85. Kekecewaan Fitri
Kondisi Asrul terus membaik dari hari ke hari. Saat ini, pemuda itu telah diperbolehkan meninggalkan ICU untuk melanjutkan penyembuhan di ruang perawatan biasa. Ia juga sudah belajar duduk dan bergerak. Cedera kepala yang dialami tidak menimbulkan perdarahan, hanya memar otak saja, sehingga cepat pulih. Dengan istirahat dan latihan fisik yang tepat, beberapa hari lagi ia diperbolehkan rawat jalan.
Asrul beruntung. Walaupun mengambil kelas 2 sesuai plafon BPJS-nya, ruang perawatan yang berkapasitas tiga orang itu hanya diisi dirinya seorang. Padahal di hari – hari lain, bed - bed itu tidak pernah kosong. Ia merasa menikmati fasilitas kelas 1 saja.
Siang ini, Ibu Asrul tengah berada di ruang itu. Perempuan itu semakin kurus akibat musibah yang menimpa sang putra. Setelah Asrul keluar dari ICU, kondisi ibu malang itu turut membaik. Ia bisa makan dengan lalap.
"Mama sudah bernazar," ujar perempuan itu seraya memotong apel yang dibawa oleh teman-teman Asrul.
"Nazar apa Ma?" tanya Asrul. Mulutnya berdecak-decak mengunyah potongan buah.
Ibunya mendongak dan menatap dengan lembut. "Mama berjanji, kalau kamu sadar, Mama akan memberitahu siapa ayah kandungmu," katanya dengan suara setengah ragu.
Asrul sontak menghentikan kunyahan dan mendengarkan dengan saksama.
"Mama harap, kamu jangan kecewa. Mama memang bersalah. Bukan niat ayahmu meninggalkan kita. Dia memang bukan milik Mama. Mama yang berdosa telah menggunakan ilmu hitam untuk mendapat cintanya. Tapi kamu tahu, pengaruh ilmu hitam itu tidak langgeng. Suatu saat istri sah ayahmu tahu, dan sangat marah. Ia mengirim balasan. Ayahmu terlepas dari pelet, lalu meninggalkan Mama. Dia tidak pernah tahu punya kamu."
Asrul terbelalak. Ternyata benar tuduhan orang-orang bahwa ibunya merebut lelaki orang. "Ma? Kenapa Mama melakukan hal konyol gitu?"
Ibu Asrul menangis. "Mama tergiur ketampanan dan uang, Asrul. Mama tidak tahu agama. Mama mengikuti cara pintas yang dilakukan orang-orang."
Asrul bagai ditampar sandal dan segera membuang muka. Berat rasanya menerima bahwa dirinya anak hasil perselingkuhan. Akan tetapi, ia harus bagaimana? Wanita ini adalah ibu yang telah melahirkan dan membesarkannya dengan susah payah.
"Itulah kenapa Mama tidak pernah minta pertanggungjawaban. Mama takut keluarga istri ayahmu akan mencelakai Mama atau kamu dengan ilmu hitam."
Asrul merebahkan diri dengan perasaan berkecamuk. Ia tidak tahu lagi harus bereaksi apa menghadapi kenyataan riwayat hidupnya yang aneh.
"Kamu mau memaafkan Mama, Srul?" tanya ibunya dengan suara pedih. "Kalau tetap marah pun Mama terima, Nak. Kamu memang berhak marah pada Mama."
"Sudahlah, Ma! Jangan menangis terus! Aku pusing!" sentak Asrul sambil meletakkan piring apel di nakas dengan kasar.
Ibu Asrul mengeluarkan sebuah foto lama lalu memberikannya kepada Asrul. "Ini ayahmu. Nama lengkap, tanggal lahir, dan alamatnya dulu ada di situ. Mama nggak tahu, apa masih tinggal di tempat yang sama. Setelah berpisah, kami putus kontak."
Asrul memandang sejenak wajah lelaki itu. Memang benar ayahnya sangat tampan. Ia mewarisi hidung mancung dan rambut ikalnya sedangkan bentuk mata dan warna kulit ia dapatkan dari sang ibu. Asrul tidak tahu harus bersikap bagaimana terhadap lelaki ini. Dahulu ia membencinya hingga ke ubun-ubun. Setelah pengakuan sang ibu tadi, ia tidak bisa membedakan siapa yang benar dan siapa yang salah. Dilemparnya foto itu ke nakas. Sayang, lemparannya meleset. Foto itu jatuh ke lantai.
Ibu Asrul memungut foto lalu menyimpannya dalam laci nakas. Ia tak dapat melakukan yang lain selain menyeka air mata dan duduk diam di samping pembaringan putranya.
☆☆☆
Rupanya perasaan Asrul terus diganggu hari itu. Saat jam besuk tiba, Fitri datang berkunjung. Tahu gadis itu ingin berbicara berdua dengan putranya, ibu Asrul meninggalkan mereka. Ia pergi membeli makan siang.
"Fit?" sapa Asrul. Sengaja suaranya dibuat datar. Padahal ia setengah mati menahan rindu.
"Asrul? Kamu keberatan aku datang?" tanya Fitri setelah meletakkan buah tangan di nakas.
Asrul diam saja.
"Nggak papa, kok. Kalau kamu keberatan. Aku nggak akan lama." Fitri menunduk sebentar untuk menguatkan hati. Berat sekali rasanya untuk berbicara dengan orang yang pernah mengisi hatinya ini.
"Aku nggak papa kok, Fit," jawab Asrul dengan suara serak. Sakit juga hatinya melihat Fitri terdiam begitu.
"Aku mau nanya sesuatu ke kamu. Tolong kali ini kamu jawab dengan jujur, ya," kata Fitri perlahan. Matanya begitu mendamba sehingga Asrul merasa iba.
"Ngomong aja, Fit. Jangan sungkan," kata Asrul kemudian.
"Aku ... aku kepingin tahu, apa kamu masih mau melanjutkan hubungan kita?" tanya Fitri dengan suara lirih dan penuh keraguan.
Asrul kaget ditanya masalah berat dengan mendadak begitu. "Aku belum bisa mikir apa-apa, Fit. Aku kan masih dalam masa penyembuhan."
Fitri tertunduk kembali. "Aku tahu. Aku cuma ingin tahu. Kalau kamu nggak mau jawab sekarang, nggak papa, kok."
Asrul merasa Fitri pasti mengalami sesuatu sehingga nekat menanyakan hal seserius itu walau tahu dirinya masih dirawat. "Kamu kenapa? Ada masalah apa?"
Fitri menggeleng. "Nggak papa. Kamu cepat sembuh, ya?" Keduanya terdiam dengan pikiran masing-masing sesudah itu.
"Apa orangtuamu mau menerima aku yang sudah kena kasus percobaan pemerkosaan dan sudah membatalkan lamaran?" tanya Asrul tiba-tiba dengan nada pilu.
Mata Fitri mulai memerah. Ia menunduk untuk menghindari tatapan Asrul. "Yang mau menikah itu aku, Srul. Aku akan ikut apa katamu. Kalau kamu masih mau denganku, aku akan ikut kamu."
Asrul mendesah. Itu artinya tak ada kata maaf dari orangtua Fitri. Ia bisa memahami mengapa mereka begitu.
"Tapi kalau kamu nggak mau nerima aku...." Fitri tak sanggup melanjutkan kata-kata.
"Aku nggak mungkin membuatmu menjadi anak durhaka," kata Asrul datar.
Fitri terkesiap. Hatinya nyeri mendengar itu. "Aku cuma mau tahu, kamu masih sayang sama aku atau enggak?" bisiknya. Air mata menetes satu per satu ke pipi.
"Kalau kubilang sayang pun, apa gunanya sekarang?" sentak Asrul.
Fitri kehilangan kesabaran. "Asrul, jawab yang jelas! Kamu cinta aku atau enggak?" pekiknya.
Asrul kaget dengan reaksi histeris itu. "Iya, aku cinta kamu, Fitri! Kenapa teriak begitu?"
Tangis Fitri mereda. Seulas senyum tersungging di bibirnya. "Kalau gitu, aku mau batalin perjodohan yang diatur Papa dan Mama."
"Hah, perjodohan? Dengan siapa kamu dijodohkan?" tanya Asrul hati nyeri.
Fitri mengangkat bahu. "Cuma kenalan pamanku."
"Kamu serius? Orangtuamu menjodohkan kamu?"
Fitri mengangguk. "Setelah kamu membatalkan lamaran, mereka murka. Lalu mereka meminta semua saudara mencarikan pasangan buatku. Dan mereka berhasil. Ada salah satu teman paman yang mau dikenalkan. Kami sempat ketemu. Aku langsung bilang kalau aku udah nggak suci. Dia nggak keberatan."
Asrul mendengarkan dengan hati tersayat. Ternyata ada lelaki baik hati yang menerima Fitri apa adanya. Ia malu sekali. "Nggak papa, terima saja dia, Fit," katanya kemudian.
"Kok gitu? Kamu masih cinta aku, kan?" Fitri tak mengerti.
Asrul membisu. Entah apa yang terjadi dalam dirinya. Ia mencintai Fitri, itu pasti. Namun, untuk menikahinya setelah semua peristiwa itu? Ia enggan. Entah enggan karena apa. Mungkin benar dirinya pengecut, tidak berani menerima bahwa lebih rendah dari orang lain dan memilih lari menjauh.
"Asrul, aku serius. Kamu mau nikah sama aku atau enggak?"
Asrul bungkam.
Hati Fitri yang sempat berbunga-bunga, kini bagai disayat sembilu. "Kenapa kita jadi begini sih, Srul? Aku sayang kamu. Kamu juga begitu. Lantas apa yang menghalangi kita? Soal orang tua, kita bisa membujuk mereka pelan-pelan."
Asrul membuang muka. Ia tidak mau bicara sama sekali. Entah mengapa, Fitri menjadi sangat marah. Ia menatap Asrul dengan tatapan tajam.
"Kalau begitu, mulai saat ini kita musuhan, Srul! Aku benci kamu, benci banget!"
Asrul kaget. Mata Fitri berkilat kemerahan. Asrul panik. Jangan-jangan makhluk yang merasuki Puput dulu sekarang merasuki Fitri. "Fit? Sadar, Fit! Kamu kenapa?"
"Aku benci kamu Asruuuuul!" pekik Fitri. Detik berikutnya tangannya mencekik leher Asrul dengan sangat kencang.
=== TBC ===
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top