59. Mesra Lagi



Jata mendengarkan keterangan istrinya dengan saksama. Semuanya sesuai dengan keterangan Asrul. Puput memang merangsek dan menjarah lelaki itu. Kalau begini kenyataan yang sebenarnya, tidak mungkin ia melanjutkan kasus itu ke jalur hukum.

"Aku jadi jijik banget dengan diriku, Kak," ratap gadis itu. "Rasanya ada yang menggerakkan badanku. Aku mau berhenti, tapi nggak sanggup. Lalu...."

Jata menunggu. "Kenapa kamu bisa terluka?"

"Tahu-tahu, pas Kak Asrul sudah ... astaga, Kak... masa aku mau ... mau...." Puput menutup wajah dengan kedua tangan. "Jijik banget, jijik banget!"

Jata tak tahan lagi. Ia menghambur ke sisi istrinya lalu memeluknya erat. Puput segera membenamkan diri dalam kehangatan dada suaminya dan terisak-isak di sana.

"Aku minta maaf. Aku minta maaf, Kak," rintihnya berulang-ulang.

"Aku maafkan, Put. Aku maafkan. Aku sayang kamu. Jangan lanjutkan kalau kamu tidak kuat."

Puput merenggang dari pelukan, kemudian mendongak. "Aku mau selesaikan, biar semuanya tuntas. Pas mau ... mau ... itu tadi, tiba-tiba ada yang menerjang. Habis itu aku nggak ingat apa-apa. Tahu-tahu ada Kakak. Jadi aku nggak tahu, aku terluka karena apa. Barangkali karena terjangan itu."

"Kamu tahu makhluk apa yang masuk ke tubuhmu?"

"Nggak tahu. Apa benar ada yang masuk ke tubuhku?"

"Aku dan Papa sedang menyelidikinya."

Mata Puput melebar. "Apa yang kamu alami selama ini bukan halusinasi?"

"Kayaknya gitu."

Tiba-tiba semuanya tampak mengerikan bagi gadis itu. Makhluk gaib? Dan sekarang makhluk entah apa itu telah menyerang dirinya dan Jata. "Aku semakin ngeri, Kak."

Jata membenamkan kembali Puput dalam pelukan. "Nggak papa. Kita hadapi saja bersama. Hmm, apa waktu itu aku terlihat seperti orang yang mengidap gangguan jiwa?"

"Jujur, iya, Kak. Waktu kamu gelisah mendengar ini itu, atau melihat aneh-aneh yang aku nggak lihat, lalu ngomong sendiri di Matang Kaladan. Iya, kamu seperti orang yang mengidap gangguan jiwa."

"Kalau sekarang?"

Puput menggeleng. "Enggak. Kamu udah kayak Kak Jata yang aku kenal."

"Kayak apa Kak Jata yang kamu kenal?" tanya Jata sekali lagi. "Aku yang seperti apa yang kamu suka?"

Ditanya perasaannya oleh Jata, wajah Puput merona merah. "Yang keras kepala dan semaunya sendiri," jawabnya lirih, kemudian menggigit bibir sembari menatap wajah rupawan di hadapan itu dengan terpesona.

Jata mengangkat kedua alis. "Seperti itu ungkapan sayangmu, Put?"

"Menurut Kakak harus gimana?"

Jata menunduk, menatap mata indah yang mulai memabukkan kembali itu. "Pertanyaanmu berbahaya."

"Kenapa?"

"Karena bikin aku gila." Sesudah itu ia melumat bibir ranum istrinya, melupakan kenyataan bahwa bibir itu pernah melumat bibir lelaki lain. Rasa cintanya melampaui rasa cemburu.

Puput membalasnya. Setelah peristiwa menjijikkan itu, kembali ke Jata adalah hal yang menenangkan dan menyenangkan. Ia masih belum bisa menikmati sentuhan-sentuhan dan bibir basah yang menjelajah itu. Tubuhnya tetap merasa geli dan tidak nyaman. Akan tetapi, ia tidak mungkin menolak Jata saat ini.

Puput menurut saat Jata membawa mereka rebah. Ia memejamkan mata, berusaha menerima kehadiran lelaki itu. Tiba-tiba, Jata berhenti. Seluruh gerakannya membeku. Kepalanya jatuh di dada sang istri.

"Aku ... aku nggak bisa melanjutkan," bisiknya pilu. Sesudah itu ia turun dari ranjang dan duduk di sofa bed.

Puput menatap nanar. "Kamu masih marah? Kamu jijik padaku karena kasus kemarin?" tanyanya dengan rasa cemas yang membuncah.

Jata menggeleng. "Si adik nggak mau bangun, Put."

"Kak," panggil Puput, lalu turun dari ranjang dan duduk di samping suaminya. "Bisakah kita nggak bikin target-target dulu? Bisakah kita menjalani apa yang kita punya saat ini?"

Jata menoleh dan menemukan mata berbinar itu. Tidak membuat target, tidak membuat tujuan. Bagi dirinya yang selalu penuh rencana dan memegang kendali, kata-kata itu sulit dipahami. "Maksudmu?"

Wajah Puput memerah. "Aku belum menyerah untuk mencoba, Kak," jawabnya.

Jata menatap pilu. "Aku belum bisa menjadi suami yang sesungguhnya."

"Aku juga belum bisa menjadi istri yang sesungguhnya. Jadi, kenapa kita memusingkan apa yang kita nggak punya?"

Jata tercenung mendengar kata-kata yang meluncur dari bibir istrinya. "Aku baru tahu kamu sebijak ini, Put."

"Loh, selama ini menurut Kakak, aku seperti apa? Ayo jujur!"

"Nyinyir, pedas, jutek."

Mata Puput mendelik seketika. "Segitunya? Sadis banget julukanmu!"

"Nah, tuh!" tuding Jata. "Sana mengaca, lihat sendiri gimana mukamu!"

Tangan Puput terulur ke pinggang Jata. Niat hati hendak memilin kulit itu. Apa daya, tangan Jata lebih gesit menangkap dan membekukan gerakannya. Mereka bertatapan sekali lagi. Tanpa disadari, ada yang bertalu riuh di dalam dada Puput, seperti saat baru bertemu pertama kali.

"Kamu keberatankah kalau aku membuatmu senang dengan cara yang berbeda?" tanya Jata dengan perlahan.

Puput menggeleng. "Aku mau mencoba sekarang. Pakai cara apa saja, aku ikut."

Detik berikutnya mereka mengulang apa yang mereka lakukan di bed tadi. Kali ini Puput tidak lagi geli. Ia menurut saja irama gerak Jata.

Jata mulai panas. Puput yang telah pasrah dan tidak tegang benar-benar membuat semangatnya meletup. Ia membaringkan istrinya di sofa. Tangannya bergerak cepat, demikian pula bibirnya. Tubuh mungil berkulit halus itu memabukkan. Walau hanya jari yang dimiliki saat ini, ia akan mengeksekusinya sekarang. Sebelah tangan Jata menyusup ke bawah, ke pakaian dalam istrinya. Puput mulai memejamkan mata menerima sapaan yang membuat darahnya memanas itu.

Jata semakin percaya diri. melihat Puput memulai menggeliat, tangannya semakin cepat mengusap area sensitif istrinya.

"Aku sayang kamu, Put," bisik Jata saat bibirnya menjelajah lekuk leher Puput yang putih.

Puput hanya bisa mengangguk. Denyut panas di bagian bawah tubuh itu telah menerbangkan sebagian akal sehatnya ke awang-awang. Sekarang yang menggebu di dadanya adalah keinginan untuk menjamah Jata lebih lekat. Saat Jata mencolek dan mengusap area sensitifnya dengan lebih cepat, Puput pun membalas dengan mengusap leher dan kepala Jata, merenggutnya dengan penuh hasrat.

Jata mulai bergeser turun untuk menyapa harta kembar Puput dengan bibirnya ....

Tok! Tok! Tok!

Pintu diketuk.

"Permisi, ada visite dokter!" Suara seorang wanita terdengar dari balik pintu.

"Sial!" dengkus Jata sambil cepat-cepat bangkit.

Puput yang semula terpejam, juga kaget dan segera duduk untuk merapikan bajunya.

"Ada apa, sih?" gerundel Jata sambil berjalan dengan menyeret kaki ke pintu kamar.

Setelah pintu terbuka, muncul wajah perawat yang datang membawa termometer, tensimeter, serta troli peralatan. Di belakangnya, berdiri seorang lelaki yang sudah berumur.

"Selamat sore, dokter spesialis kandungan mau visite," sapa perawat itu sambil memperkenalkan lelaki tadi.

"Oh, silakan masuk, Dok," sambut Jata, sambil berusaha menyembunyikan hati yang mendongkol.

Sudah jelas apa yang akan ia tulis pada catatannya setelah kunjungan dokter itu.

Percobaan ke-40. Gagal karena dokter kandungan terlalu rajin visite.


☆Bersambung☆

Buat yang nggak sabar nungguin apdetan, langsung cuuus aja ke Dreame. Cerita ini udah tamat di sana. Sobat bisa memanfaatkan koin gratis di aplikasi itu.

Selamat maraton!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top