88. Dedi yang Malang




Dengan nanar, Wina memandang suaminya masuk ke kamar lalu merebahkan diri di kasur. Ia sudah susah-susah minta cuti untuk menenangkan diri. Sekarang, alih-alih mendapatkan ketenangan, justru masalah lama datang.

"Win!" panggil Dedi dari dalam kamar.

"Apa?" jawabnya dari ruang tengah.

"Kenapa AC-nya mati?"

"Masa, sih?"

"Coba kamu lihat sendiri kalau nggak percaya."

Tanpa curiga, Wina masuk ke kamar. "Mana remote-nya?"

"Nih!" kata Dedi seraya mengulurkan benda berbentuk batang berwarna krem.

Tanpa menyadari bahaya yang mengancam, Wina mengambil remote dari tangan Dedi, lalu berbalik untuk menyalakan pendingin ruangan. Karena melakukan itu, posisi tubuhnya menjadi membelakangi suaminya. Dengan gerakan cepat, Dedi mendekap dan mengunci tubuh Wina. Dibawanya rebah ke kasur.

"B-Baaanggg? Mau apa kau?" Wina berusaha melawan, namun kekuatan Dedi bukan tandingan. Mulutnya dibekap sehingga teriakannya tertahan.

"Hmmmmphhh!" Wina menendang, menggeliat, serta meronta sekuat tenaga. Di satu saat, Dedi lengah. Sebuah tamparan keras membuat pipi lelaki itu panas dan kepalanya pening.

"An-jiiiing! Perempuan jalang! Kurang ajar kau!" Dedi kalap mendapat perlawanan itu. Sebuah pukulan keras di wajah membuat Wina lemas dan pusing. Ia nyaris pingsan. Suaminya bergerak cepat. Ia mengambil kain dari lemari lalu mengikat tangan serta kaki istrinya ke ranjang.

"M-mau apa kau?" Mata Wina menjadi awas saat menyaksikan Dedi melucuti bajunya satu demi satu. Ia berontak, namun tak bisa berbuat apa-apa dan akhirnya tergolek tanpa busana.

Dedi pun turut melepaskan baju dan celana. Setelah itu, ia menurunkan wajah hendak mencium bibir seksi istrinya. Wina yang merasa jijik meludah hingga mengenai mata lelaki itu. Tentu saja Dedi murka. Segera disumpalnya mulut perempuan itu.

Kini Dedi leluasa menjamah istrinya tanpa gangguan. Ia menyeringai. Tangannya merayap dari ujung kaki Wina secara perlahan. Tubuh itu benar – benar molek. Setelah berbulan -bulan berpisah rumah, ia sangat merindukannya! Tangan yang panas itu bergerak semakin ke atas, menyusuri kaki jenjang yang putih. Perlahan-lahan, hingga berhenti di pangkalnya.

Seluruh tubuh Wina menggigil karena sentuhan itu. Ia tahu apa yang akan dilakukan lelaki itu. Karena menderita gangguan seksual, Dedi menggunakan segala cara untuk memasuki dirinya. Bila hanya jari, ia masih bisa menerima. Akan tetapi, benda-benda lain pun turut digunakan! Agaknya lelaki itu baru bisa mencapai kenikmatan dengan menyaksikan penyiksaan yang ia lakukan pada organ vital istrinya.

Wina mengerang menahan nyeri. Sementara suaminya, mengerang karena merayap menuju puncak kenikmatan dengan mengacak kasar lubang istrinya dengan jari. Tak lama kemudian, gigi dan lidahnya menggantikan jari. Sesudah itu, biasanya Dedi akan menggunakan benda-benda keras yang lain.

Wina hanya sanggup menangis tanpa suara saat Dedi melakukan keinginannya. Lelaki itu akhirnya mengejang disertai lenguhan keras. Sesaat kemudian, ia melemas dan ambruk di sisi istrinya. Ia terbaring di sana dengan napas terengah-engah dan senyum kepuasan.

Setelah menguasai diri kembali, Dedi duduk di samping ranjang dengan wajah dingin. "Itu untuk kenakalanmu memasukkan dukun sialan itu pagi-pagi."

Wina meronta.

"Capek ya, disumpal begitu? Sesakkah?" tanya Dedi lembut seraya membelai pipi sang istri. "Aku buka, ya? Tapi jangan bawel. Janji?"

Wina mengangguk. Dedi tersenyum senang. Dilepasnya sumpalan mulut dan langsung mengunci bibir perempuan itu dengan pagutan.

"Gimana, belum puas kan denagn yang itu tadi? Kita mulai lagi ronde kedua, ya."

Dengan sangat kesal, Wina meludahi wajah tampan itu. Sontak, kemarahan Dedi terbakar. Matanya nyalang menatap Wina.

"Heerrggh! Set-aaann kauuu!" Mata Dedi yang semula hitam, kini menyala merah.

Wina terkesiap. Mata merah menyala itu membuatnya sadar bahwa bukan Dedi yang berada di hadapannya ini. Belum sempat bereaksi, sebuah pukulan keras mendarat di kepala. Ia tergeletak tak berdaya.

Dedi belum selesai. Ia segera mengenakan baju. Kali ini, tekatnya telah bulat untuk menghukum perempuan nakal itu. Ia pergi ke belakang untuk memotong tali jemuran. Dengan tali itu dijeratnya leher Wina hingga lemas.

Di antara hidup dan mati itu, sebuah bayangan putih datang. Dedi diterjang. Sosok perempuan berjubah hitam dan bertanduk keluar dari tubuhnya. Sosok itu melesat pergi dengan cepat. Naga putih mengejar, namun sayang, sosok itu berhasil lolos.

Sementara itu, di kamar Wina, Dehen memeriksa wanita malang yang tergolek tanpa busana dengan kemaluan mengeluarkan darah dan tali jemuran terikat di leher. Wina sudah tak bernapas. Sedangkan Dedi masih terduduk lunglai dengan tatapan kosong.

Dehen melepaskan tali itu dengan cepat dan menutupi tubuh Wina dengan selimut. Ia berteriak memanggil tetangga untuk membantu. Berbagai minyak dan olesan diberikan pada kepala Wina. Jantungnya bisa berdetak kembali. Ia sempat dilarikan dengan mobil ke IGD. Sayang, napas Wina tak pernah kembali. Sampai di IGD, jantungnya sudah berhenti berdetak.

Dehen menyesal. Ia terlambat beberapa detik. Andai ia mendapat firasat lebih cepat, barangkali Wina selamat. Dengan kejadian ini, mereka harus lebih waspada. Siapa tahu, gangguan ini sengaja dibuat untuk mengacaukan pelatihan Jata.

Dehen menunggu di rumah Wina hingga Dedi diamankan. Ia juga meninggalkan naga untuk menjaga hingga penguburan Wina selesai dilaksanakan. Jangan sampai Dedi ikut meninggal untuk menggenapi pasangan korban ke-99. Bila salah satu telah dikubur, mereka tidak bisa menjadi pasangan korban.

Sekonyong – konyong, sesuatu membuatnya khawatir. Firasat itu datang lagi. Ia dan Jata tadi sama - sama merasakan kejadian buruk tengah menimpa Wina. Jata sudah ingin mengakhiri meditasi untuk mengecek perempuan itu. Ia mencegah. Walau kemampuannya maju dengan pesat, Jata belum kuat untuk menggunakan tenaga terlalu banyak. Terutama karena tubuh fisiknya belum sepenuhnya beradaptasi dengan kekuatan baru itu.

Dehen segera kembali ke rumah Jata. Tidak ada siapa - siapa di sana. Dengan panik, ia mengerahkan naga untuk mencari. Begitu tahu keberadaan Jata, ia segera menyusul ke sana.

Apa yang ditakutkan pun terjadi. Jata telah bertempur dengan Kalila dan tersungkur. Ia segera membawa lelaki itu ke danau.

"Tunggu di rumah," katanya pada Puput dan Deka sebelum berangkat.

☆☆☆

"Cakra - cakramu melemah," gerutu Dehen sambil menyalurkan energi melalui punggung Jata. Mereka berada di danau para jata, di bawah langit kuning dan awan putih berkilau.

Jata cuma meringis kesakitan. Ia tidak bisa berdiam diri mengetahui Asrul nyaris mati. Dilanggarnya peringatan Dehen untuk tidak pergi.

"Energi nagamu baru sampai pertengahan punggung. Tubuh fisikmu belum siap untuk mengerahkan tenaga sebesar itu bersamaan. Sekali lagi kamu langgar, nyawamu taruhannya. Nggak kasihan sama istrimu? Kamu nggak lihat dia nyaris pingsan tadi?"

Jata cuma bisa mendengarkan omelan sepanjang abad itu. Dia dilarang bicara.

"Jadwal kita tertunda tiga hari gara-gara harus menyembuhkan luka dalam ini. Habis ini kamu istirahat total di rumah. Biar kusuruh Puput dan Deka mengawasi kamu."

Menjelang pagi mereka baru kembali. Jata dipapah masuk ke kamar. Saat itulah ia diberi tahu bahwa Wina telah tiada.

"Pemakamannya besok, Kak," kata Puput dengan suara lirih seraya mengelus punggung suaminya.

Seluruh tubuh Jata serasa lunglai. Ia tidak tahu mengapa merasa kehilangan. Barangkali karena rasa berdosa telah membuat perempuan itu terlibat. Barangkali pula karena tidak bisa menyelamatkan dia tepat waktu. Bisa juga karena sejarah panjang yang mereka lalui bersama. Apa pun alasannya, hatinya memang kehilangan Wina!

Puput merapat untuk memeluknya. Kehangatan itu membuat Jata seolah masuk ke dalam bungker perlindungan yang aman. Segala benteng pertahanannya runtuh. Ia tak sanggup menahan diri.

"Put, kamu marah nggak kalau aku kepingin nangis?" rintihnya.

Puput memeluk lebih erat. "Nggak Kak. Aku tahu kok yang kamu rasakan. Nangis aja kalau mau nangis."


☆Bersambung☆

Buat yang nggak sabar nungguin apdetan, langsung cuuus aja ke Dreame/Innovel. Cerita ini udah tamat di sana. Sobat bisa memanfaatkan koin gratis di aplikasi itu.

Selamat maraton!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top