87. Wina yang Malang




Wina termangu di rumahnya yang sepi di sebuah daerah perumahan di Banjarbaru. Ia hanya tinggal sendiri di rumah dua lantai itu. Dulu, ia memiliki pembantu yang menginap. Setelah tahun lalu, si bibi pulang kampung dan tidak kembali lagi. Setelah itu ia malas mencari pembantu. Lagi pula, ia cuma sendiri. Baju, bisa dilaundri. Mau makan, banyak warung dan bisa pesan lewat ojol[1].

Ia mengajukan surat pengunduran diri kepada atasannya tadi pagi. Dalam pemahamannya, semakin ia jauh dari Jata, akan semakin baik. Siapa tahu, lari ke pulau lain bisa menghentikan kutukan neraka ini. Selain itu, ia juga ngeri dengan Dedi yang ternyata bisa menembak orang bila sudah kalap.

"Buat apa kamu berhenti? Apa nggak sayang, Win? Masuk ke sini tuh nggak gampang," protes Pak Manajer.

"Saya sudah nggak nyaman kerja di sini, Pak. Boleh nggak boleh, saya tetap minta berhenti." Sudah bulat niat Wina.

Pak Manajer hanya bisa mengembuskan napas panjang. Ia akan kehilangan pemandangan indah yang menyambut setiap keluar dan masuk kantor.

"Gini aja, deh. Jangan minta berhenti, minta mutasi aja. Saya dengar kantor Palangka Raya sedang membutuhkan tenaga admin. Kamu mau ke sana?"

Wina mengangguk. Di sana, ada keluarga besarnya. Semoga saja kondisinya menjadi lebih baik. "Saya perbaiki dulu suratnya, Pak. Dan kalau boleh, saya minta cuti satu minggu untuk menenangkan diri."

Pak Manajer mengabulkan permintaan cuti itu. Wina bisa bernapas dengan lega dan beristirahat di rumah. Ia benar- benar tak punya nyali untuk datang ke kantor. Bagaimana bila kabar kejadian memalukan sore itu telah menyebar? Oh, ia belum sanggup menghadapi tatapan menghakimi orang-orang. Jangankan menghadapi orang-orang, menghadapi dirinya sendiri pun ia tak sanggup. Setiap bercermin, ia hanya melihat perempuan kesepian yang haus nafsu.

"Pindah aja ke rumah Papa sementara," ujar Dirman saat tahu menantunya seganas itu. "Papa baru tanya ke saudara di Kalteng, sebaiknya bagaimana untuk menyembunyikan kamu sementara. Mereka baru mencari tempat untuk menampung kamu."

"Iya, Pa. Aku udah kemasi baju dan barang - barang penting."

"Bagus. Nggak usah dipikir soal kerjaan. Kamu cantik dan pintar, pasti bisa dapat kerjaan lain."

"Iya, Pa," jawab Wina lemah. "Nanti malam aku ke rumah Papa." Ia sebenarnya berat meninggalkan Banjarmasin. Bukan hanya merasa sayang melepaskan pekerjaan, terlebih lagi karena ada seseorang yang membutuhkan dirinya saat ini.

Hanya Billy yang mengerti dirinya. Namun lelaki itu tengah lumpuh tak berdaya setelah kecelakaan di Aranio. Saat ia jenguk di rumah sakit kemarin, lelaki itu sudah bisa berbicara walau tidak jelas dan pelan. Tangannya bisa bergerak walaupun lemah. Namun kaki dan bagian tubuh lain sama sekali lumpuh.

Kondisi rumah tangga Billy juga memprihatinkan. Hanya pembantu yang menunggui. Istri dan ketiga anaknya entah pergi ke mana.

"Istriku minta cerai," bisik Billy. Tangannya menggapai ingin duduk. Wina membantunya duduk. Sambil melakukan itu, ia menangis. Billy masih setampan dulu. Tapi melihatnya tak berdaya seperti itu, hatinya seperti diiris.

"Hati-hati. Mereka mengincar kamu. Menjauhlah dari Jata segera," bisik Billy.

Wina menangis. Ia menceritakan kejadian sore itu. Billy hanya bisa menggelengkan kepala.

"Ilmuku sudah hilang semua diambil makhluk itu, Win. Aku nggak bisa membantu kamu lagi. Tapi aku yakin yang terjadi sama kamu itu akibat ulah makhluk itu."

"Aku harus gimana, Bil?" ratap Wina.

"Pergilah jauh, sejauh yang kamu bisa. Jangan mikirin Jata lagi. Orang itu cuma mendatangkan malapetaka buat kamu. Sadar, nggak?"

Wina tergugu. " Entah kenapa aku nggak bisa jauh dari dia, Bil. Aku sudah gilakah?"

"Iya, kamu gila!" rutuk Billy.

Mereka berbicara banyak saat itu. Bagi Wina, Billy satu-satunya orang yang bisa memegang rahasia. Seorang teman yang mau mendengar kisah tergelap dan terliar tanpa memandang rendah dirinya. Ia enggan pergi dari sisi Billy.

Sebaliknya, Billy diam-diam merindukan Wina. Namun, ia tak punya cukup nyali untuk menyatakan terus terang. Ia sudah beristri, Wina sudah bersuami. Dalam pikiran perempuan itu, hanya ada Jata dan Jata. Dirinya tak pernah dianggap lebih dari sekadar teman curhat. Ia keranjang sampah, bahkan sapu untuk membersihkan kekacauan yang ditimbulkan akibat kenakalan perempuan itu di luar rumah.

"Mau kutemani malam ini?" Wina menawarkan diri.

Mata Billy melebar. "Mau banget. Aku nggak bakalan dilabrak suamimu, kan?"

"Ah, biar aja dilabrak. Aku nggak peduli. Aku ambil baju ganti dulu, ya?"

Wina hendak pergi. Tangan Billy yang lemah menahan tangannya, mengelusnya lembut dengan ibu jari. Lelaki itu menatap dengan binar yang asing.

Wina tertegun. Baru kali ini ia menyadari hati Billy yang sesungguhnya. "Bil, kamu?"

Billy melepaskan tangan dan mengangguk. "Iya, Win. Aku keterlaluan, ya?" ujarnya dengan sangat malu. Biarlah. Apa gunanya menahan gengsi saat ini? Toh ia memang membutuhkan Wina.

Entah mengapa, hati Wina menghangat karena sentuhan dan tatapan itu. Ia benar-benar malas pergi. Digenggamnya tangan Billy. Diciumnya hangat. Ia baru tahu bahwa hatinya menyayangi lelaki ini. Biarlah yang terjadi nanti terjadilah. Ia sudah merasa cukup dengan Jata dan Dedi. Bila ada masa depan bersama lelaki ini, ia tidak keberatan untuk mencoba. "Aku sayang kamu," bisiknya di telinga lelaki itu.

Mengingat pertemuan dengan Billy itu, Wina mendesah di depan cermin. Sungguh, bila tidak bertemu Billy kemarin malam, barangkali ia sudah bunuh diri karena tak kuasa menahan malu.

Wina merapikan dandanan. Ia akan menemani Billy kembali. Saat berdiri untuk mengambil kunci mobil, seseorang mengetuk pintu. Dari jendela kamar, Wina tahu lelaki berkulit sawo matang berwajah manis walau agak botak itu Dedi, suaminya.

"Abang mau ngapaiiiin? Aku takut kamu bawa pistol lagiiii!" pekik Wina dari dalam rumah tanpa membukakan pintu.

Dedi pergi ke depan jendela, lalu membuka baju. "Nih lihat! Aku nggak bawa apa-apa. Pistolku kan ditahan keamanan PLTA!"

"Lalu Abang mau ngapaiiiin? Aku takut sama Abang!"

Dedi mengangkat kotak kue yang terbuat dari plastik. "Mama bikinin kamu lapis legit. Nih, lihat!" Tangan Dedi mengangkat kotak itu mendekat ke kaca jendela.

"Masa?" Wina mengintip kue itu dari balik tirai. Walau bawel tingkat dewa, mama mertuanya memang jago membuat lapis legit. Dan, karena proses memasaknya membutuhkan kesabaran dan ketelitian, mau tak mau hati Wina luluh. Pintu pun dibuka. Pengusaha mebel berusia lima puluh tahun itu pun menerobos masuk.

"Mau apa lagi, Bang?" tanya Wina galak walau kuenya ia terima dengan senang hati.

"Galak amat. Aku pulang ke rumahku sendiri. Kenapa pakai ditanya mau apa?"

Wina terdiam. Rumah itu memang rumah suaminya sebelum mereka menikah.

"Kamu kan udah menggugat cerai," balik Wina.

"Aku berubah pikiran. Aku nggak mau cerai."

"Hah? Enak aja!" protes Wina.

"Emang rujuk itu enak. Yang nggak enak itu cerai." Santai tanpa emosi kalimat itu dituturkan Dedi.

"Kamu masih suka sama perempuan mandul kayak aku? Gimana keluargamu?"

"Ah, aku malas mikir. Aku mau tidur siang. Capek."

Dengan nanar, Wina memandang lelaki itu masuk ke kamar lalu merebahkan diri di kasur. Ia tidak tahu sederet makhluk berjubah hitam dan bermata merah menyala telah berderet di luar rumah.

///////////////////////

[1] Ojol = singkatan gaul untuk ojek online

Buat yang nggak sabar nungguin apdetan, langsung cuuus aja ke Dreame/Innovel. Cerita ini udah tamat di sana. Sobat bisa memanfaatkan koin gratis di aplikasi itu.

Selamat maraton!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top