69. Kekerasan

Empat porsi nasi bebek tadi sungguh memberikan efek. Jata menjadi rileks. Keinginan untuk berdebat atau marah menghilang. Mungkin semua darahnya tengah berkumpul di perut sehingga tidak tersisa untuk otak dan hati mengolah kemarahan. Yang diinginkan sekarang hanyalah rebahan di kasur yang empuk berlapis seprei harum.

Puput masuk ke kamar setelah mandi. Badannya yang kecil hanya dibalut handuk besar, menutupi dada hingga sedikit di atas lutut. Sambil berebah, mata Jata mengikuti sejak istrinya masuk kamar hingga berganti baju. Ia masih tak percaya dua orang yang sangat berbeda karakter dan terpisah jarak yang sangat jauh ternyata bisa disatukan dalam kamar ini.

"Aku sayang kamu, Put," ujarnya lirih.

Puput mengerling ke suaminya yang kini hanya mengenakan celana pendek saja. Ia heran, akhir-akhir ini Jata lebih senang bertelanjang dada.

"Nggak pake baju, Kak?" tanya Puput memulai kenyinyirannya.

"Malas. Rasanya lebih enak begini. Kulitku bisa bernapas dengan bebas."

"Masa kamu bernapas pakai kulit? Memangnya kamu amfibi?"

Jata tidak menanggapi. Pikirannya sedang mengingat apa yang tertulis dalam notes ponselnya di hari terakhir menemani Puput di rumah sakit.

Percobaan ke-41. 70%. Tinggal menunggu si adik bangun.

Apakah sekarang waktu yang tepat untuk percobaan ke-42? Sudah pasti, dada Jata kontan bergetar oleh harapan, tak sabar membuat istrinya menggeliat dalam kenikmatan.

"Senyummu seperti orang yang ada maunya, deh," komentar Puput sambil manyun.

"Kamu sudah selesai datang bulan?" Jata balas bertanya.

"Masih ada sedikit flek-flek."

Jata bangkit, lalu berjalan lambat ke arah istrinya. Begitu berada di sisi Puput, diangkatnya tubuh mungil itu secepat kilat. Puput memekik kaget. Namun detik berikutnya, ia bergayut pasrah karena sadar harus melayani suami.

Jata merebahkan Puput di kasur. Tanpa sengaja, mata kalungnya menerpa wajah sang istri.

"Aduh!" Puput memekik sambil mengerutkan wajah. Sentuhan benda kecil itu terasa menyayat kulit. "Tajam banget liontin itu!"

Jata meraih dan mengamati gigi buaya yang pangkalnya telah dihias dengan manik-manik dan kulit kayu. Diusapnya sejenak. Memang ada bagian-bagian yang kasar yang mungkin telah menyakiti Puput. Tanpa berpikir panjang, dilepasnya kalung itu, lalu digantung di paku dinding.

"Nggak gatal pakai kalung seperti itu?" tanya Puput.

"Iya, sih, risih." Jata meraba leher. Daerah bekas terkena kalung terasa gatal dan perih.

"Lehermu merah." Puput mengambil minyak gosok, lalu mengoleskannya di bagian leher Jata yang meradang. "Kalau sampai besok nggak hilang, berobat aja. Nih, mulai timbul bintil-bintil berair. Jangan dipakai lagi kalung itu. Kak."

"Tapi ... aku harus memakainya terus."

"Kenapa?"

Jata mengedikkan bahu. "Entahlah, kata orang begitu."

"Kata siapa?"

Jata tidak langsung menjawab. "Kamu nggak suka aku pakai kalung itu?"

"Bukan aku nggak suka. Tapi kalau kuingat-ingat, sejak memakai kalung itu, kelakuan Kakak berubah."

Jata mendesah. Mengapa mereka malah mulai berdebat? Ia menginginkan suasana romantis, bukan pertengkaran. Karena itu ia berbalik dan langsung membungkam mulut nyinyir istrinya dengan ciuman. Ia senang, Puput menyambut tanpa perlawanan.

"Kalau si adik belum bangun, kamu jangan kecewa, ya?" bisiknya.

Puput mengangguk. Ia belum tahu rasanya si adik. Dalam hati kecil pun masih ada ketakutan bila benda itu menimbulkan rasa nyeri saat dimasukkan. "Iya, Kak," bisiknya.

"Kamu puas dengan jari?" bisik Jata. Ada rasa nyeri saat mengucapkannya.

Puput mengangguk saja. Sebenarnya ia merasa geli dan tidak nyaman saat Jata merambah bagian kewanitaannya dengan jari. Tapi baginya, cara ini masih lebih nyaman dibandingkan bila si adik yang bekerja.

Jata menundukkan kepala. Wajahnya langsung memburu wajah Puput. Gairah yang timbul itu tiba-tiba mencapai ubun-ubun. Ia memanas dengan cepat. Gerakannya mengikuti, cepat dan penuh tekanan.

"Kak?" Puput terheran. Sentuhan Jata yang sekarang sangat berbeda dari sentuhannya saat di rumah sakit. Alih-alih lembut dan membuai, Jata sekarang panas, kasar, dan penuh nafsu.

"Aah! Pelan-pelan! Sakit!" pekik Puput saat daerah halus di kewanitaannya digosok dengan kasar.

Jata tidak peduli. Sang adik yang bangkit sebagian telah membuatnya tidak bisa menahan diri. Ia menggunakan semua yang dimiliki untuk menikmati tubuh halus itu.

"Kaaak!" pekik Puput saat satu cengkeraman Jata menancap di punggung dan satu lagi meremas daerah di antara dua pangkal paha hingga nyeri. "Berhentiiii!"

Dengan sekuat tenaga, Puput meloloskan diri dari rengkuhan Jata. Ia menyingkir ke sudut kamar. Badannya ditutupi selimut. "Kamu ... kamu kenapa jadi beginiiii?" pekiknya.

Mata membelalak yang menyorotkan keterkejutan itu membuat Jata tersadar. Ia kembali melakukan kesalahan. Namun, ego dan kekecewaan dengan cepat menguasai dirinya. Jata pun hanya bisa melampiaskan emosi dengan keluar kamar sambil membanting pintu keras-keras.

//////////////

Lanjut Senin minggu depan

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top