60. Utusan Khusus
Jata mengikuti dengan saksama keterangan dokter kandungan yang menangani Puput. Setelah bertanya pada Puput, akhirnya mereka memutuskan untuk melakukan sayatan kecil untuk memperbesar lubang pada selaput dara Puput agar mengurangi rasa nyeri saat haid.
"Ini cuma sayatan kecil, tidak akan sakit," kata sang dokter untuk menenangkan Puput. Kepada Jata, ia tersenyum penuh pengertian. "Cuma robekan kecil untuk memperbesar ukuran lubang, agar darah haidnya bisa keluar dengan lancar. Selaput daranya masih utuh untuk suaminya."
Wajah Jata memerah. Sebenarnya ia tidak terlalu memusingkan ada dan tidaknya selaput dara. Toh ia tahu Puput belum tersentuh siapa pun. Kenyataan bahwa ia belum menembus selaput dara itulah yang membuatnya sangat malu.
"Nah, apa mau sekalian konsultasi masalah hubungan seksual?" tanya sang dokter.
Sejoli di depannya terdiam. Sama-sama malu untuk menjawab. Dokter senior itu sepenuhnya memahami. Karena itu ia melanjutkan, "Tidak apa-apa. Ada lho yang sampai empat belas tahun baru bisa penetrasi."
"Hah? Masa, Dok?" Spontan, Jata dan Puput menanggapi.
"Benar, salah satu pasien saya. Istrinya mengalami vaginismus, atau merapatnya otot-otot vagina sehingga liang vaginanya tertutup. Ketika berhubungan seksual, penis suaminya tidak bisa masuk sama sekali."
Jata langsung membayangkan nasib sang suami. Rasa kagumnya pada pasangan itu tumbuh. Betapa hebat komitmen mereka untuk mempertahankan rumah tangga. Rasa malu menyeruak dalam hati. Pernikahannya dengan Puput baru berusia lima bulan, tapi sudah dilanda keraguan.
"Apa bisa disembuhkan, Dok?" Puput bertanya dengan suara serak.
"Bisa. Pasangan tadi berhasil setelah dua bulan terapi. Sekarang sudah lahir anaknya."
Puput dan Jata saling pandang.
"Yah, itu nanti saja. Kita bereskan dulu selaput daranya."
♡♡♡
Pagi itu, Jata dan Puput bangun dengan wajah cerah. Semalam, walau tidak melakukan apa-apa, tidur berpelukan membuat hati mereka tenteram. Jata menemukan istrinya menatap sambil masih berbaring.
"Kok melamun? Masih sedih karena si adik, Kak?" bisik Puput.
Jata mengangguk. "Pas kamu sudah siap, aku malah mengacau, Put."
"Aku sayang kamu, Kak. Soal penetrasi itu kita usahakan pelan-pelan."
"Kamu masih mau menunggu?"
Puput mengangguk. "Aku nggak akan ke mana-mana. Seperti kamu bilang kemarin, kita hadapi bersama."
Jata menarik Puput ke dalam pelukan, mengecup dengan sayang. Ia baru tahu rasanya menjadi lemah dan tak berdaya. Tidak pernah terpikir olehnya akan bersandar pada kekuatan istri. Bukankah lelaki sebagai kepala keluarga harus tangguh dan tidak cengeng?
"Aku malu sama kamu. Seharusnya aku melindungi yang menyenangkan kamu, bukan sebaliknya, menjadi beban."
Puput tidak mengerti mengapa Jata berkata begitu. "Jangan sedih terus. Kamu aneh kalau cengeng begitu. Masalah itu bisa diselesaikan satu-satu."
Jata mendesah. "Baiklah. Soal selaput dara, selesai. Sekarang masalah apa yang akan kita selesaikan dulu?"
"Masalah makhluk gaib itu?"
Jata melepas pelukan lalu berguling untuk terlentang. Kasur itu terasa sempit sekarang.
"Papa nggak bisa membantu?" tanya Puput.
"Papa bukan ahlinya, Put."
"Kalau kita cari, pasti akan ketemu orang yang tepat."
"Kalau jalan keluarnya harus pindah ke Pangkalan Bun, kamu mau?" tanya Jata dengan hati-hati.
Tanpa terduga, Puput mengangguk. "Aku ikut kamu, Kak."
"Benar?" Jata hampir tak percaya. Puputnya sudah kembali sepenuhnya.
"Benar."
Jata termenung kembali. Ia tidak yakin apakah dengan pindah ke Pangkalan Bun bisa membuat masalah selesai. Makhluk itu bisa mengikuti mereka hingga ke Pulau Bali. Apalah artinya hanya sekadar memburu mereka ke Pangkalan Bun? Sudah pula diketahui bahwa makhluk ini lebih kuat dari entitas-entitas purba yang lain. Para tetua di sana bahkan telah angkat tangan untuk masalah mereka.
"Kita menunggu keterangan Pak Dehen saja," putusnya kemudian.
"Siapa itu?" tanya istrinya.
"Orang dari Loksado yang mengerti hal-hal gaib. Dia sedang bertapa untuk mengetahui masalah kita. Semoga dia mendapat solusi secepatnya."
"Sampai segitunya masalah ini?"
Jatah mempererat pelukan. "Aku khawatir masalah kita lebih besar dari yang kita duga. Kita kan tidak punya pengalaman dengan hal-hal gaib begini. Bagaimana dengan orang tuamu di Semarang, apa bisa kita tanyakan?"
Puput serta merta menggeleng. "Kita bisa diketawakan kalau bicara ini dengan Papa dan Mama di Semarang. Atau malah dipaksa pulang ke sana. Kamu mau pulang ke Semarang?"
Tentu saja, Jata tidak mau ke Semarang. Tidak ada sumber pencaharian di sana. "Kita bisa makan pasir dan batu kalau pindah ke sana."
"Pasir dan batunya kita jual," usul Puput sambil meringis.
Jatah tertawa. "Yuk, kita mandi."
Puput mengangguk. Ia menunggu sebentar, lalu ....
"Mandiin!" pinta Jata dengan setengah memaksa.
"Sudah kuduga kamu bakal ngomong begitu!" gerutu Puput.
Jata terbahak. Puput merengut.
"Nggak tahu diri banget kamu, ya, Kak! Siapa pasien di sini, coba!"
Tawa Jata semakin keras. "Tuh, tuh! Bukan judes itu namanya? Ya, udah mandi bareng, yuk?
"Aku baru datang bulan! Risih aja kamu lihat."
"Ya, ya, ya. Kamu duluan kalau begitu."
Hari masih gelap. Sebentar lagi petugas cleaning service akan membersihkan kamar. Demi tidak memperlihatkan kedekatan mereka kepada orang asing, Jata turun ke sofa bed, lalu melanjutkan tidur. Ia terlelap sejenak dan terbangun karena suara pintu kamar mandi yang terbuka. Saat menoleh, ia menemukan istrinya berdiri di ambang pintu dengan mata terbelalak dan napas tersekat.
"Put?" panggilnya dengan terheran.
"Kaaaakkk ...!" desisnya gemetar. Matanya menatap nanar ke sebuah sudut kamar.
Jata dengan sigap bangkit dan memeluk istrinya sambil mengamati arah pandang Puput. Ia hampir lupa bernapas saat menemukan seekor buaya besar, berwarna kelabu kehitaman, melingkar di sudut kamar dengan moncong menganga lebar mengarah ke mereka.
Belum sempat bereaksi apa pun, buaya itu meloncat ke arah jendela dan menghilang begitu saja. Padahal jendela tersebut terkunci. Lebarnya juga tidak seberapa untuk bisa dilewati badan buaya sepanjang 7m.
"Apa ituuuu?" Puput gemetar ketakutan.
"Salah satu dari makhluk yang aku bilang kemarin. Jangan takut, yang itu nggak mengganggu kita."
"Dari mana kamu tahu buaya itu nggak mengganggu kita?"
"Dari keterangan Pak Dehen. Yang datang tadi adalah pengintai, utusan penguasa alam gaib daerah barat."
Mata Puput terbelalak. Ia sama sekali tidak menduga akan mengalami kejadian gaib seperti ini. "Aku nggak suka ini, Kak. Perasaanku jadi nggak enak. Pengintai apa maksudmu? Mengintai siapa?"
Jata menjadi bingung, apa yang harus dijelaskan. Akhirnya ia cuma bisa menenangkan Puput dengan berkata, "Kita tunggu Pak Dehen saja. Biar dia yang menjelaskan untuk kita."
Jata bergerak mengambil handuk dan baju ganti, berniat untuk mandi. Namun, tangannya ditahan oleh Puput. "Kamu melihat sesuatu lagi?"
Puput menggeleng. "Aku nggak mau kamu tinggal sendiri," rajuknya dengan nada cemas.
"Aku kan nggak kemana-mana. Cuma ke kamar mandi." Dalam hati ia senang dibutuhkan begitu.
"Itu dia. Aku kan jadi sendiri di kamar."
"Masa aku nggak boleh mandi?"
"Boleh. Tapi pintunya dibuka."
"Nanti kalau ada petugas masuk, kamu rela mereka terpesona melihat aku telanjang?"
Wajah Puput sontak merah. "Aku ikut ke kamar mandi."
Jata langsung menyeringai lebar. "Terserah kalau itu maumu. Tanggung sendiri akibatnya."
Puput pasrah saja mengikuti suaminya ke kamar mandi. Namun, tak lama kemudian ia keluar dengan mual sangat.
Terdengar suara tawa membahana dari dalam kamar mandi. "Aku kan sudah bilang, tanggung sendiri akibatnya!"
"Kamu bilang mau mandi, bukan mau beol!" balas Puput dengan sengit.
☆-Bersambung-☆
Harap meninggalkan jejak berupa follow, vote, komen, dan share. Tindakan kecil bagi Sobat Pembaca, tapi mood booster buat Fura.
Makasiiih 😘😘😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top