Dibawah Sinar Rembulan

Aku terbangun dari tidurku, suara tangisan seorang ibu membangunakan mimpiku. aku segera bangkit, dengan badan yang penuh memar sisa semala. Setelah mandia aku lekas berganti pakaian, segera aku mengikuti suara tangis yang begitu familiar ditelingaku. Suara tangis dari istri Kyayi rojiun, seorang ibu yang pernah menyayangiku.

Kedatanganku membuat tangisnya berhenti. Dia tengah bersimpuh bersama Kyai Rojiun dimana Freid duduk diatas sofa dengan segelas teh di tangannya. Wajah Freid begitu acuh seolah tidak memperdulikan Kyai Rojiun dan Umi. Aku segera terduduk untuk meminta kedua orang yang selalu aku hormati untuk berdiri.

"nduk mardi nduk" ujar Umi memelukku dengan tangis.

"masuklah Ranti ini bukan urusanmu" seru Freid.

Aku tidak menggubris. Aku tahu Freid memang sediki bermasalah dengan Mardi. Tapi tindakannya ini begitu kegabah. Yeah, Mas Mardi adalah seorang dari kaum intelektual yang lulus dari MULO. Seharusnya dia hidup enak menjadi pegawa pemerintah, tapi jiwa idealisnya membawanya bermasalah dengan para tentara belanda. Dia selalu menjadi biang kerok pemberontakan rakyat yang selalu membuat tentara belanda geleng-geleng kepala dengan apa yang dilakukannya. Keputusan terakhir yang kudengar dia akan dihukum pacung di lapangan banteng bila dia tidak mengucapkan maaf pada Freid dan menghentikan aksinya.

"nanti ranti urus ya Umi." menenangkan mereka berdua. Umi mengecup pipiku seolah mempunyai harapan besar kepadaku. Setelah itu mereka keluar dari loji kami.

"dimana Mas Mardi?" tanyaku kepada Freid yang naik pitam. Aku tidak menggubrisnya, bahkan aku tidak akan takut bila Freid akan meninggalkanku. Aku bahkan bisa menghidupi diriku sendiri. aku terbiasa untuk mengurusi kehidupanku sendiri.

"Freid" teriakku karena dia tidak menjawab. "baiklah, jangan menjawab. Biar aku mencari tahu jawabannya sendiri". ujarku melewatinya.

"jika kau maju satu langkah. Aku akan benar-benar meninggalkanmu" ancamnya.

"apa kau pikir aku takut ancaman itu?" tanyaku berteriak. Mata Freid terbelalak. "hey, aku bukan gundikmu. Kau tidak membyarku untuk menjadi gundikmu, aku melakukannya dengan suka rela. Ingat itu" omelku dengan berteriak kemudian melangkah pergi meninggalkannya dengan kesal.

Hari demi hari yang kulalui dengan Freid semkain tidak karuan. Kami sangat sering bertengkar untuk masalah-masalah sepele. Jujur saja, itu membuat cintaku terkikis. Ditambah dengan aku sering mendapatkan laporan dari Nyai Juminem bahwa Freid sering datang ke tempat prostitusinya dan pulang kerumah dilarut malam. Ketika aku bertanya kenapa, hanya pertengkaran yang terjadi diantara kita.

WANODYA KINUNJARA (Wanita dalam kurungan)

Kau menyangka telah arungi bahagia yang sejati
nyatanya kau menipu diri
Kau merasa telah bertahta sebagai parameswari
duh,
dirimu tak lebih hanya saluran berahi
Kemilau harta hanya bisa menebus kecantikan ragawi
tak kan sanggup memenuhi dahaga cinta suci
Lalu sanggupkah dirimu,
lebih lama berkubang dalam kurungan emas yang membelenggu ?
Lalu dimana kodrat insan merdeka
yang hanya pasrah pada agungnya cinta
Cinta bukanlah pacuan hasrat
atau keriap selaksa keringat
yang hanya sisakan luruhan
dan sesalan
Sambutlah diriku,
yang kan perlakukanmu,
sesuai kodrat sejatimu.
Tak kan kutukar raga dan jiwamu
hanya dengan tumpukan kepeng yang menipu
ini darah dan jiwaku
kan kuserahkan padamu

Aku ingat akan cerita damarwulan yang begitu kusukai dahulu, sebuah tembang yang begitu kusuka adalah WANONDYA KINUNJARA. Entahlah aku merasa bahwa hidupku semakin berantakan. Mas Dhanu datang kerumah ketika Freid sedang tidak dirumah, Mas Dhanu mengatakan bahwa kondisi ibu sudah tidak membaik. Bude Juariah menawari untuk datang ke bone, memang budeku itu adalah seorang kaya dengan sawah dimana-mana. Sistem tanam paksa membawa keluarganya untuk bertransmigrasi ke sana. Aku mengangguk, Mas Dhanu menawari agar aku ikut. Katanya ibu takut bila tidak bisa menemuiku diujung hidupnya.

Jujur ungkapan Mas Dhanu membuatku menjadi seorang anak yang begitu berdosa juga durhaka. Aku ingat betul keinginan ibu yang menginginkan aku menikah dengan seorang ahli agama agar kehidupan dunia dan akhirat ibu diberkahi. Aku hanya terdiam, menanyakan kabar Mas Mardi yang seolah tidak menemukan titik penyelesaian. Mas Dhanu berharap banyak agar aku bisa membebaskan Mas Mardi.

"Kyai Rojiun yang membiayai kapal ke bone." Ujar Mas Dhanu memberitahu.

"mereka tidak ikut ke bone?" tanyaku.

"tentu saja mereka ikut. Kyai Rojiun sudah tidak kuat menghadapi tekanan tentara belanda disini. Beliau sudah pasrah dan meninggalkan harta benda untuk Mardi. Kalau Mardi keluar ya berarti itu memang milik Mardi, kalau Mardi jadi dihukum pacung berarti harta bendanya jadi milik belanda" ujar Mas Dhanu aku mengangguk mengerti.

"aku akan berusaha keras untuk Mas Mardi." Ujarku meyakinkan.

Dua hari setelah Mas Mardi berpamitan kedua orang tuaku berangkat ke Bone. Freid melarangku untuk mengantar kepergian mereka. Tidak ada yang bisa kulakukan bila Freid sudah memerintah. Baginya kepergian orang tuaku adalah sebuah kabar baik, karena aku tidak lagi akan mengungkit masalah orang tuaku. Freid begitu senang bahkan ia sampai mengadakan pesta di Loji kami.

"apa bajingan itu melarikan diri?" ditengah Acara Freid terkaget. Aku yang menggandeng tangannya hanya bisa diam. "bagaiamana pecundang tolol itu bisa melarikan diri?" tanya Freid penuh amarah. Yang segera dilihati oleh orang-orang yang diundangnya dirumah.

"saya tidak tahu, sir" jawab tentara itu.

"bodoh. Aku tidak mau tahu, monyet itu harus segera ditemukan dan diadili. Sebelum dia membuat onar lagi" ujar Freid. Menggandengku ke sisi lain dari ruang pesta. Kami beridiri di sebuah jendela, menatap gemerlap bulan dan bintang bersamaan. Di tanganku sudah ada Wine begitu juga dengannya, kami memilih untuk duduk disana menjauh dari hiruk pikuk musik yang berdentum kencang.

"ada apa?" tanyaku menanyakan tentang raut Freid yang begitu stress.

"kau tahu aku mencintaimu?" tanyanya. Aku hanya mengangguk, hatiku sudah patah untuknya sejak pemerkosaan yang dilakukannya kemarin. Freid meraih tanganku lalu mengecupnya.

Semilir angin malam begitu dingin. Langit yang cerah dengan bulan dan bintang menambah suasana malam yang terasa syahdu. Freid melingkarkan tangannya yang membawa segelah Wine dileherku, kemudian mengecupnya dengan halus. "akhir-akhir ini, aku selalu takut kalau malam ini adalah malam terakhir kita."

"kenapa kau akan mencampakan aku? menjualku kepada hidung belang lainnya?" tanyaku menusuk.

Freid tersenyum. "bukan aku yang akan mencampakanmu tapi kamu yang akan mencampakan aku" ujarnya dengan canda.

"aku tidak akan menjualmu kepada gundik lainnya, tenang saja" jawabku meminum wine-ku. Freid tertawa dengan jawabanku.

"aku bukanlah seorang kaum intelektual di belanda. Juga bukan seorang yang terhormat disana. Ayahku bekerja sebagai tukang landai besi. Ibuku berjualan buah di pasar. Hidupku di belanda adalah serba kekurangan. Makanya ketika ada tawaran untuk menjadi tentara di Hindia Belanda aku langsung mengambilnya, yang pertama tentu saja karena gaji yang mereka tawarkan begitu besar" ujarnya, memulai cerita.

"saat aku berusia 15 tahun aku bertemu seorang perempuan yang usianya lebih dewasa dari aku. dia telah memiliki suami, suatu malam aku dan dia melakukan hubungan yang you know itu adalah kali pertama aku melepas keperjakaanku. Tak lama berselang, aku degar dia melahirkan seorang anak perempuan yang begitu mirip denganku. Suaminya tidak terima dan menghajar habis-habisan" kenangnya.

Aku tertawa. "berarti anakmu sudah besar sekarang."

"yeah kira kitra 6atau 7 tahun. Aku tidak pernah melihatnya, ayahnya menutup aksesku untuk bertemu dengan anakku. Tapi tidak masalah selama dia hidup dengan berkecupan dan tumbuh dengan baik. lagipula akupun tidak bisa membiayai kehidupannya meski aku telah menjadi jenderal governor di hindia belanda. tapi terkadang aku merindukannya, setiap kali aku merindukannya aku selalu menatap bulan. Berharap dia menatap bulan yang sama denganku" sambungnya.

"bagaimana jika aku hamil?" tanyaku menggoda.

Freid menatapku tajam. "kuharap tidak. Aku tidak mau membawa anak darah campuran pulang kembali kebelanda. Mau dikata-katai apa nanti aku dengan mereka" jawabnya membuat hatiku merasa tersinggung.

"aku hanya ingin bersamamu selama yang aku bisa Mooi Meisje. Mencintaimu seorang saja, tanpa membaginya kepada siapapun termasuk juga anak" ujar Freid membuatku mengangguk.

Aku mengangguk. Menagamati wajahnya di bawah siratan cahaya rembuland engan lampu yang redup. Dia adalah wajah yang ingin kuingat selalu. Aku berdiri didepan cermin setelah berpamitan untuk tidur. Freid dan kawan-kawannya akan bermain kartu hingga pagi. ketika aku bekaca, seseroang menyergapku dari belakang. Aku hendak berteriak, tapi mengetahui siapa gerangan yang menyergap aku mengangguk. Dia adalah Mas Mardi, dengan nurut aku mengikut langkahanya berjalan membawaku pergi dengan langkah yang hampir tidak terdengar.

Dibawah bersama dengan dua puluh orang lainnya, kami pergi meninggalkan Loji rumahku. memang aku yang membantu pembebasan Mas Mardi dan rekan-rekan pemberontak yang lainnya. Setelah lama aku berpikir rasa cintaku kepada Freid tidaklah sebesar cintaku pada bumi yang kupijak dan pada tuhan yang maha pecipta.

Sehari setelah Umi menangis di Loji aku segera mencari tahu keberadaan Mas Mardi yang ditahan di pencara bawah tanah. Untuk masuk kesana aku menggunakan uang yang ditinggalkan oleh kyai Rojiun. Ketika Freid berangkat kerja aku selalu mengunjungi Mas Mardi diam-diam Menyusun siasat agar Mas Mardi bisa lolos dari hukuman Pacung. Dan Pesta ini adalah salah satu rencanaku untuk mengalihkan perhatian Freid.

Aku dan pasukan Mas Mardi Ke Semarang dengan naik kereta. Satu gerbong telah kami pesan dengan penjagaan yang ketat. Mungkin kami akan sampai Dermaga saat hari menjelang subuh. Selanjutnya kami akan ke Bone dengan menggunakan Kapal yang langsung berangkat ketika kami sudah sampai disana.

Dua hari kami berjalan dengan kapal. Aku tengah bersandar pada sisi kanan Jembatan, ketika menatap Mas Mardi yang duduk bersama teman-teman lainnya seolah membicarakan tentang strategi. Dari sini Mas Mardi terlihat begitu pintar, juga tampan. Layaknya lelaki jawa pada umumnya, begitu berkarisma dengan tindak-tanduk yang begitu sopan. Berbeda dengan Freid yang selalu terkesan brutal dan grusa-grusu mengambil keputusan.

Aku menatap bulan, bulan yang pasti juga di tatap oleh Freid ketika dia merindukan anak gadisnya. Menatap bulan membuatku merindukan Freid. Tapi mau apa dikata, akupun tidak rela jika negeriku dijarah habis-habisan. Apalagi dengan mereka yang dengan angkuhnya mengatakan negeri inia adalah negeri para monyet. Jiwa patriotic-ku tidak pernah rela untuk mendengarkannya. Mungkin statusku hanyalah seorang Nyai, tapi jiwaku tetap sama pembela bangsaku.

Angin laut yang begitu sepoy menerpa dengan hangat. Mas Mardi mendekat kepadaku yang seorang diri bersandar pada balkon kapal. "akan ada perang besar-besaran sesampainya nanti kita di Bone" ujar Mas Mardi. Aku mengangguk Mas Dhanu telah memberitahukan itu kepadaku sebelumnya. Dan sakitnya ibu adalah kamuflase agar mereka bisa pindah ke Bone. Bagaimanapun kemarin Mas Dhanu berbicara di dalam Loji, dia tidak mungkin akan berbicara terang-terangan akan perang bone yang hendak terjadi.

Kenapa memilih bone karena disana kesadaran merdeka sudah terlebih dahulu terpupuk. Tidak seperti jawa yang masih bisa dinina bobokkan oleh serdadu belanda. Mas Dhanu dan Mas Mardi dan beberapa pemuda desa yang merupakan kaum Intelektual memutuskan untuk datang ke Bone dan menambah pasukan mereka. Dengan strategi yang mantap mereka yakin merekan akan menang telak dari tentara belanda, meskipun jumlah mereka tidaklah lebih banyak dari tentara belanda. Persenjataan para pejuang pribumi juga tidaklah secanggih senapan milik belanda.

"Ranti" panggil Mas Mardi. "aku masih menyimpan ini" ujar Mas Mardi, memberikana aku sekotak merah yang aku tahu itu berisi cincin.

"Mas Mardi tahu benar hatiku. Meskipun tidak lagi bersama Freid, hatiku tetap sama" ucapku. "dia orang yang aku cinta selamanya".

Mas Mardi tersenyum. "barikan hatimu untuknya, tapi berikan Napasmu untukku" pinta Mas Mardi membuatku tertunduk. Mas Mardi adalah orang yang sanagt diinginkan ibu untuk menjadi menantunya, sudah cukup banyak dosa yang kuberikan pada Ibu. aku tidak akan egois untuk itu.

"tapi aku bukanlah orang baik" ujarku.

"aku tidak peduli. Itu hanya tanggapan orang saja atas kesalahan yang pernah kau perbuat. Tapi selebihnya aku tahu bagaimana kamu" ujarnya membuat hatiku gundah.

"tapi kau bukanlah orang yang pertama merasakan kehormatanku Mas".

"sudah aku katakan aku tidak peduli. Aku mungkin tidak menjadi yang pertama bagimu, tapi aku berharap aku bisa menjadi yang terakhir bagimu" ujar Mas Mardi penuh penekanan meskipun di tidak menghdapku. Dia menatapku tapi tubuhnya bersandar pada balkon dengan kedua siku yang menjadi topangan badannya.

Aku mengangguk. "jadilah pemenang di perang Bone. Lalu curi aku dari bapak ibuku" ujarku. Mas Mardi-pun tersenyum.

Aku menarik napasku panjang. Aku mungkin bisa melepas belenggu penjajahan Freid, seseorang yang selalu melarangku melakukan apapun yang aku suka. Melepaskan Seseorang yang dengan romantisnya akan menciumku atau hanya sekedar menggenggam tangaku. Namun apa yang bisa kita lakukan, bagi dua anak adam dan hawa yang begitu berbeda. Cepat atau lambat Freid akan meninggalkan aku untuk pulang kembali ke negaranya, dan aku tidaklah pernah siap untuk di tinggalkan seperti itu.

Tuhan, aku berdoa untuk bahagianya. Pertemukan dia dengan orang yang tepat, seperti engkau menemukanku dengan orang yang tepat.meskipun kami tidak bisa bahagai bersama sebagai kita, tapi setidaknya dia dan pasangannya serta aku dan pasanganku bisa bahagia selamanya.

*****************************************************

dan ini adalah yang harus di publish tanggal 15 juni kemarin. hehehe, maaf ya telat. :)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top