Ilang Ing Taun
1859, pejuang bone yang tak terkalahkan. Mari kuceritakan tentang sejarah yang begitu singkat tapi terukir indah dalam sejarah. Begitu bangganya aku yang lahir di bumi pertiwi, menyaksikan para pejuang yang tak gentar menghalau musuh mundur. Kematian bukanlah sesuatu yang mereka takuti, tapi menatap anak-cucu yang masih sengsara adalah petaka. Dengan gagah berani mereka masuk kehutan-hutan rimba, bukan bermaksud takut bila musuh menyerang terang-terangan. Ini adalah masalah strategi, strategi yang dibuat dengan matang oleh para pemimpin yang suka makan ares tapi arif dan bijaksana dalam memikirkan kepentingan bersama.
Dipagi yang buta mereka meninggalkan istri dan sanak saudara dirumah, mereka saling membaur karena kesamaan visi dan misi untuk merdeka. mereka menenteng ketela rebus untuk cadangan makan selama bertempur. Tidak ada senjata tembak yang canggih dan bisa membunuh seribu orang dalam satu pelatuk senapan. Hanya ada bambu runcing di tangan kanan mereka, jimat-jimat tak lupa diikat didalam sarung, tapi yang paling mutakhir adalah doa yang selalu dipanjatkan. Tidak peduli hanya pulang nama ditangan penjajah atau di terkam harimau, Para pejuang begitu berani membela bumi pertiwi. Para tentara londo itu kalang kabut mengurusi para pejuang yang bersih kukuh tidak mau dikendalikan pihak kolonial. Aku begitu bangga, akan kuceritakan kisah ini pada anak cucuku kelak.
Mas Mardi berangkat dengan meninggalkan janji. Bahwa jika dia pulang dengan selamat maka ia akan menikahiku, apabila hanya namanya saja yang pulang maka cintanya akan tetap abadi bersamaku. Aku memang tidak bergeming, hatiku masih ambigu untuk mengatakan rasaku yang sebenarnya. Karena sebenarnya hatiku masih tertinggal untuk seseorang, seseorang yang menatap bulan yang sama denganku. Beberapa kali berdoa bila Mas Mardi tidak pulang, aku tahu itu jahat tapi aku mau bagaimana. Orang tuaku begitu merestui hubunganku dengannya.
Hari demi hari berlalu. Hatiku getir menunggu kepulangannya. Doa yang terlantun untuknya bersama keluarga hanyalah pemanis yang keluar dari bibirku. Karena sebenarnya hatiku akan tetap berdoa untuk Freid yang entah bagaimana kabarnya. Sehari, dua hari, sebulan, sewindu hingga setahun. Kami mendengar perang bone telah usai tanpa sebuah kesepakatan, tapi yang jelas pejuang bone tidaklah terkalahkan. Seperti alam mendukung kemenangan para pribumi yang tertindas ada banyak tentara terkena wajah kolera dan harus pulang kembali ke Batavia. Kepulangan para pejuang disambut dengan antusiasme penduduk.
Tapi yang membuatku bersedih adalah. Mas Dhanu tidak ikut pulang bersama para tentara pribumi. Dia tertinggal dihutan belantara, takdir memintanya berhenti di ujung senapan tentara belanda. Aku begitu terpukul, kurasakan betapa sakitnya kehilangan. Lebih sakit daripada patah hatiku kepada Freid yang ternyata sama saja dengan tentara belanda lainnya. Kakakku, penutanku, penjagaku telah pergi bersama semangat juangnya.
Teringat dahulu saat aku dan Mas Dhanu masih sama-sama kecil. Bapak menggandeng kami untuk berjalan pulang di tepi sawah saat matahari kian senja. Mas Dhanu begitu lusuh dengan keringan dan kulit yang gosong akibat terlalu lama bermain di bawah terik matahari. Aku ingat betul waktu itu kekurangan pangan hampir terjadi diseluruh plosok negeri. Jadilah aku dan Mas Dhanu anak-anak yang kurang gizi dan hampir busung lapar.
Bapak berjalan menggandengku didepan. Sedangkan Mas Dhanu dibelakang kami, tak jauh kami berjalan Mas Dhanu mengejar dengan membawa tiga batang tebu yang baru saja di ambilnya dari lahan orang. Bapak yang tahu itu begitu marah dengan Mas Dhanu, tiga batang tebu itu dipukul Bapak kepantat Mas Dhanu agar tidak mencuri lagi. aku ingat raut wajah Mas Dhanu yang hitam menjadi kemerahan karena menahan sakit. Tapi dia tidak berlari untuk menghindar dari kesalahannya.
"Maaf Pak." Itu yang diujarkan Mas Dhanu pada Bapak.
Bapak tersenyum, bukan berarti dia puas telah menyiksa anaknya. Tapi senyuman itu adalah senyuman bangga bahwa Mas Dhanu telah menjadi seorang pribadi yang tangguh dan bertanggung jawab seperti yang diharapkan bapak selama ini. Bapak menyuruh Mas Dhanu untuk mengembalikan tebu itu kepada pemiliknya dengan berlari dia mengembalikan tebu itu meski dimarahi oleh pemilik sawah.
Sepanjang jalan bapak berpesan dengan petuah-petuah yang selalu aku ingat hingga tua nanti. Bahwa dalam hidup kita harus melakukan kebaikan, maka kebaikan pula yang akan datang kepada kita. Mas Dhanu memang tidak menggubris karena dia asik dengan tebunya.
"pemilik kebun tadi yang memberi." Ujar Mas Dhanu mengunyahkan tebu agar aku bisa menghisap sarinya.
Tapi lelaki itu telah pergi sekarang. Bila aku memiliki kesempatan. Aku ingin menatap wajah Mas Dhanu untuk yang terakhir kalinya. Apakah dia bisa menahan sakitnya sakaratul maut sebelum kematiannya seperti dia menahan rasa sakit dari cambukan tebu bapak. Tapi yang membuat lega adalah, Mas Dhanu meninggal dengan khusnul khotimah. Meski jasatnya tidak di balut kain kafan, tapi dia meninggal dalam senyuman bangga menyapa malaikat bahwa dia telah mati dalam jihad.
"Ranti, aku pulang." Ujarnya membuat badanku gemetar diantara sedih yang tak mampu lagi kujabarkan rasanya. "aku ingin memenuhi janjiku dahulu." Pintanya. Aku mengangguk, dimana anggukanku itu adalah sebuah bahagia dari seorang ibu yang pernah kukecawakan.
Hari berganti, kesedihan atas kehilangan Mas Dhanu telah berganti dengan keriwehan pernikahan. Meski begitu hatiku tetap terluka, ada sebuah lubang yang menganga. Tapi yakin Mas Dhanu menitipkan restunya pada Bapak dan Ibuku yang begitu bahagia dengan bahagiaku yang membawa ke surga bersama Mas Mardi.
seorang penghulu menghalalkan hubungan yang mengarah kepada kebaikan dunia dan akhirat. Janji suci diikrarkan dengan romantisnya oleh jodoh yang telah ditakdirkan allah untukku. Jodoh begitu didambakan ibuku untuk gadis yang kini telah menjadi anak semata wayangnya.
setelah pernikahan itu kami sekeluarga pindah ke batavia. Sebulan pernikahan aku dikaruniai seorang anak lelaki yang kami beri nama Anjasmara, Mas Mardi tak pernah pulang karena sibuk berperang. Menjelajah dari satu kota ke kota yang lain untuk memberikan bantuan atas nama agama dan negara. Bahkan ketika anak kedua kami lahir, Kartika Ayu tidak juga membuat Mas Mardi merasa nyaman dirumah. Baginya berperang adalah panggilan atas tanggung jawabnya sebagai orang yang patut memperjuangkan Haknya. Tak memiliki pangkat bukan masalah, mengeluarkan dana pribadi untuk kepentingan umum tidak lagi dapat dihitung jumlah besarannya. Atas Nama keikhlasan Mereka memperjuangkan masa depan Bangsa, memerdekakan tanah yang harus merdeka. Yang hanya bisa perempuan lakukan hanyalah berdoa, berdoa agar para suami pulang dengan selamat dan membawa kemenangan.
Anak perempuan nomor tigaku lahir bernama Sekar Tanjung. Meski terbiasa terpisah dalam jangka waktu yang lama dengan Mas Mardi, tapi kelahiran anakku ini membuatku merindukan kehadiran bapaknya. Aku paling benci saat Mas Mardi pulang tak ada satupun anakku yang mengenali bapaknya. Mereka selalu mengatakan bahwa bapaknya adalah Lentera dari timur, padahal jelas Mas Mardi terlahir sebagai lelaki jawa. Kepulangannya tak begitu dinanti anak-anak, sekalinya datang dia hanya mendidik anak-anaknya secara militer dan membuat anak baru untuk merapatkan barisan pejuang. Anak lelaki begitu didamba dambakannya.
Lelaki nomor Empat lahir bersamaan dengan nomor Lima. Bumi Gumintir dan Bima Gumilar. Kelahiran mereka begitu istimewa karena Mas Mardi menemani persalinan. Ketika anak Lelaki yang lahir ada wajah bangga yang tersirat dari wajahnya. "kelak anak-anakku akan menjadi pejuang yang berani bertempur di medan perang, jiwanya begitu nasionalis dengan akal yang tidak di nodai oleh kebathilan. Hatinya akan selalu diliputi kebaikan dan keikhlasan untuk membangun negara yang makmur." Bisik Mas Mardi setelah ia berazan. Dalam hati aku mengamini doa yang terpanjatkan itu.
Aku menjadi dewasa bersamaan dengan jiwa wanita jawa yang bersahaja. hidupku telah lengkap dengan anak-anak yang tumbuh dengan cerdas. Anak-anakku tumbuh dengan cepat. Hari-hariku hanya diisi oleh ocehan dan pertengkaran mereka yang tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang penurut. Kasih sayang begitu ku pupuk agar mereka hidup dengan rukun. Aku ingin mereka merasa saling memiliki satu dengan yang lainnya, begitu indahnya bila mereka memiliki persaudaraan yang begitu erat seperti persaudaraanku dengan almarhum Mas Dhanu yang sudah lama pergi dimana aku begitu merindukannya.
Kehidupanku yang baru jelaslah berbeda dengan kehidupanku menjadi seorang nyai dahulu. Jika dahulu begitu banyak orang yang merasa jijik menatapku, kini aku begitu dihargai sebagai saorang istri priyayi jawa. Pakaianku memang tidak semewah dan seterbuka dahulu, mungkin sedikit lebih sopan meskipun tetap menggunakan kebaya lawas dengan warna yang hampir pudar. Tiang agama mulai kupeluk, sedikit demi sedikit aku merelakan duniaku. Bukan karena surga tujuanku semua itu Karena jujur saja aku tidak merasa hidup diduniaku saat ini. meski waktu telah berlalu tapi gejolak ego itu tetap berkibar, aku ingin bebas. Setidaknya bila aku tidak bisa sebebas elang, aku ingin bila anak cucuku kelak bisa bebas memperjuangkan haknya, cintanya, mungkin juga hidupnya.
Memperjuangkan masa depan anak cucu. Harta berlimpah yang kumiliki sekarang tidak akan bisa dirasakan anak-cucuku kelak, tapi hakikat kemerdekaan akan selalu dikenang. Dan itu yang Mas Mardi perjuangkan. Aku ingin berjuang bersamanya, meskipun kodrat perempuan hanya didapur dan mengurus anak. tapi setidaknya aku mendidik anak-anakku dengan cerdas, agar ia bisa membagikan kecerdasannya untuk memintarkan bangsa yang luar biasa besar ini.
Mas Mardi sering sekali pergi meninggalkan rumah untuk berperang. Anak-anak hampir lupa dengan wajah bapaknya. Meski sering mengomel, aku selalu melepaskan lelakiku itu dengan ikhlas. Karena dengan ikhlas pula aku ingin bahtera rumah tanggaku diberkahi. Apalah arti seorang istri bila tidak bisa berdoa atas keselamatan lelakinya di medan perang. Dan aku melakukan itu, aku berdoa agar suamiku bisa pulang dengan membawa berita kemenangan atas pengusiran penjajah dari muka bumi pertiwi ini. diantara doa-doa itu ada nama yang terselip. Ada satu sosok lagi yang begitu kurindukan, lelaki belanda bernama Freid.
Lama kami tidak bersua, bila takdir mengijinkan aku ingin melihat bahagianya sekarang. Mungkin dia sudah memiliki keluarga baru di belanda sana. Keluarga yang pasti sama bahagianya dengan yang kumiliki sekarang. Terkadang aku masih beku dalam kerinduan dengan lelaki itu, tapi tak banyak yang bisa kulakukan selain menatap Bulan yang bersinar terang diantara kegelapan malam sembari meniman-nimang anakku untuk lelap tertidur. Dimana aku ikut tidur bersama anak-anakku itu, sembari menyanyi tembang damar wulan.
*************************30 Years After******************************
Aku terbangun dari tempat tidurku. Terasa badanku yang sudah sakit semua, rasanya tulang-tulangku kelu hingga terasa mau copot. Punggungku terasa linu, tapi aku memaksa diri untuk bangun dari tidurku. Matahari bersinar dengan terangnya, mengantarkan sinar yang menyentuh kulitku yang telah berkeriput. Aku bertanya, seberapa cepat waktu itu berjalan. Sepertinya baru kemarin aku merasa bimbang akan sebuah rasa cinta. Sepertinya baru kemarin aku bertobat atas sebuah cinta pada orang yang salah.
"mbook, sudah bangun?" tanya Kartika Ayu. Anak gadisku yang begitu berbakti kepadaku, dan rela menemaniku diusia senja.
Aku tersenyum. "jukukno aku suruh nduk." (ambilkan aku suruh nduk)Kartika Ayu mengangguk dengan patuh dia mengambilkan kotak kayu yang telah menjadi sahabatku saat memasuki hari tua. "bapakmu wes dahar?" (bapakmu sudah sarapan).
Kartika terdiam. Aku berjalan kedepan cermin untuk duduk dimeja rias, aku menjalani rutinitasku biasanya. Aku harus cantik sebelum duduk di kursi goyang. Aku menatap wajahku didepan Cermin, begitu memprihatinkan. Aura wanita sudah tidak terlihat dari dalam diriku. Kini aku hanya wanita kisut, dengan wajah yang berkerut. Rambutku sudah dipenuhi uban. Aku sudah tidak bisa berjalan berlenggak-lenggok, tubuhku makin susut bersamaan dengan usiaku yang menua.
Dan aku baru Teringat bahwa Mas Mardi telah diasingkan 10 tahun yang lalu. aku tidak tahu lagi kabarnya, tapi aku selalu menanam kepercayaan pada anak-anak bahwa Bapaknya pasti akan pulang. Meski kenyataannya 10 tahun telah berlalu dan dia tidak pernah pulang. Mungkin dia telah mati dan dimasukkan ke kubangan buaya. Entahlah, aku ikut tersenyum bersamaan dengan senyuman gadisku yang telah memiliki anak. yeah aku telah memiliki 31 cucu dari anak-anakku yang sudah membina keluarganya sendiri-sendiri. padahal mereka baru saja bermain lari-larian, di tengah sawah saat Mas Mardi sedang berada dirumah. Baru saja mereka saling menangis karena pembagian mainan yang menurut mereka tidak adil. Baru saja aku melepaskan satu persatu dari mereka untuk bersekolah di sekolah Mas Mardi dahulu dan memutuskan menikah setelah lulus dari sekolah.
Aku membuka kotak kayu yang dahulu menjadi sahabat Mas Mardi saat pikirannya buntu. Kuambil dua lembar daun siri. Diatasnya kutaruh sedikit gamping, gambir dan pinang muda. Lalu kubungkus sebelum kumasukkan kemulut untuk dikunyah. Terasa segar dengan tembakau yang digunakan untuk membersihkan gigi.
"mbok Mas Anjasmara tingkepan. Kita harus ke jogja." Beritahu putriku itu membuatku terperajat. Pulang kekampung halaman, masih adakah yang mengenaliku sebagai mantan Nyai yang begitu digilai oleh seorang serdadu belanda?.
Aku menganggukkan ajakan anakku itu. Meski badanku sudah renta tapi aku begitu ingin melihat anak dan cucuku, jika boleh hingga cicitku. Dengan bangganya aku akan menceritakan kisah heroik kakeknya yang dengan gagah berani menghempas pasukan belanda. Aku ingin menanamkan jiwa patriotic pada keturunanku, agar mereka bisa menjadi pribadi yang bersahaja dan tidak gentar menghadapi apapun. Perjalanan panjang kami tempuh dari batavia hingga yogyakarta, dimulai dengan kapal dan kereta kuda akhirnya kami sampai kota yang menyimpan banyak kenangan atas masa mudaku.
Anakku adalah seorang priyayi dengan jumlah sawah berhektar-hektar yang diwariskan dari mendiang kakeknya dahulu, kebanyakan semuanya berada didesa dimana masa mudaku banyak terukir. Banyak penduduk baru yang tidak mengenaliku, tak lupa aku mengunjungi rumah lama yang pernah kutinggali dahulu. Sudah banyak pemugaran yang terjadi, Pemiliknya yang baru adalah seorang kyai tersohor dari serambi mekah. Sepanjang perjalanan aku banyak bernostalgia dengan jalanan-jalanan yang begitu jelas terngiang diotakku.
Kami baru sampai di Jogja setelah 5 hari, sampainya-pun telah larut."bu istirahat dulu." Pinta Anjasmara membopohku untuk berbaring diranjang. Aku mengangguk, dengan manut aku menaruh punggung yang sudah linu semua diatas kasur. Sembari mengelus wajah anak lelakiku yang pertama yang begitu mirip wajahnya dengan Mas Mardi saat muda dahulu. "sing ati-ati lan waspodo yo le jadi menungso urip." Pesanku yang dibalas kecup kasih sayang dari anak mbarepku. Yang membawaku tertidur, memasuki alam mimpi yang membawaku menjadi muda kembali. yeah, tentu tidak mungkin. Karena tua itu adalah pasti.
Kukuruyuuuuuuukkk, petok, petok, petok.
Aku dibangunkan dengan ayam jago khas pedesaan yang jarang kutemui di batavia. Meskipun ada tapi suara kluruk ayam jago di desa lebih khas. Aku bangun dengan boyok yang terasa sakit, pelan-pelan aku keluar kamar. Dimana anak cucuku masih tertidur dikala adzan hendak berkumandang. Satu persatu kubangunkan mereka untuk menjalankan kewajibannya sebagai umat musim. Dengan kantuk mereka terbangun dan mengambil air Wudhu dan sholat.
"bu aku mau cuci baju dulu." Pamit Mantuku yang diikuiti oleh anak-anakku yang lainnya.
"ibu mau ikut." Pintaku.
"ih, nanti ibu kepleset disana licin." Goda Gumilar yang baru selesai mengaju.
"pokoknya ibu mau ikut." Paksaku yang diketawakan oleh anak, cucu dan cicitku.
Aku berjalan dengan dibopong Gumilar dan Gumitir. Ternyata suasana dipedesaan tidaklah banyak berubah dari terakhir aku meninggalkannya. Hanya saja sumber mata air sudah dipindah, sumur yang dahulu sering dipakai mandi sudah tidak memiliki mata air. Sekar Tanjung membantuku untuk mandi. Sedangkan yang lainnya mencuci pakaian bersama warga desa yang lainnya.
Hawa dingin begitu menusuk tulangku, sepertinya rematikku kumat karena mandi terlalu pagi. Badanku menggigil bukan main meskipun telah menggunakan kebaya uncem dan dibalut oleh jarik. Sepanjang jalan pulang aku bercerita tentang jalan-jalan yang menyimpan kenangan kepada anak dan mantuku serta cucu dan cicitku yang ikut. Aku ingat bahwa dahulu aku memiliki teman bernama Lasmini yang entah sekarang dimana rimbanya, saat aku melihat Loji suwung(kosong) memoriku terputar akan tempat prostitusi terbesar didesa dimana Nyai Juminem pernah berkuasa sebagai germo.
"Tuan Scmidthamer menutupnya." Ujar Anjasmara memberitahu. Bulu kudukku merinding, setelah sekian lama tak kudengar nama lelaki belanda yang gagah itu. Jantungku berdetak dengan kenjang hingga membuat kejang, kuakui kecepatan Jantungku yang berdenyut masih sama saat aku merasakan jatuh cinta untuk yang pertama kali.
"kenapa?" tanyaku penasaran.
"tidak banyak yang tahu tentang dia. Hanya orang tua yang pelit dan menyebalkan mungkin." Celetuk Laila mantuku, yang diketawakan oleh anak-anakku.
"apa dia masih hidup?" Tanyaku.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top