia sampai mati padaku. Siapa sangka, bantuan seperti itu membuatku mendapatkan pengikut.

Meskipun tidak mendaptkan upah, tapi Jagad sering memberiku uang. Laki-laki itu memang tidak memperlakukanku dengan lembut, tapi saat meniduriku tidak lagi memukul. Setidaknya tidak menambah beban penderitaan. Jalan hidup masih panjang, apa yang akan terjadi esok tidak ada yang tahu. Tapi yang pasti, aku akan tetap tegar demi Simbah. Aku rindu sekali dengan orang tua yang sudah membesarkanku itu.

"Simbaah, semoga sehat-sehat di sana."
.
.
.
Di Karyakarsa update bab 42.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top