72. Mau Pulang

Rasa khawatir akan keselamatan Puput melanda Jata. Ia segera memanggil istrinya. "Put, kemasi barang-barang. Ambil yang penting-penting aja. Kita pergi sekarang juga!"

"Sekarang, Kak?" Puput keheranan. "Ke mana?"

"Iya sekarang. Nanti kita pikirkan sambil jalan."

Puput tidak membantah. Ia pun menjadi ngeri setelah menyaksikan sendiri bagaimana Jata terluka. Dengan bergegas, gadis itu masuk ke kamar dan memasukkan barang-barang penting ke dalam koper.

Mengendus ada yang tidak beras, Dehen menggerakkan tangan seolah ingin menahan. "Saya pikir tidak...."

"Kenapa, Pak?" tanya Jata.

Dehen ingin mengatakan sesuatu, namun urung karena melihat tekad Jata. Ia hanya menggeleng beberapa kali. "Ah, tidak apa-apa. Kita coba saja, siapa tahu bisa."

Jata meninggalkan Dehen seorang diri di ruang tengah untuk membantu Puput mengemasi barang-barang, kemudian memasukkan koper ke bagasi mobil. Setelah mengganti baju, mereka bertiga berangkat.

"Kita ke mana?" tanya Dehen saat mobil meninggalkan halaman.

"Bapak punya usul, tempat yang aman untuk mengungsi?" Jata malah balik bertanya.

"Sebenarnya tidak ada. Ke mana pun kalian akan tetap diburu. Tapi kalau untuk ketenangan batin, bolehlah kita mencoba Loksado. Saya punya pondok sederhana di sana, dan pemandangannya cukup bagus. Ada danau, arum jeram, dan yang paling penting, sahabat-sahabat saya selalu siap untuk membantu."

Yang Dehen maksud dengan sahabat tentu saja bukan berasal dari alam manusia.

Jata segera mengkalkulasi jarak tempuh. "Kurang lebih tiga jam, ya. Hmmm ... apa tidak terlalu jauh?"

"Ah, benar juga," sahut Dehen.

Setelah berpikir sejenak, Jata akhirnya menemukan sebuah tujuan yang dia pikir aman. "Ke Kapuas saja. Papa saya punya kebun karet dan pondok di sana. Letaknya dekat dengan sungai."

"Boleh. Kapuas lebih dekat. Semoga istrinya sanggup sampai sana."

Kening Jata kontan mengernyit. "Maksud Bapak?"

"Kita lihat saja nanti. Saya juga belum tahu pasti."

Jata mengembuskan napas berat. Selalu begitu bila menyangkut dunia gaib. Tidak seorang pun bisa memberi keterangan lengkap, apalagi masuk akal. Jawaban yang ia dapat selalu setengah-setengah, kabur, serta muskil seperti benang kusut tercebur got.

Jata pun melajukan mobil secepat mungkin menuruni area Riam Kanan menuju lingkar luar Banjarmasin. Tanpa memasuki kota, mereka membelok ke kanan menuju arah Kapuas. Tak ada yang berbicara selama perjalanan itu sehingga suasana menjadi mencekam.

Matahari mulai bergeser ke barat, meninggalkan langit merah membara. Setelah kira-kira satu setengah jam, mereka sampai di simpang empat menuju keluar kota, yang dikenal dengan perempatan Handil Bakti.

Puput mulai gelisah setelah melewati simpang empat itu. "Kak, aku pusing banget."

Khawatir, Jata mengamati istrinya dari smaping. "Pusing gimana? Mabukkah?"

Puput mengangguk.

"Dibuka aja jendelanya," kata Jata. Ia menurunkan kecepatan kendaraan untuk membuat Puput lebih nyaman. "Turunkan sandaran kursimu, lalu tidur."

Puput menurut. Ia hanya bisa bertahan beberapa saat. Rasa mual itu semakin menjadi. Tangannya meraih kantung plastik, lalu keluarlah isi perutnya sampai habis.

Jata menghentikan mobil dan membantu Puput turun untuk menyelesaikan muntahnya. Setelah itu, mereka melanjutkan perjalanan.

"Jalan pelan-pelan aja," saran Dehen seraya memberikan minyak gosok untuk dioles di kening dan leher Puput.

Semakin jauh dari perempatan Handil Bakti, rasa pusing Puput semakin menjadi. Tubuhnya terasa lemas tak berdaya.

"Gimana, Put?" tanya Jata sambil menoleh beberapa kali pada gadis yang duduk setengah berbaring di jok belakang. Wajah yang memucat itu membuatnya cemas.

"Nggak papa, Kak. Masih tahan."

Mereka akhirnya sampai di Sungai Barito, sungai terbesar di Kalimantan Selatan. Ketika mereka melewati Jembatan Barito, kondisi Puput semakin parah. Napasnya tersengal. Seluruh tubuhnya dingin. Bibirnya kebiruan. Gadis itu bahkan tak sanggup menggerakkan tangan dan kaki.

Jata terkejut melihat kondisi istrinya. Ia segera menghentikan mobil. "Kamu kenapa, Put? Put?"

"Kak," rintihnya Puput lirih. "Aku nggak tahan lagi ... aku ... mau pulang."

Dehen memeriksa kening Puput. "Sepertinya kita harus putar balik."

"Hah? Kenapa?"

"Pulang, Kak, pulang," rintih Puput lagi dengan suara semakin lemah. "Aku nggak kuat, Kak. Pulang ke rumah ... tolong?"

Dehen mengoleskan minyak di kening, leher, dan lengan Puput. Ia juga membubuhkan sedikit pasta berwarna putih di dahi dan tangan gadis itu.

"Dia kenapa, Pak?" tanya Jata dengan kalut.

"Jiwa istrimu terikat dengan rumah itu. Dia tidak bisa melewati Sungai Barito. Kita harus segera kembali. Kalau tidak, kamu akan kehilangan dia."

Jata terbelalak. Tanpa berpikir lagi, ia memutar mobil dan melaju secepatnya kembali ke Riam Kanan. Benar saja, setelah melewati perempatan Handil Bakti, napas Puput berangsur mulai teratur. Wajahnya memerah dan ia tertidur dengan tenang. Ketika mobil mereka membelok menuju lingkungan kompleks PLTA Riam Kanan, Puput sudah bisa duduk walaupun masih lemas.

"Bisa jalan, Put? Atau kugendong?" tanya Jata setelah memarkir mobil di halaman rumah.

Puput menggeleng. Ia hanya bergayut pada lengan suaminya hingga ke kamar.

"Tidurlah. Aku akan membongkar bawaan kita dari mobil." Jata berbalik untuk keluar kamar.

"Kak," panggil Puput.

"Ya?"

"Jangan jauh-jauh."

"Aku nggak ke mana-mana," jawab Jata dengan tersenyum.

☆☆☆

Jata duduk di hadapan Dehen dengan lesu. "Kayaknya saya tidak boleh lari dari masalah ini."

Dehen mengangguk. "Pertahanan terbaik buat kalian saat ini adalah menyerang balik. Selesaikan pertempuran, maka kalian akan terbebas selamanya."

"Sebenarnya, apa sih yang mereka inginkan dari istri saya?" tanya Jata.

"Secara rinci, saya kurang paham. Tapi kalau jiwanya sudah diikat seperti itu, cepat atau lambat dia akan dibawa ke dunia mereka."

Jata seketika merinding. Belum sempat menyahut, ia mendengar langkah kaki Puput keluar dari kamar. "Put, kenapa keluar?"

"Kak, aku di sini saja, ya? Ngeri sekali sendirian di dalam." Puput tiba-tiba menyusul duduk di sisi Jata.

Jata meraih tangannya. Tangan mungil itu terasa dingin sekali. Demi memberi sedikit kehangatan, Jata merengkuh tubuh mungil sang istri ke dalam pelukan.

"Oh, iya. Kalungmu tadi buat Puput saja," usul Dehen.

"Lho, kata Bapak cuma aksesori?"

Dehen terkekeh. "Aksesori itu kalau bagi kita. Untuk orang awam, kalung itu tetap punya manfaat."

Jata mengambil kalung dari koper, lalu memasangkannya di leher Puput. Namun, begitu benda itu menyentuh kulit Puput, gadis itu mendesis kesakitan dan menepisnya.

"Panas dan nyeri, Kak!"

"Coba bawa kemari," kata Dehen. Lelaki itu kemudian mengoleskan minyak tertentu ke mata kalung yang berupa gigi buaya. "Nah, silakan dipakai. Kalau melihat hal-hal aneh, pegang saja mata kalungnya."

Kalung itu kini bisa dikenakan Puput tanpa keluhan.

Dehen mengeluarkan botol kecil dari tas ransel. "Ini madu hutan. Kalau nanti demam, minum ini sebanyak yang mampu diminum."

"Bapak mau ke mana?" tanya Jata saat melihat Dehen mengemasi barang-barangnya. "Menginap di sini saja. Kami punya kasur cadangan."

"Oh, saya punya keluarga di Tiwingan. Saya harus ketemu dia. Kalau tidak, dia bisa marah."

Sesuai gaya bicara Dehen, yang dimaksud keluarga itu tentu saja bukan orang. Dehen hanya lewat saja di Desa Tiwingan, lalu terus maju, ke tengah danau. Di sana, ia melanjutkan semadi dengan duduk bersila di permukaan air, beralaskan punggung buaya.


//////////////

Buat sobat yang penasaran dan nggak mau menunggu apdetan, silakan cuuus ke Dreame. Di sana udah tamat loh

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top