75. Nikmat Penderitaan

Asrul memandang kekasih yang telah ditinggalkan sebulan lalu. Saat membatalkan lamaran, ia masih ingat wajah Fitri yang terluka. Gadis baik dan lembut itu tak henti-hentinya menangis hingga bicara pun tak jelas. Fitri pergi dengan sangat marah.

"Kamu datang?" tanya Asrul dengan suara serak. Rasa malu menyusup di hati menimbulkan nyeri yang sangat.

Lihatlah, sebulan lalu, dengan sangat arogan dituduhnya Fitri telah kotor karena pernah dijamah lelaki lain. Itu sama saja menyatakan secara tidak langsung bahwa gadis itu tak lagi layak untuknya. Padahal siapakah ia, berani berkata seperti itu? Bila Fitri kotor, bukankah dirinya juga produk kotoran masa lalu?

Ah, mengapa saat itu ia membiarkan ego membutakan? Bukankah ia menginginkan gadis suci sekadar untuk menghapus jejak sejarah yang kelam? Ia tidak ingin dicemooh orang seperti, Nah, kan? Anak haram ya dapatnya cewek bekas perzinaan. Ia ingin mematahkan anggapan seperti itu, karena sudah bosan menyandang dosa masa lalu ibunya.

Semua harapan itu kini tinggal kenangan. Pada akhirnya, ia tak mampu melawan dosa yang dibawa dalam aliran darah yang bernama nafsu. Andai saat itu ia tidak tergiur kemolekan Puput, tentu ia akan segera pulang setelah menyerahkan ikan. Ia sudah tahu Jata akan datang.

Entah dari mana datangnya setan, tiba-tiba saja ia ingin berlama-lama berada di samping tubuh putih yang harum itu. Bila diminta jujur, mereka bukan tanpa sengaja bersenggolan di teras kala itu. Dirinyalah yang membuat sentuhan itu terjadi sehingga nafsunya melonjak ke ubun-ubun. Dan ternyata, ia sama saja dengan lelaki bejat yang menghamili ibunya tanpa bertanggung jawab, tak kuasa melawan dorongan nafsu. Sekarang, ia tak ubahnya sampah di hadapan Fitri.

"Aku sudah kotor, Fit. Kenapa kamu masih mau datang?" bisiknya dengan mata menerawang.

"Jangan ngomong begitu. Kamu masih Asrul yang kukenal," bisik Fitri.

Asrul menggeleng. "Enggak, Fit. Aku bukan orang seperti itu. Aku tiba-tiba bernafsu pada istri sahabatku sendiri."

"Semua orang punya salah, Srul. Yang penting adalah bagaimana kita memperbaiki diri setelahnya."

"Tapi aku belum bisa memaafkan diriku sendiri, Fit. Pulanglah. Kecelakaan ini mungkin hukumanku."

Tangis Fitri pecah kembali. "Asruuuul! Sampai kapan kamu bodoh seperti ini? Dari dulu pikiranmu cuma hitam dan putih, salah dan benar, kotor dan suci. Kamu tidak mau melihat dengan cara yang lain."

Asrul menoleh tak mengerti. Kepalanya sangat pening setelah koma tiga hari.

"Aku memang sudah kotor, Fit," desah Asrul. "Carilah laki-laki lain. Aku tidak pantas untukmu." Sesudah itu, ia memejamkan mata seraya memalingkan wajah ke arah lain.

Fitri mendesah dengan sangat kesal. "Baiklah, kalau itu maumu. Bukan kamu yang tidak pantas, tapi aku, kan? Kamu hanya merendah untuk menghindar dariku, kan?"

Fitri meninggalkan Asrul walaupun jam besuk belum habis. Melihat punggung perempuan yang pernah mengisi hatinya itu menjauh, Asrul seperti kehilangan separuh napas.

Maafkan aku, Fit, bisik hatinya. Ada cairan bening yang mengalir keluar dari sudut-sudut mata.

Asrul tidak tahu, ada sosok hitam yang memandang mereka dengan mata merah menyala.

☘☘☘

Sejak bertemu terakhir kali di kantor Jata dan ditolak, Wina tak pernah punya kesempatan untuk berbicara dengan mantannya itu. Jata sibuk. Ia juga sibuk. Satu-satunya kesempatan melihat lelaki itu dari dekat adalah saat pertemuan membahas kasus Asrul di mess.

Ah, Jata yang marah terlihat jantan sekali. Cara duduknya, cara menatapnya, sekecil apa pun gerakan lelaki itu, membuat getaran dalam dada semakin kuat saja. Jata yang matang di usia tiga puluh, sungguh menabuh kisi-kisi hati dengan keras. Ia merasakan kewanitaannya berdenyut setiap berhadapan dengan lelaki itu.

Bukan hanya gairah yang dihasilkan dari kehadiran sosok Jata. Melihat lelaki itu hanya memikirkan istrinya, hati Wina seperti digerogoti. Benci sekali ia dengan perempuan kecil itu. Bisa-bisanya, dirinya yang telah bertahun-tahun mengenal lelaki itu, bahkan satu kantor, malah tersisih oleh perempuan ingusan yang datang entah dari mana.

Apa sih kelebihan seorang Puput sehingga Jata bertekuk lutut? Ia sudah memfotokopi foto istri mantannya itu. Sampai di rumah, foto itu dirobek-robek dan dibakar dengan sengit.

Putri Paramitha, desah Wina. Oh, Jata. Kamu bikin aku gila, Sayang.

Hari masih gelap saat Wina terbangun dari mimpi. Dilihatnya jam masih menunjukkan pukul tiga pagi. Kata orang, bila terbangun dari mimpi antara pukul satu hingga tiga pagi, artinya mimpi itu sebuah firasat. Kebenaran anggapan itu masih diragukan. Akan tetapi, mimpi barusan begitu indah. Biar bukan firasat pun, Wina menikmatinya.

Wina mendesah beberapa kali di ranjangnya yang sepi. Ia tidak bisa tidur lagi. Sial, hari ini ia harus mendatangi pengadilan agama. Gugatan cerainya masih ditangguhkan karena diminta untuk mediasi. Malas sekali bila harus berjumpa suami dan keluarganya.

Wina membalikkan badan dengan perasaan masih kacau. Bukan gugatan itu penyebab kekacauan hatinya, melainkan mimpi barusan, yang membuat kemaluannya basah karena gairah. Sudah dapat diduga, siapa lelaki di dalam mimpi yang membuatnya terbangun dengan napas terengah-engah.

Sudah bermalam-malam ia memimpikan Jata. Bahkan kerap terasa sangat nyata. Ia memeluk dan mencumbu lelaki itu. Aroma maskulin lelaki itu bahkan masih melekat di indra penciumannya.

Wina meraba bagian sensitifnya. Astaga, ia menginginkan Jata. Bukan besok atau nanti. Ia membutuhkan lelaki itu sekarang juga! Ya, ampun! Ia harus segera mencari bantuan! Seperti orang yang kehilangan akal, diteleponnya Billy. Lelaki itu masih terjaga jam segini.

"Kamu baru bangun atau belum tidur?" sapa lelaki itu dengan suara mesra. Terdengar hingar bingar musik di latar belakang..

"Baru bangun, terus nggak bisa tidur lagi," jawab Wina. Ia agak lega karena Billy sedang tidak bersama istri.

"Mau kubuat tidur, Cantik?"

"Hmm, aku mau ditidurkan, tapi bukan oleh kamu."

"Aaah! Sadis banget kamu. Kenapa kamu telepon aku? Mau pamer kalau kamu bucin? Biar kutebak, ya. Pasti si Jata itu, kan?"

"Diam kamu!"

Billy terkekeh. "Ya udah. Kututup ya teleponnya," ancamnya lembut.

"Jangaaan! Billy, aku butuh kamu sekarang," desah Wina akhirnya
.
"Ow, ada yang kesepian sampai hampir mati. Kamu di mana, Sayang?"

"Di ranjang. Di mana lagi, pagi buta begini?"

"Baiklaaah. Ada yang bisa hamba bantu?" desah Billy manja menggoda.

"Aku perlu dia, Billy."

"Hmm, sakit lagi hatiku mendengarnya, Wina."

"Kamu nggak bisa mendatangkan dia?"

"Aku cuma bisa mendatangkan diriku sendiri."

"Ah, kamu ini! Aku serius!"

"Aku juga serius. Kamu sudah menggelepar di situ, kan? Kayak orang haus tapi nggak dapat minum? Kayak ada yang bocor dan minta ditambal? Ya, kaaaan?" Desahan itu membuat telinga Wina seperti dialiri listrik.

"Tolong, dong, jangan ngomong aja?" protes wanita cantik itu.

"Oh, siaaap! Kamu mau online atau offline?" Billy kembali memberi pilihan seperti biasa.

"Offline!" sergah Wina.

"Baik. Tunggulah, aku siapkan ritual untukmu. Tapi ada harganya ya, karena kamu memintanya pagi-pagi dan harus segera. Yang ini tidak murah, lho."

"Berapa ongkosnya?"

Billy menyebutkan sebuah angka.

"Astaga! Kamu merampokku, Bil?"

"Kok gitu ngomongnya? Mau nggak?"

"Ah, matre emang. Boleh deh, tapi bayarnya kalau sudah gajian."

"Yah, masa hutang lagi, Win? Yang dulu aja belum lunas."

"Yang dulu mana? Yang kemarin kan udah lunas setelah kamu kukenalkan sama Pak Bos. Anggap komisilah."

"Wanita licik," keluh Billy. "Tapi, karena aku sayang kamu, nggak papa deh. Yang ini dikredit setahun juga boleh. Kapan? Aku masih boleh mandi dulu, kan?"

"Nggak! Sekarang, dan nggak pake lama! Aku sudah nggak tahan, Billy!"

Tak lama kemudian, sebuah mobil berhenti di depan rumah Wina. Seorang lelaki turun dari mobil. Wina membuka pintu dan menyeret lelaki itu ke kamar. Tak lama kemudian terdengar desah dan pekik perempuan itu menyebut-nyebut nama Jata.


///////////////////

Bersambung minggu depan

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top