77. Dunia Para Naga

Jata membuka mata. Seketika ia takjub. Dunia tempat mereka berada itu terang benderang. Langitnya putih kekuningan. Ada awan putih berkilau di atas sana. Matahari mereka kembar, masing – masing satu di setiap ufuk. Berbeda dengan matahari di bumi yang panas terik, milik mereka menyala terang namun lembut.

"Mereka tidak mengenal siang dan malam," terang Dehen.

"Oh, ya? Mereka tidak pernah tidur?" tanya Jata dengan polos yang langsung ditertawakan rekannya.

"Tubuh mereka itu tubuh energi, Jata. Sistemnya berbeda dengan badan manusia. Mereka tidak mengenal makan, minum, pipis, beol, dan sebagainya itu."

"Lantas gimana mereka berkembang biak?" Jata bertanya sekali lagi.

Dehen semakin terbahak. "Nanti kamu akan tahu sendiri. Yang jelas, jangan dibayangkan mereka kumpul mantap - mantap seperti kita."

Jata meringis lebar.

"Dibandingkan para jata ini, tubuh manusia itu primitif banget. Lemah, kaku, dan mudah rusak," tambah Dehen.

Kedua lelaki kemudian mengedarkan pandangan ke sekeliling. Mereka masih bersila di atas buaya putih dan mengambang di permukaan danau yang sangat luas. Semula, Jata mengira itu adalah laut. Akan tetapi, melihat pepohonan mengelilingi semua tepi, ia baru tahu bahwa mereka berada di danau yang maha luas. Di bawah permukaan air, mengambang buaya segala ukuran. Jumlahnya sangat banyak dan warnanya pun beragam, seperti kelabu, hitam, dan putih.

"Danau itu bagi mereka adalah pusat peradaban, sama seperti kota metropolitan di dunia manusia. Danau juga sekaligus portal untuk terhubung ke dimensi kita."

"Apa di sini ada laut juga?"

"Hmm ... bukan laut seperti yang kita bayangkan, tapi danau - danau raksasa. Boleh dibilang tidak ada laut di sini."

"Kalau begitu, daratannya sedikit? Apa ada naga dan buaya yang tinggal di darat?"

Dehen mengangguk. "Lihat di sana itu! Banyak juga yang tinggal di darat."

Jata mengikuti arah tunjuk Dehen, tapi tidak berhasil melihat apa pun karena terlalu jauh.

"Nanti setelah cakra - cakra dan jalur energimu terbuka, kamu bisa melihat benda-benda yang paling jauh sekali pun. Mau melihat menembus dinding juga bisa, kok," ujar Dehen seperti memahami kebingungan rekannya.

"Wow!"

"Iya, itu kemampuan standar para jata. Nggak istimewa, kok."

"Seperti itu bukan kemampuan istimewa? Wah, hebat banget mereka ini!"

Dehen tersenyum penuh arti. "Jangan salah, manusia lebih hebat!"

"Loh, kata Bapak tubuh kita tergolong primitif kalau dibanding mereka."

"Tubuh fisik kita memang primitif, tapi kita punya tubuh nonfisik, sehingga kita menjadi satu – satunya makhluk multidimensi di semesta raya!"

Sudah pasti Jata hanya berkedip-kedip saja mendengar informasi aneh itu.

"Lebih hebat lagi, tubuh nonfisik kita itu banyak, bahkan berlapis-lapis," imbuh sang penjaga Danau Loksado. Ia kembali tertawa. "Ah, sudahlah. Nanti kamu akan tahu sendiri."

Jata meringis. Kalau Dehen sudah berkata 'nanti tahu sendiri', berarti pembicaraan sudah mentok. Saat dilihatnya lelaki itu mendongak, Jata mengikuti.

"Para jata tinggal angkasa. Coba kamu perhatikan baik – baik. Tingkatan mereka lebih tinggi dari buaya."

Langit kekuningan itu ternyata tidak menyilaukan. Jata dapat memandanginya tanpa memicing. Ia segera menemukan ribuan naga yang bergerak di sana.

"Awan – awan itu adalah kota mereka. Tapi ya itu, jangan dibandingkan dengan kota – kota kita." Dehen mengakhiri penjelasannya dengan terkekeh kecil. Ia lalu menunjuk sesuatu di langit. "Lihat warna kemerahan di sebelah sana, di dekat batas langit dan daratan."

Jata kembali mengikuti arah tunjuk Dehen. Warna kemerahan di langit itu berbentuk bulatan. Di dalamnya ada bola api.

"Itu lubang yang dibuat Kanaya dan teman-temannya. Saat ini masih ditahan dengan bola api. Kalau sampai jebol, mereka akan menguasai dunia ini, Jata."

Dehen mengalihkan telunjuk ke arah lain. "Dia datang."

Jata terperangah. Itu benar-benar seekor naga putih, tengah melayang dengan sangat anggun di antara awan-awan. Panjangnya puluhan meter. Sisiknya berkilau membiaskan sinar warna-warni seperti mutiara. Moncongnya besar dan bola matanya kebiruan. Anggun, sekaligus perkasa.

"Bersiaplah, dia akan membuka simpul di ujung tulang belakangmu," kata Dehen. "Duduk dengan tegak. Kalau sakit, ditahan."

Naga putih di angkasa itu membuat gerakan melingkar di udara beberapa kali sebelum meluncur cepat menuju danau. Permukaan danau terbelah saat sang naga menyentuh air.

Makhluk anggun itu melaju cepat menuju tempat Jata duduk. Begitu sudah dekat, ia memutar untuk mengarah ke punggung pemuda itu. Dengan cepat ia menerobos bagian di mana tulang ekor berada. Diseruduk naga sebesar itu, tubuh Jata bergetar hebat dan nyaris terlempar andai Dehen tidak menahannya di tempat.

Jata berteriak kesakitan. Badannya serasa remuk. Tulang punggungnya memanas seperti besi yang meleleh.

Tidak berhenti di situ saja. Sang naga mendesak masuk, lalu berputar di pinggul. Nyeri dan panasnya luar biasa. Tulang pinggul dan organ di dalamnya seperti ditarik paksa dan dicerai - beraikan menjadi tak berbentuk. Teriak kesakitan Jata membahana ke sudut-sudut danau.

Jata tak dibiarkan bernapas barang sejenak. Sang naga bergerak ke atas, bagai mengebor sumsum tulang belakang. Tulang-tulang yang tercerai berai itu kembali membuat Jata mengerang keras. Saat sang naga mencapai dada, Jata tak sanggup bernapas. Jantungnya berhenti berdetak.

Sang naga belum selesai. Ia bergerak naik, melewati leher lalu menembus kepala dan keluar dari ubun-ubun. Tubuh Jata terbawa terbang ke langit. Saat keluar, makhluk itu meninggalkan lubang menganga di kepala yang segera dialiri oleh energi dari dasar pinggul. Saat proses terakhir itu terjadi, Jata sudah tidak merasakan apa pun. Ia kehilangan kesadaran.

Pemuda itu terlempar jatuh, berguling dan berputar di atas permukaan air, untuk kemudian tenggelam perlahan - lahan ke dalamnya. Jata seperti mati saja. Tubuhnya lunglai dan melayang tanpa berat di kedalaman danau yang pekat. Entah berapa lama Jata dalam kondisi seperti itu. Yang jelas, suara Dehen membuat kesadarannya kembali.

"Jata! Jata! Tarik napas!" Sayup-sayup terdengar panggilan Dehen. "Jata! Bernapas! Buka mata!"

Telinga Jata mulai mendengar lebih jelas.

"Jata! Jata!"

Ia merasakan guncangan di bahu dan tepukan keras di kedua pipi berkali - kali. Untuk sesaat otaknya masih belum mau bekerja.

"Tarik napas! Nah, begitu. Ayo tarik lagi dalam – dalam!"

Jata menurut. Dengan tersengal dihirupnya udara. Bersamaan dengan itu, matanya terbuka.

Jata menemukan tubuhnya mengapung di permukaan air, beralaskan buaya putih. Dunia sekitar kembali gelap. Langit kembali pun gelap, namun warnanya sudah semburat kebiruan, menandakan puncak malam telah terlewati. Ternyata mereka sudah kembali ke danau Riam Kanan.

Dehen menyuruhnya terus berbaring sambil mengatur napas. Ia lalu memerintahkan para buaya membawa mereka menepi. Jata hanya bisa terbaring lunglai di punggung makhluk panjang itu.

Sampai di tepi, Dehen mendahului meloncat ke tanah untuk mengambil selembar sarung dari ransel yang ditinggalkan di tepi danau. Setelah itu, ia kembali ke punggung buaya untuk memapah Jata ke darat. Lelaki itu kemudian didudukkan di akar kayu dan dibantu memakai sarung. Ternyata Jata keluar dari air dalam kondisi telanjang bulat!

"Tuh, lihat. Si adik sudah kembali." Dehen tersenyum penuh arti sambil menuding selangkangan Jata.

Otomatis Jata menunduk. Benar saja, si adik telah berdiri dengan bebas merdeka!

"Jangan dipegang, ya, ingat itu!" pesan Dehen.

Kata-kata Dehen terbukti. Energi yang bangkit itu berputar di pinggul. Jata hanya bisa terengah menahan nafsu yang membubung hingga ke ubun-ubun.

"Pak, Pak? Gimana nih? Masa nggak boleh dipegang?"

"Baring aja, dinikmati. Hey! Awas, tangan taruh di samping!" Dehen menepis tangan Jata yang tanpa sengaja mengarah ke si adik.

"Pak? Ssssh ... aah!" Jata menggelepar karena denyut yang tak tertahankan. Ia berguling dan mengerang.

"Ya, Hatalaaaaa[1]!" Saat lahar putih itu keluar, ia baru bisa tenang. Tawa keras Dehen mengiringi napasnya yang terengah setelah melewati puncak.

Biarpun berat dan menyakitkan, ada pula perkembangan yang menyenangkan. Jata meraba dada. Ajaib, tiga luka robek akibat cakar Bilah telah lenyap tanpa bekas.

☘☘☘

Dehen membawa Jata ke rumah. Ia merebus akar-akaran dan bahan kering beraneka rupa, lalu menyuruh Jata meminumnya. Ramuan itu luar biasa pahit. Jata sampai tersedak saat menelannya. Sesudah itu, Dehen memaksanya memakan nasi putih saja. Jata sampai mual saat dipaksa menghabiskan sepiring penuh. Sesudah itu ia menyuruh lelaki itu tidur.

"Jangan heran kalau nanti demam. Minum saja ramuan itu dengan madu yang saya berikan dulu." Sesudah menyelimuti Jata, Dehen pergi tanpa jejak.

Jata terkapar di kasur sepanjang hari itu. Seluruh tubuhnya seperti meleleh. Tulang belakangnya terasa panas bagai terbakar, mulai dari tulang ekor hingga leher. Kepalanya berdenyut keras. Dan, ia benar-benar demam! Pak Gani terpaksa dimintai tolong untuk mengantar ke Puskesmas Aranio. Dengan berbekal surat keterangan sakit, ia bisa beristirahat di rumah hari itu. Ramuan Dehen terbukti berkhasiat. Setelah menghabiskan beberapa gelas, Jata tertidur pulas hingga sore.

_______________________

[1] Hatala = Tuhan dalam bahasa Dayak Ngaju

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top