84. Makam
"Mertuaku tidak bisa datang, Deka. Kamu sudah tahu?" kata Puput di hari ketiga tinggal di rumah Deka. "Para tetua di sana melarang Papa datang karena peristiwa kerasukan kemarin. Mereka khawatir kalau Papa justru akan melukai Kak Jata."
Deka menyahut, "Syukurlah kalau begitu. Para tetua itu benar. Bila pernah sekali kerasukan, artinya aura kita bocor. Sekali bocor, berikutnya akan mudah untuk kerasukan kembali."
"Berarti aku bisa kerasukan lagi, Ko?" tanya Urai.
"Jelas!" jawab Deka dengan ketus. Sontak, ia dibalas dengan cibiran panjang. Deka kesal dibalas seperti itu. Ia membelalak. "Apa? Ikutan nimbrung aja! Sana, balik ke kamar, bikin skripsi! Kalau nggak lulus-lulus, siapa yang mau nikah sama kamu?"
Mata Urai melebar seketika. "Siap, Bos!" Kaki kecilnya bergegas pergi menaiki tangga.
"Kalau aku, apa auraku juga bocor?" tanya Puput dengan cemas.
Deka memejamkan mata. "Hmm, iya. Auramu bocor, bahkan jiwamu disegel oleh mereka. Itulah mengapa kamu nggak bisa menyeberangi Sungai Barito, karena sungai itu batas wilayah kekuasaan mereka."
Puput melengos dengan wajah muram karena jawaban itu. "Aku bakalan nyusahin kamu lebih lama," ujarnya pedih.
Sebenarnya Deka tuan rumah yang menyenangkan. Mereka cepat akrab layaknya sahabat. Namun, bila boleh memilih, Puput lebih senang tinggal di rumah walau harus sendirian.
Deka mengangguk dengan mulut manyun. "Iya, kamu akan merusuh di rumahku seminggu penuh."
"Dih, masa aku merusuh? Tuh, rumahmu bersih dan rapi. Tiap hari aku belanja dan masak buat kamu, gratis!"
Deka terkekeh. "Ada untungnya. Kita bisa menyelidiki kasus ini dengan lebih leluasa. Ya, kan?"
Puput mengangguk. "Kita mau ke mana?"
"Firasatku bilang, kita harus ke kuburan. Nggak tahu kenapa."
"Kuburan mana?"
Ternyata Deka mengajak Puput ke pemakaman umum di daerah Kayu Tangi. "Pemakaman ini terus-menerus muncul di otakku," jelas Deka.
"Aku merinding, ih!" Puput mengelus kedua lengan atasnya. "Kalau makhluk itu ngikuti kita sampai ke sini gimana?"
"Tuh, ada naga putih jagain kita. Sementara ini aman. Lagian, makhluk itu sedang sibuk mempertahankan gerbang. Kamu tahu, sebagian pasukan dari dimensi para jata sudah datang di Riam Kanan."
"Kok nggak meletus perang padahal udah sebelahan gitu?"
"Mereka beda dimensi. Biar duduk satu kursi pun, kalau berbeda dimensi, nggak akan bertemu."
"Mereka nunggu apa?"
Deka terdiam sesaat, lalu bergumam dengan gelisah. "Waktunya makin dekat."
"Deka?" Puput memucat mendengar itu.
"Para jata nunggu suamimu siap. Makhluk Matang Kaladan nunggu korban pasangan ke-99. Astaga! Kita harus cepat pecahkan misteri ini, Put!" Deka bergerak masuk ke makam dengan tergesa.
Puput sebaliknya, terpaku di tempat dengan pipi basah oleh air mata. Ini hari ketiga Jata berlatih. Berarti tersisa empat hari lagi sebelum pertempuran itu terjadi. Bahkan mungkin lebih singkat bila makhluk Matang Kaladan menemukan korban ke-99 lebih cepat. Apakah itu berarti hidupnya dan hidup suaminya tinggal sebentar lagi?
Menyadari Puput tertinggal, Deka berbalik. Ia bisa merasakan apa yang berkecamuk dalam hati gadis itu. "Put? Jangan gitu. Enggak secepat itu mereka berperang. Makhluk Matang Kaladan akan nunggu bulan purnama merah saat kekuatan mereka mencapai puncak. Kamu masih punya banyak waktu untuk ketemu suamimu."
Puput mengusap air mata dengan kedua tangan, lalu mengangguk. "Kita ke mana?"
Deka tersenyum, lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling. "Naluriku bilang, ke sana!" Ia bergerak cepat ke deretan makan di sebelah kiri. Saat telah sampai di tengah-tengah, pemuda itu berhenti.
"Oh, bukan. Ke sana!" Ia menunjuk sebuah arah dan melesat ke sana. Puput tergopoh menghampiri. Saat telah sampai, Deka malah beralih ke tempat lain.
"Deka! Kamu mencari makam siapa, sih?"
Deka menatap Puput sambil menggaruk kepala. "Makam asal usul pimpinan mereka."
"Maksudmu Kanaya dan teman-temannya?"
"Iya."
"Berapa orang jumlahnya?"
"Levelnya Kanaya ada lima. Empat penjaga gerbang sesuai mata angin, satu di pusatnya."
Mereka terdiam sambil memandang ke hamparan makam dengan nisan beraneka warna. Di suatu sudut, Puput melihat sederet makam tua yang kurang terurus. Nisannya hanya berupa plesteran semen. Jumlahnya sepuluh buah.
"Deka, coba kita ke situ," ajak Puput.
Mereka mendekat. Deretan makam itu dinaungi pohon akasia yang besar dan tinggi. Lumut memenuhi kesepuluh nisan itu. Angin berembus membawa suasana menyeramkan. Puput membersihkan salah satu makam dari lumut dan rumput. Setelah bersih, terlihatlah tulisan yang digores pada plesteran semen. Ia melanjutkan ke makam yang lain.
"Deka, yang lima ini meninggal bersamaan," tunjuk Puput dengan suara lirih, seolah takut didengar Kanaya dan anak buahnya.
"Hmm, lima perempuan bersaudara. Tahun meninggal, 1982. Put, catat nama mereka dan semua keterangan yang bisa didapat."
Puput mengambil ponsel untuk mengambil gambar dan membuat catatan. "Sudah," lapornya. Ia mengamati nama-nama dan angka di kelima nisan itu. Siti, Salbila, Nuraini, Fauziah dan Fatika. "Lihat, Deka. Dua orang ini sepertinya kembar. Tanggal lahir mereka sama," kata Puput seraya menunjuk makam Fauziah dan Fatika.
Deka turut mengamati. "Yang tertua ini, Siti. Lalu Salbila, lalu Nuraini," lanjut pemuda itu. Sejurus kemudian, ia sibuk mencari data melalui ponsel. "Aku nggak nemu apa-apa soal kelima orang ini di internet. Kita tanya ke juru kunci aja."
Mereka keluar area makam untuk mencari juru kunci. Mereka tidak kesulitan karena pria tua itu tinggal di depan komplek makam.
"Wah, Bapak lupa, Nak. Sudah lama sekali."
"Nggak ada catatannya, Pak?"
"Seharusnya ada di kantor, Nak. Coba ke sana."
"Yang lima orang meninggal dalam hari yang sama itu, Pak. Bapak nggak ingat sama sekali?"
Istri lelaki itu keluar. "Oh, masa Bapak lupa, yang lima anak dibunuh di Banjarbaru itu, loh."
"Oh, itu. Iya, Bapak ingat. Mereka meninggal di Banjarbaru, lalu dimakamkan di Amuntai. Setelah tiga tahun, kakeknya mendapat mimpi, lalu sidin[1] memindahkan tulang-tulang lima anak itu ke sini."
"Mereka meninggal karena apa?"
"Perkosaan dan perampokan. Orangtuanya bertengkar, ibunya kabur. Waktu itu si ayah sedang tugas keluar kota."
"Enggak gitu, Pak." Istri juru kunci meluruskan. "Kabarnya, pelakunya si ayah. Dia gangguan jiwa, kata orang-orang sih. Nggak lama setelah anak-anaknya meninggal, dia bunuh diri."
"Ibunya masih hidup?"
"Hilang entah ke mana. Ada yang bilang dia dibunuh juga oleh si ayah, tapi nggak ada bukti."
Deka dan Puput merinding mendengar kisah itu.
"Masalah keluarga lagi, kan?" kata Deka saat mereka sudah kembali ke mobil.
"Kalau benar itu asal usul Kanaya dan teman-temannya, kita pakai untuk apa informasi ini?" tanya Puput.
Deka meringis sambil garuk-garuk kepala. Puput berdecak kesal.
"Kalau nggak tahu gunanya buat apa kita jauh-jauh ke sini, Deka? Buang-buang waktu aja."
"Heee, aku sering gitu, Put. Ngerjain sesuatu cuma ngikutin naluri. Tapi biasanya, ya, suatu saat ketahuan apa gunanya."
"Trus, kita ngapain sekarang?" Puput bertanya dengan frustrasi.
"Aku juga bingung."
"Kita pulang aja."
"Pulang ke rumahku atau rumahmu?"
Mendengar rumahnya disebut, Puput sontak merindu. Sedang apa si keras kepala, semaunya sendiri, dan tukang mengatur itu saat ini?
Deka tiba-tiba menoleh ke belakang, lalu meminggirkan mobil dengan mendadak.
"Astaga, Bang! Piyan bikin kaget aja!" tegurnya pada seseorang di jok belakang.
Puput menoleh dan tidak melihat apa-apa. "Deka, kamu ngomong sama siapa?" Wajah gadis itu memucat.
"Suamimu. Wah, dia semakin sakti aja, Put, udah bisa datang pakai badan halus!"
"Kamu jangan bikin aku takut, ya!"
"Beneran loh. Nih, kukasih tahu. Dia nggak pakai baju, nggak pakai alas kaki, cuma pakai celana panjang putih. Iiiihhh, cuh cuh!" Deka tiba-tiba melengos dan bergaya jijik.
"Hah, kenapa?"
"Bang, kalau nyipok kira-kira dong! Jangan di depan jomblo ngenes kayak aku!"
"Dia ngapain?"
"Cium kamu dan bilang sayang dan kangen banget."
Wajah Puput memerah mendengar itu.
"Bang, aku perlu melihat rumah piyan, boleh nggak?"
"Kenapa ke sana?"
Deka kembali meringis. "Aku juga nggak tahu, Put. Tahu-tahu kepingin ke sana."
Puput tidak menolak. Ia juga kangen, ingin bertemu orang yang membuat hidupnya penuh warna.
"Oh, aku disuruh menginap di sana empat hari, Put," kata Deka lagi. Tak lama kemudian pemuda itu mencibir. "Dih, berani bayar berapa piyan? Aku bukan pengasuh istri orang, ya!"
☆☆☆
Setelah mengambil barang-barang Puput dan Urai, ketiga orang itu meluncur ke Kompleks PLTA Riam Kanan. Di Banjarbaru, mereka mengantarkan Urai pulang ke kosnya.
Belum lama melewati Banjarbaru, Deka merasakan sebuah dorongan kuat. "Put, aku kok kepingin mampir di tempat Bang Asrul. Kamu nggak papa?"
"Aku nggak tahu. Nanti Kak Jata salah paham."
"Nggak papa katanya. Aku malah disuruh mengecek kondisi Bang Asrul."
Sesudah itu Deka menoleh ke belakang. "Aku bukan anak buah piyan, ya, Bang. Banyak bener perintahmu."
___________________
[1] sidin = dia dalam bahasa Banjar, ditujukan untuk orang yang dihormati
Buat yang kepingin maraton sampai tamat, ke Dreame aja yah
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top