Nyai Juminem
"dan kuharap pertemuan kita yang lain akan terasa sangat manis"
Cinta dan segala esensinya yang menggila, mendadak aku munjadi dungu. Seperti seorang atheis yang sedang berceramah konsep ketuhanan. Aku menertawai diriku sendiri, hatiku yang masih terlalu muda telah bersemi bunga-bunga cinta yang tertuang dalam kiasan sajak.
Bagiku cinta adalah kesederhanaan. Sesederhana Fatimah yang menerima Ali Bin Abu thalib yang melamarnya hanya dengan bermodal baju besi. Cinta adalah sebuah setia, seperti Penelope yang menolak 108 pelamar hanya untuk menunggu Odiseus yang entah hilang kemana. Cinta adalah sesuatu yang manis, semanis pertemuan Adam dan Hawa di Jabal Rahmah.
Aku tersenyum diambang jendela. "ndooookkk, ndooook" panggil ibu dari dapur. Beliau pasti baru pulang dari berjualan cenil di pasar. Aku segera beranjak dari tempatku terduduk. Mengamati wajah renta ibu yang sedang duduk di bayang depan rumah. Disebelahnya ada wakul yang aku yakin adalah sisa dagangan yang tidak habis terjual. Aku membuka wakul yang tertutup daun pisang itu.
"lah masih banyak bu" ujarku.
"iya nduk. Sudah nanti bisa di buat pengajian" ujar ibu dengan suara yang terdengar lelah.
Seseorang datang kerumah kami. Seorang wanita cantik dengan wajah mulus, mengenakan kain songket bersulam benang emas dan perak, mengenakan tusuk konde roos dan peniti intan, ditelinganya terdapat giwang yang terbuat dari berlian.
Jika boleh kutebak wanita itu usianya pasti masih separuh baya dan dari penampilannya aku yakin dia pasti seorang priyayi, yeah meskipun beliau sedang asik dengan sirih dan pinangnya. "mbok warsitun, cenilnya wes entek?" (cenilnya sudah habis) tanyanya. Sebenarnya aku sedikit rikuh dengan wanita cantik ini, kosakata yang digunakannya tidak sehalus dan seindah pakaian yang digunakannya. Kalau kata jawa bilang, tingkahnya amat tidak beretika seperti seorang bangsawan. dia berdiri dengan jigrang, dan kedua tangannya walang kerik seperti preman.
Ibu tersenyum. "mau beli berapa Nyai?" tanya ibu mengambil daun pisan untuk dijadikan pincuk.
"wes sumanya tak gondol" (semuanya saya ambil), ujar beliau sembari walang kerik.
"buat siapa nyai kok banyak sekali?" tanya ibu sembari menyelesaikan pekerjaannya.
"biasa buat tuan-tuan belanda" ujar wanita itu yang kukenal dengan Nama Nyai Juminem tersenyum kepadaku. "cah ayu sopo jenengmu?" tanya beliau ketika aku duduk membantu ibu membuat bungkus demi bungkus cenil.
Aku mendongakkan kepala kepada Nyai Juminem "Asmaranti Nyai" jawabku polos.
"iya" wanita itu tersenyum.
"anakku asmaranti sudah di lamar anakke kyai rojiun" ujar ibu pamer.
"iya? Bagus kalau begitu" puji beliau. Bungkus demi bungkus sudah selesai, Nyai Juminem memberikan uang untuk ibu didalam sebuah kantong yang aku yakin sangat banyak isinya. Tapi ibu malah tersenyum, bukan menerimanya ibu malah menolaknya. "gak popo, sedekahku" ujar ibu dengan sopan.
Nyai Juminem memaksa memberikan uang kepada Ibu. tapi dengan halus ibu menolaknya, menolak tanpa membuat Nyai Juminem sakit hati. Malah ibu menyuruhku mengantarkan wakul yang sudah terisi cenil untuk ditaruh di rumah Nyai Juminem.
"pulang sebelum magrib yo nduk" pesan ibu. aku mengangguk lalu berjalan mengikuti Nyai Juminem entah untuk kemana. Dari caranya berjalan memang belau sangat menggoda, jalannya berlenggak lenggok dengan bokong yang menggeal-geol. Matanya yang melirik kekanan kekiri seolah menggoda siapapun yang menatapnya. tidak terkecuali orang-orang sawah yang bersiul menggodanya. Namun Nyai Juminem tetap memasang senyuman merayu, yang membuatnya semakin di soraki oleh orang-orang yang melintas.
Sampailah kami disebuah loji, loji yang sangat besar dengan bangunan bercat putih. jendelanya tinggi dan hampir semua terbuka. Dentuman lagu menjadi hingar-bingar dan suara gadis-gadis yang menggoda hasrat menjadi latar belakanganya. ada banyak orang didalam sana. Ketika pintu gerbang dibuka sorak-sorai menyambut kedatangan Nyai Juminem. Aku berjalan dibelakang beliau, ketika aku ketahui sangat banyak lelaki belanda disana. Mungkin itu adalah sarang serdadu belanda.
Seorang lelaki tua datang dan langsung menyergap Nyai Juminem. Lelaki tua dengan rambut emas berwarna jerami yang langsung mengecup Nyai Juminem dengan kasar. orang-orang bersorak terutama ketika lelaki itu mencekram bokong sintal Nyai Juminem dan memamerkannya kepada mereka. Aku tertunduk, tapi aku masih bisa mendengar suara kecupan yang kasar dari lelaki belanda yang tidak bermoral itu.
Aku membuang mukaku, ketika dari jauh aku melihatnya. Awalnya aku tidak yakin dengan bayanganku, kupikir ini hanyalah sebuah ilusi dari otakku yang terus memikirkannya. Tapi ketika kuperjelas pandanganku. Aku meyakinkah diri bahwa itu adalah dia, Sigfreid yang entah mengapa melihat sisisnya yang lain membuat hatiku terhujam.
Dia sedang menghisap cerutu dengan kaki kiri yang ditopang diatas kaki kanan. Diatas pangkuannya ada seorang wanita yang memeluknya dengan mesra. Beberapa kali dia melepaskan cerutunya untuk mengecup leher atau bibir wanita itu. ditangannya ada kartu yang sedang dimainkan bersama dengan teman-temannya. Ketika seorang wanita membawa kopi dan ditaruh di atas meja, mata Freid terlihat jelalatan. Terlihat dari tangan nakalnya yang segera meraih bokong sintal wanita itu. bukan malah marah, wanita muda itu malah mengaduh dengan geliatan badan yang centil.
Hatiku panas, tak kuat ragaku menahan tubuhku yang bergetar di terjang amarah. "Ranti...hey Ranti" Nyai Juminem membuyarkan tatapanku. Aku menunduk, air mataku telah membasahi pipi. Aku menyerahkan isi wakul kepada Nyai Juminem. Ketika para pembantunya membantu membawa isi wakul yang banyak. "bilang, matursuwun buat mbok Warsitun yo" suruh Nyai Juminem. Aku mengangguk tanpa melihat wajahnya, dan segera berlari pergi.
Nyai Juminem, beliau adalah perempuan jawa yang cantik, jelita dan menyerahkan dirinya kepada tuan belanda. Hidupnya memang makmur bahkan diatas rata-rata Inlander, dengan kebaya indah dan tusuk konde emas. Bahkan giginya-pun di pasang emas. Tapi pandangan masyarakat tentangnya sangat buruk, dia tidak lebih dari seorang yang minim moral. Kuakui dia baik tapi etikanya yang suka serong, bodoh, menjual gadis-gadis belia sama sekali tidak membuatnya terlihat baik.
Perempuan jawa sepertinya, hanyalah seorang Gundik atau bisa disebut juga istri tak resmi, perempuan simpanan. Germo Atau bisa jadi perusak rumah tangga orang. ada istilah lain mereka adalah perempuan yang difungsikan sebagai pelepasan nafsu birahi. Seorang wanita pribumi yang setiap hari selalu khawatir menunggu giliran dibuang. Mereka terkenal sebagai wanita yang harga dirinya lebih rendah dari Inlander. Mereka memang hidup baik, masak, macak, manak adalah kehidupan mereka dan dari sana mereka berkerja.
Aku tidak membencinya sama sekali tidak. Tapi aku membenci orang-orang yang membelinya. Mungkin juga termasuk Sigfreid, dia yang kuanggap tidak sama dengan mereka yang bangga dengan kasta eropanya ternyata sama saja. Mata keranjang dan menganggap rendah para pribumi. Mereka tetap saja tidak bisa mengorangkan orang, padahal mereka hidup dari tanah jarahan.
Hatiku sesak dengan amarah yang semakin memuncak. Sholatku tiidak khusuk karena memikirkan kecewaku kepadanya. setelah isya dan sehabis mengajar mengaji aku memaksakan diriku untuk tertidur. Meski kuakui memang, masih sangat erat bayangan freid membelenggu imajinasiku.
"kamu kenapa to ndok kok napasnya berat banget dari semalem?" tanya ibu dini hari saat aku membuat adonan klepon. Aku menggeleng, aku sedang tidak dalam mood baik untuk membicarakan amarahku.
"ah ibu kenapa kemarin gak menerima uang dari Nyai Juminem?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.
"ibu kasihan sama Nyai Juminem" ujar Ibu membuat hatiku sedikit mengiba. "ibu pernah lihat dia ditengah sawah, panas-panas, dilihat orang banyak sedang ditelanjangin sama Tuan Belandanya." Ujar ibu.
"bukannya kehidupan mereka seharusnya enak. Maksudku, mereka hanya menjual diri lalu jadi peliharaan tuan belanda. Makan dan tidur enak, pakai baju bagus" sanggahku ibu tersenyum kepadaku dengan halus beliau memberikan penjelasan.
"hidup itu tidak semudah itu Nduk. Seenak-enaknya hidup orang pasti ada tidak enaknya. Tapi inget nduk hidup yang paling mulia adalah hidup yang di berkati. Di ridhoi sama gusti allah" aku mengangguk sepaham. "tentang Nyai Juminem, dia contoh kehidupan yang tidak baik" ujar Ibu.
Matahari telah terbit, setelah aku mencuci pakaian di sumur sebelum para serdadu belanda datang. Aku membantu ibu untuk membawakan barang kepasar. Biasanya Mas Danu yang mengantarkan ibu. tapi Bapak dan Mas Danu sudah kesawah sehabis subuh tadi. Dengan wakul yang kujinjing di atas kepala, ibu menggendong wakulnya dibelakang punggung.
Disepanjang jalan kami banyak bertegus sapa dengan orang yang juga sama-sama akan berangkat kepasar. Setelah menaruh wakul di lapak ibu, ibu memintaku untuk memberikan cenil kerumah calon ibu mertuaku. aku mengangguk dan mengiyakan keinginannya. Aku sering kerumah Mas Mardi melalui jalan pintas. Yaitu dibelakang loji-loji tentara belakang yang kemarin sore kukunjungi.
Melewati loji-loji ini mengingatkanku akan wajah mesum Freid saat melihat bokong gadis pembawa kopi. aku membuat wajahku kecut, ketika aku menengok kesamping. Dari jendela tinggi yang terbuka aku melihat seorang yang berjalan seiringan denganku. Dari satu jendela ke jendela yang lainnya. Jalannya nampak tergesa-gesa dengan pakaian tentara belanda yang gagah serta suara sepatu yang keras seirama. Dia-pun menatap kearahku dengan tatapan yang jujur saja terlihat mysterius.
Ingin rasanya aku berlari agar aku bisa menghindar darinya. Tapi langkahku terhenti ketika seorang tentara belanda menghadang jalanku. Ah, aku benar-benar malas berurusan dengan belanda sepagi ini. "hei, yey Inlander. Wat doe je hier?" tanyanya membentak. (hei, kamu orang pribumi. apa yang kau lakukan disini)
"Ik ben op doorreis" jawabku dengan nada yang tidak kalah tinggi. (aku hanya lewat)
"je weet dat hier doorheen moet betalen" serunya. Membuatku mengeluarkan uang sen didalam sakuku. (kau tahu kalau lewat sini harus membayar). Aku melempar beberapa uang sen tepat di dadanya. Lalu berjalan melewatinya yang membuka badan agar aku bisa lewat.
Didepan loji itu ada lapangan tempat dimana tentara belanda sedang melakukan upacara. Di depan Mimbar aku menangkap bayangan itu. Sigfreid, dimana tatapaan kami saling bertemu. Tapi tidak ada keinginanku untuk memulai berbicara dengannya. aku membuang wajahku berusaha untuk tidak menggubrisnya. Dimataku kini Sigfreid adalah seorang bajingan yang bahkan lebih rendah dari pada harga diri seorang pelacur. Begitu benci membisikkan gaungannya didalam hatiku.
Aku keluar dari gerbang yang dijaga oleh serdadu. Mereka memperingatkan agar aku tidak lagi melewati jalan pintas itu. aku mengangguk. Aku berjalan cepat kerumah ibu mertuaku ternyata beliau sedang tidak berada dirumah, aku memutuskan untuk tidak mampir. Untuk apa juga aku mampir jika pemilik rumah tidak ada disana. Aku memutuskan pulang seketika di balik pohon dekat loji tentara belanda seseorang menarik tanganku.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top