Londo dan Jawa
Aku memegang janggut nyatis-nya. Wajahnya berpaling dariku untuk mengecup tanganku yang masih menjelajahi pipinya. Lalu jemariku berjalan ke rahang dan kebelakang telinga, dibelakang lehernya aku mengusap dimana kedua jemari tanganku saling berpautan hendak memeluknya. Sikuku kini berada di atas pundaknya, dimana kakiku harus menjijit untuk dapat tinggi setara dengan Freid.
Matahari hendak terbenam, di tepi sungai matahari masih mengeluarkan seringai hangatnya. Dengan disaksikan matahari yang hendak beranjak pergi, disana aku melihat wajah itu lebih dekat. Wajah lelaki belanda yang sangat amat aku cintai, tak mampu lagi bibir ini bersenandung memuji cinta karena memang hati ini selalu berdesir memanggil namanya.
"bolehkah aku mengecup bibirmu?" tanya Freid dengan nada yang sangat amat halus.
Dengan malu-malu aku menggeleng, dia mengangguk lalu mengatupkan bibirnya. Mata kami masih saling bertemu, menginginkan waktu agar tidak berjalan dengan cepat. napas kami saling berpautan, disana ada sebuah hasrat yang saling menggoda satu dengan lainnya. Aku melepas rangkulanku, dengan cepat aku mengecup pipi kirinya.
Merasakan jambang yang tidak tercukur rapi terasa kasar di bibirku, tapi menyentuh pipi merahnya meninggalkan rasa manis yang getir. Aku segera melangkah mundur, menyembunyikan wajahku yang sudah sangat merah untuk menyumbunyikan maluku. Ketika aku melirih wajah Freid sedikit, dia nampak mengusap pipinya dengan senyuman yang menurutku membuatnya terlihat tampan.
"jangan menatapku seperti itu" ujarku malu ketika Freid benar-benar menatapku tanpa berkedip. Dia juga tersenyum-senyum sendiri dan itu membuatku salah tingkah.
"sepertinya malam akan segera datang. Aku akan mengantarkanmu pulang" tawarnya. Aku mengangguk menyetujui itu. aku segera berjalan didepan Freid, dimana aku bisa mendengar dengan sangat jelas langkah kaki itu mengikuti gerak kakiku yang terus melangkah. Langkah kaki yang entah mengapa, menjadi sebuah alunan yang sangat mudah untuk dihapal. Sebuah langkah kaki yang tegas namun bersahaja.
Kami berjalan tanpa sepatah katapun terucap. Aku sibuk dengan hatiku yang berbunga-bunga serta jantungku yang seolah memaksa keluar untuk berteriak dengan lantangnya, dan mungkin ia merasakan apa yang sedang aku rasakan sekarang. aku sampai di depan rumahku dimana sholat magrib berjamaah sedang berlangsung.
"oh jadi ini rumahmu?" tanya Freid sebelum kami berpisah. Aku mengangguk, dia hanya tersenyum tapi seperti ada sebuah kilatan misteri dalam bingkai matanya. Seperti ada sesuatu yang sedang ia pikirkan tentangku. "apa itu tempat ibadahmu juga?" tanyanya aku mengangguk.
"sepertinya komandanmu sedang mencarimu sekarang" ujarku menyuruhnya pergi sebelum bapak mengetahui bahwa anak gadisnya yang sudah memiliki ikatan tapi masih kluyuran dengan lelaki lain yang bukan muhrimnya.
"kupikir demikian, tapi nyatanya komandanku tidak mencariku. Komandanku sedang mencari seorang perempuan jawa yang cantik" ujarnya membungkukkan badannya untuk menggodaku, kembali wajahku yang lusuh memerah seperti kepiting rebus dan terasa sangat panas.
"Ranti" suara yang sangat amat aku kenal memanggilku. Jantungku berdegup sangat cepat, ketakutan menyeruak di dalam diriku hingga membuatku bergetar. keringat dingin segera membasahi keningku. Aku memberanikan diri untuk berbalik, dan ternyata itu adalah Ibu yang baru saja turun dari sholat maghrib berjamaah.
Ibu mendekati kami, kemudian menggandeng tanganku. seolah menyuruh Freid pergi dengan tatapan ibu yang sangat tajam. "i...i...ini temen Ranti bu" kenalku pada Ibu, tapi ibu hanya melengos seolah menarikku untuk masuk kedalam rumah. Meski aku memilih untuk tetap tinggal. Hingga Bapak-pun dan beberapa jamaah langgar mengetahui kehadiran Freid. Mas Dhanu mendekat, begitu juga dengan Bapak.
"He, Londo, opkrassen!" usir mas dhanu kasar. (opkrassen:enyahlah)
Bapak menggenggam lengan Mas Dhanu seolah melarang kakak laki-lakiku itu untuk bertindak kasar kepada orang belanda. Memang Bapakku adalah orang yang bisa dikatakan sabar, mungkin beliau adalah orang yang tidak memiliki amarah kepada siapapun. Semarah-marahnya bapak beliau hanya terdiam. Membuatku semakin merasa bersalah.
"suruh masuk kedalam" suruh bapak kepada Mas Dhanu.
"bapak, diakan bawa bedil" Mas Dhanu menolak. (bedhil : Senjata). Memang baru aku menyadari bahwa dia membawa sebuah pistol yang dia sampirkan di sakunya. Tapi bapak menatap mas Dhanu dan tatapannya kini semakin serius. Jujur saja itu membuatku takut.
"pulanglah Freid" suruhku kepada lelakiku. Dimana tanganku langsung diremah oleh ibu.
"kenapa aku harus pulang?" tanya Freid dengan seringainya yang masih bersemu, tapi sedikit ada rasa amarah akan sikap Mas Dhanu.
Freid ga dan naar huis. (Freid kumohon pulanglah) ujarku dengan mengirimkan pesan melalui mata kami yang bertemu juga bibirku yang seolah berkomat-kamit. Tapi dia menolak seolah matanya berbisik bahwa dia ingin berbincang dengan Bapak. Mas Dhanu masih diam ditempatnya, tapi Bapak tidak tinggal diam belau yang tidak bisa Berbahasa Belanda sama sekali, menarik lengan Freid dengan halus untuk masuk kedalam rumah kecil kami. Freid mengikuti langkah Bapak, sedang Ibu menggeretku untuk masuk ke bilik dapur.
Diruang tamu Bapak dan Freid duduk, sedangkan Mas Dhanu entah kemana. Tak lama Mas Dhanu datang dengan ngos-ngosan diikuti oleh Mas Mardi yang masih menggunakan baju koko dan sarung. Aku mengintip di balik tirai dengan wajah ibu yang siap untuk mencercaku. Mata ibu telah berkaca-kaca, aku berada diposisi aku tidak tahu apapun.
"sudah berapa lama kamu nduk berhubungan dengan dia?" tanya Ibu dengan nada yang terlalu tinggi yang tidak pernah aku dengarkan sebelumnya.
Aku bergetar tak mampu aku menjawab yang pasti akan membuat ibu kecewa. Tapi aku telah mencintai Freid bahkan sebelum semuanya pernah dimulai. "maafin Ranti bu, tapi setelah Ranti pikir bahwa Ranti lebih mencintai Freid daripada Mas Mardi" akuku. Ibu yang sedang duduk kemudian berdiri, lalu berjalan dengan cepat kepadaku.
Prakkkkk
"Lancang kamu"
Satu tamparan mendarat dipipiku. Tamparan yang bahkan tidak pernah sekalipun melayang dipipiku dari tangan halus ibu. ibu kemudian membentak lalu mengeluarkan air Mata serta menutup mulutnya agar isakan itu tidak terdengar, untuk meninggalkan aku sendiri dibalik tirai dapur. Aku tersungkur di bawah lantai yang basah, mendengarkan percakapan Bapak, Mas Mardi, Freid dan Mas Dhanu.
"Ik wist vanaf het begin van jou met de affaire van een vrouw" suara Mas Mardi membuka pembicaraan. (aku tahu dari awal hubungan gelapmu dengan wanitaku). "kenapa kau selalu mencari korban wanita indonesia yang masih polos dan bodoh untuk kesenanganmu?" tanya Mas Mardi penuh penekanan.
"kamu tidak tahu aku" ujar Freid.
"kamu dan bangsamu sama saja. Penjajah Biadab yang bangga dengan darah eropamu." Sentak Mas Mardi, tapi segera dilerai oleh suara bapak. Yang di translate oleh mas Dhanu untuk Freid.
"Le, cah ganteng. Aku tidak pernah meminta apapun dari bangsamu, tidak juga pernah melakukan kesalahan pada bangsamu. Tapi izinkanlah kami hidup dengan layak. Meski kekurangan sandang pangan, tapi biarkan kami bahagia. Jika memang kamu memiliki rasa dengan anakku biarkan Ranti. Dia adalah anak yang baik izinkan dia untuk bersama orang yang baik pula. Dan lelaki ini (menunjuk ke Mas Mardi) adalah lelaki yang terbaik untuk Ranti"
Suasana tiba-tiba hening. Sebelum sebuah suara terdengar bergetar. "Ik ga naar huis" (aku akan pulang).
Aku membuka tirai, ketika aku menatap mata yang berkaca-kaca itu dedepanku. Napasnya terdengar berat, wajahnya memerah memndam amarah. Seperti ada kecewa yang tersirat. Dia menggertakkan giginya, kemudian tersenyum. Tersenyum yang terlihat dipaksakan dan terasa menyiksa.
"Gefeliciteerd, mo....oi meisje" (selamat) ujarnya dengan Napas yang tersengal. Dia menunduk terlihat air matanya yang terjatuh. Dia mengusap, lalu melambaikan tangan untuk pergi dengan langkah yang sedikit tergesa-gesa. Hendak aku ingin berlari mengejarnya, mengusap air mata itu. tapi tanganku di tarik oleh Mas Mardi.
"Ketahulah posisimu Ranti" bentak Mas Mardi. Aku hanya menitikan air mata tanpa bisa membela diriku sendiri. malam itu tidak hanya ibu yang marah kepadaku, tapi juga bapak dan Mas Dhanu. Terutama Mas Dhanu yang benar-benar mewanti-wanti agar aku tidak lagi berjuampa dengan Freid.
"jangan ketemu Londo Tengik iku maneh" teriak Mas Dhanu.
"memang ada apa dengan Freid. Dia sama dengan kita, mungkin hanya karena dia Londo..." belaku.
"Ranti rungokne Mas Mu" teriak Bapak. Membuatku terdiam.
"kowe eroh, Londo Tengik iku Cuma mau mainan sama kamu. dia akan menjadikan kamu LONTE" teriak Mas Dhanu langsung didepan wajahku.
Kemudian aku terdiam. Aku terdiam tanpa kata, terduduk dan tiba-tiba merenungkan diri. Mungkin benar yang dikatakan Mas Danu, aku hanya sekedar gundik bagi Freid. Bagaimapun kami tidak bisa dipersatukan dalam ikatan apapun. hubungan kami hanya sebuah hubungan gila yang akan di anggap tabu oleh sejarah. Dia lelaki belanda dan aku wanita jawa, dia adalah seorang penyebar agama nasrani sedangkan aku adalah pengikut kanjeng Nabi Muhammad, tujuannya di bumi pertiwiku hanya untuk menjarah sedangkan aku berusaha keras untuk menyambung hidup dengan sisa-sisa yang tidak terbawa.
Aku kemudian menangis. bukankah jatuh cinta itu tanpa tapi. Tapi mengapa sekarang aku memiliki banyak alasan untuk berhenti mencintai?.
Aku tahu bahwa pendapat Mas Dhanu memang hanya sebuah spekulatif. Tapi bagaimana jika pernyataannya benar?. Berhari-hari bapak dan ibu melarangku keluar rumah. Membuat aku merindukan kehangatan lelaki belanda itu. seperti beginikah rasa rindu yang menyakitkan yang dialami Shah Jahan dari loteng penjaranya terhadap jenazah yang terdapat didalam taj mahal?.
Hingga disebuah malam Mas Mardi mengajakku untuk berjalan-jalan disebuah pasar malam yang rutin di adakan di bulan maulud. Kebetulan Mas Mardi menjadi pengisi acara pada pengajian yang juga diiringi oleh tembang-tembang gong sunan kalijaga. Di keramain itu aku menangkap siluet tubuh itu. tubuh yang nampak lunglai dan mengikuti rekan-rekan lainnya yang berjalan sempoyongan, dia adalah Freid yang amat sangat aku rindukan.
Aku segera berlari kearahnya, dan sangat ingin memeluknya. Freid nampak kaget dengan kehadiranku. Terlihat dari wajahnya yang entah mengapa terlihat kurus, dimana jenggotnya mungkin tidak dicukur beberapa hari ini. dia menatapku seolah dengan tatapan tidak percaya, matanya kembali berkaca-kaca.
"hi" sapanya, disebuah situasi yang terasa sangat amat canggung bagiku dan itu terasa menyakitkan. Tidakkah kita pernah sangat dekat dan memiliki hasrat untuk memiliki?, tapi mengapa sekarang terasa sangat berbeda. Mengapa kami seoalh menyerah pada takdir, bukankah cinta yang tulus adalah pemenang dari permainan lotre kehidupan?.
"apa kau sakit?" tanyaku.
Freid menggeleng. "apa kabarmu?" tanyanya.
"merindukanmu. Benar-benar merindukanmu" ujarku terus terang.
Dia terdiam. Lalu menarik napas. "aku juga" ujarnya hendak mendekat.
Mas Mardi menggandeng tanganku. aku menutup mataku, aku tahu bahwa Freid hanyalah ilusiku. Kemudian aku menangis, aku menyadari bahwa aku benar-benar merindukannya. Aku sangat ingin bertemu dengannya, dan mengatakan betapa aku sangat mencintainya. Aku memeluk Mas Mardi lalu menaing dipelukannya.
Pertemuan dengan Freid sudah seperti sebuah penyakit dalam otakku. Dan itu selalu terasa nyata. Terkadang disebuah malam yang terasa amat panjang tanpa mimpi yang hinggap di tidurku, aku selalu berhalusinasi bahwa Freid sedang memelukku dari belakang. Dan rasa ini begitu menyiksa, tak jarang tiba-tiba aku menangis sesenggukan seorang diri. Tapi ibu enggan untuk mendekat dan menghiburku.
Lalu apa yang harus aku lakukan, bertahan menjadi gila atau waras tanpa bahagia?
******************************************************************************************
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top