Bab 1
"Bening, lagi apa, Nduk?"
Teguran dari Simbah membuatku tersadar dari lamunan. Aku menoleh, tersenyum pada perempuan tua yang sedang memetik daun singkong di belakang rumah. Pagi-pagi begini memang Simbah suka ke kebun untuk memetik dan mencari apa pun untuk dimasak.
"Lagi mikir, Mbah," jawabku sekenanya. Bangkit dari kursi kayu reyot di dekat pohon nangka yang sudah tua dan tidak pernah lagi berbuah.
"Mikir apa, Nduk. Sekolahmu apa masalah cinta-cintaan?"
Aku tergelak, menatap orang tua yang sudah merawat dan membesarkanku. Simbah yang menjadi ganti orang tua, tidak pernah mengeluh, dan bekerja keras. Di usiaku yang menginjak 18 tahun, rasanya seperti remaja jompo karena tidak bisa berbuat banyak untuk membantu Simbah.
"Sekolahku bulan depan sudah lulus, Mbah. Kalau cinta-cintaan, ndak ada itu dalam pikiranku."
"Apa iya, anak seusia kamu ndak mikirin cinta?"
Aku menggeleng lemah, membantu Simbah memetik daun singkong yang sudah jarang. Bagaimana tidak jarang, setiap kali kami tidak punya uang untuk membeli bahan makanan, maka apa pun yang tumbuh di kebun ini adalah makanan utama. Tidak jarang kami hanya makan nasi, lauk tempe sepotong, dan sambel. Kalau pun sedang bagus, akan ada ikan asin goreng dan sayur oseng di meja. Hidup hanya berdua dengan Simbah, seharusnya keadaan tidak begitu sulit kalau saja kami tidak diharuskan membayar utang peninggalan Kakung yang begitu banyak.
Saat Kakung masih hidup, berkali-kali berusaha menanam padi dari lahan milik orang lain. Membeli pupuk, benih, dan obat serangga dengan cara berutang. Panen yang dihasilkan ternyata tidak seberapa dan hasilnya, kami mempunyai utang yang terus berbunga ke tengkulak. Simbah yang sehari-hari berjualan tahu, mendapatkan untung yang tidak seberapa untuk makan dan mencicil utang. Aku sendiri juga berusaha bekerja untuk memenuhi kebutuhan kami. Setiap pulang, membantu orang membersihkan rumah, atau pun memberikan les. Hasilnya tidak terlalu besar tapi sering kali berguna untuk membeli listru dan kebutuhan lain. Hidup kami memang sulit, tapi saat ini hanya Simbah yang aku miliki. Kami berusaha untuk saling menguatkan satu sama lain.
Di mana orang tuaku? Ibuku sudah meninggal dari aku berumur sepuluh tahun. Sakit-sakitan dari semenjak muda, membuat tubuh Ibu tidak kuat menahan beban yang berat dan akhirnya menyerah pada sakit. Ayahku? Aku sendiri pun tidak pernah melihatnya. Sedari kecil yang aku ingat hanya rumah ini, Simbah, Kakung, dan ibuku. Bagaimana wajah dan perangai ayahku, tidak ada ingat dalam pikiranku. Yang aku tahu hanya satu, ayahku seorang juragan di Kabupaten B, sebuah wilayah yang cukup jauh dari desaku. Tidak pernah datang menemuiku, karena bagi mereka aku hanya anak perempuan simpanan yang tidak ada artinya. Sedikit sekali yang aku tahu soal ayahku dan meskipun begitu, aku tidak pernah berusaha mencarinya.
"Lulus nanti kamu mau kerja ke pabrik sepatu sama teman-temanmu, Nduk?"
Pertanyaan Simbah membuatku mengernyit. "Pinginnya gitu, Mbah. Ndak jauh juga tempatnya dari sini. Naik angkot palingan cuma setengah jam. Semoga aku keterima, Mbah." Meletakkan daun singkong ke dalam kerajang plastik yang sudah pecah, aku kembali mencari daun yang masih bisa dipetik.
"Mestinya bisa keterima, kamu ini tinggi, putih, dan cantik. Mirip ibumu saat muda dulu. Kamu tahu ndak, anak-anak muda di des akita, semua suka sama kamu. Mereka kalau aku lewat suka negur dan nanyain kamu."
Simbah terkekeh gembira dan aku hanya tersenyum kecut. Apa artinya menjadi cantik kalau tidak punya uang. Terus terang, aku lebih berharap punya uang dari pada wajah cantik, dengan begitu aku bisa membeli rumah, makanan enak, dan baju-baju bagus untuk Simbah. Kami tidak perlu menanggung beba kemiskinan yang berlebihan seperti sekarang, karena rasanya sungguh tidak enak.
"Nduk, kemari Juragan toko tanya sama aku, apa kamu mau kerja di tempat mereka. Katanya digaji satu juga."
"Simbah jawab apa?"
"Aku bilang, terserah kamu. Karena kamu yang kerja. Mereka juga menawarkan tambahan sembako kalau kamu mau. Tapi aku, yo malah curiga."
"Curiga? Kenapa, Mbah?"
"Mana ada orang begitu baik kalau ndak ada maunya. Akhirnya aku paham kenapa mereka menawarkan gitu. Anak Juragan, laki-laki umur 37 tahun, tantara katanya. Suka sama kamu, Nduk! Istrinya baru saja meninggal, duda anak satu."
Aku tidak dapat menahan dengkusan. Menggeleng lalu berpindah ke sudut kebun di mana ada tanaman kunyit di sana. Mengorek-ngorek tanah dengan belahan bambu untuk melihat seberapa banyak kunyit yang tumbuh. Sembari memikirkan permintaan orang-orang yang ingin melamarku. Bukan hanya juragan toko yang ingin menjadikan aku menantunya, ada beberapa cowok di sekolahpun mengejar-ngejar sampai membuat risih. Bukannya aku sok cantik sampai tidak mau sama mereka, tapi kalau kondisi miskin tidak ada uang mana mikir aku soal hubungan asmara.
"Bilang sama mereka, Mbah. Aku dapat panggilan kerja jadi mai berkarir dulu!" kataku sambil tertawa. Mana ada orang berkarir di pabrik sepatu. Lagi pula, juragan toko itu hanya mengharapkan aku menjadi pengasuh anaknya, bukan sebagai menantu. Akan sulit untuk orang dengan kondisi ekonomi seperti diriku berada di dalam lingkungan mereka.
Suara geluduk di langit membuat kami memutuskan percakapan. Mendung hitam di langit dan pertanda akan ada hujan besar. Aku menggandeng Simbah ke dalam rumah, mencuci daun singkong dan juga sedikit kunyit yang berhasil aku korek keluar. Hujan-hujan begini memasak sayur lodeh sepertinya menyenangkan. Ada kepala setengah yang belum diparut. Hujan turun dengan deras dan aku mempersiapkan banyak kain untuk mengepel area yang bocor. Kami bergegas ke ruang tamu dengan masing-masing segelas teh hangat. Berkali-kali aku bangkit untuk mengepel lantai semen yang basah dan menggenang dari kebocoran genteng yang cukup banyak. Menghela napas panjang, aku menatap beberapa tempat yang menjadi sumber kebocoran. Entah berapa banyak uang yang diperlukan untukmemperbaiki atap?
Suara kendaraan yang berhenti di depan rumah membuat kami menoleh bingung. Mungkin ada tetangga yang saudaranya datang. Aku masih mengepel saat pintu digedor dari luar.
"Mbah Kalyani, buka pintu!"
"Mbaah, assalamualikum!"
Suara gedoran makin keras, Simbah terlihat takut. "Sopo, Nduk."
Aku menggeleng. "Ndak tahu, Mbah. Tapi kayaknya kenal sama Simbah. Biar aku buka pintu."
Dengan berjingkat-jingkat karena air yang menggenang di lantai, aku menuju pintu. Menarik gerendel dan membuka pintu lebar-lebar. Di depanku ada empat laki-laki berpakaian hitam-hitam. Menatapku sesaat lalu berujar keras.
"Kami utusan dari Juragan Mulyoprojo. Ingin bertemu dengan Mbah Kalyani dan Bening Sedayu."
Aku ternganga menatap mereka. Mulyoprpjo adalah nama ayahku. Sudah bertahun-tahun tidak ada kabar, mendadak orang-orang ini muncul di depan pintu. Apa yang diinginkan mereka?
.
.
.Cerita ini tersedia di Karyakarsa dan KBM aplikasi
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top