55. Bahaya dan Aib
JATA menelan ludah. Pernyataan Puput itu sungguh menyakitkan. Apakah Puput ....
"Kamu jatuh cinta sama Asrul, Put?" tanyanya lirih. Kata-kata itu terasa menyayat saat didengar.
Puput menggeleng. "Aku nggak tahu kenapa aku begini. Aku nggak merasa apa-apa sebelumnya, tapi tadi itu ...." Puput merintih. "Aku nggak tahu kenapa aku mengkhianatimu, Kak Jata."
Selanjutnya, hanya isakan yang terdengar di ruang itu. Jata terhenyak. Ia turun dari ranjang untuk berpindah ke sofa. Entah apa yang harus dilakukan setelah ini. Yang jelas, hatinya sakit sekali.
"Kak Jata. Kamu pasti marah. Aku minta maaf, Kak," pinta Puput.
Jata tidak menjawab, pun tidak memandang wajah istrinya. Ia tahu Puput merana karena rasa bersalah. Ia juga tidak tega memperbanyak penderitaannya dengan mendiamkan. Akan tetapi, dirinya juga tidak tahu bagaimana menghadapi perasaan kecewa yang membuat dadanya serasa diseruduk gajah ini.
Puput tidak berani berbicara lagi. Jata telah menjauh, dan dialah penyebabnya. Masih jelas tergambar dalam benak, di IGD tadi, betapa Jata tertekan saat diketahui telah menikah lima bulan dan istrinya masih perawan. Wajahnya merah padam karena malu. Siapa ia, hingga membuat suaminya menanggung aib seperti itu? Dan sekarang, bukan hanya aib, ia bahkan melempar kotoran ke wajah lelaki baik itu dengan tertarik kepada lelaki lain.
Puput menoleh ke lelaki yang kini berbaring di sofa bed. Ia tahu, Jata tidak bisa tidur, hanya berusaha memejamkan mata. Gurat-gurat wajahnya menunjukkan beban berat yang ditanggung. Puput baru sadar, Jata semakin lemah dan kurus akhir-akhir ini.
Aku minta maaf, Kak Jata. Aku tidak bisa melayanimu dengan baik, bisik hatinya.
☘☘☘
"Jata!" sapa Maria, ibu Jata. Dipeluknya putra sulungnya itu dengan berkaca-kaca. "Kamu kurus sekali."
Jata membalas pelukan sang ibu dengan erat. Sudah lama sekali ia tidak melakukan itu. Ibunya selalu punya cara untuk membuatnya merasa lebih baik. Hanya desahan berat yang ia berikan untuk menyampaikan beban di hati.
Matias menepuk punggung Jata untuk menguatkan. "Gimana istrimu?"
Jata mempersilakan kedua orang itu masuk menemui Puput. Istrinya itu langsung menangis dalam pelukan ibu mertuanya.
"Gimana kasusnya?" tanya Matias. "Kita bereskan sekarang. Biar Mama menemani Puput."
Matias tidak mau menyiakan waktu. Setelah duduk dan minum sejenak, ia mengajak Jata pergi ke tempat Asrul diamankan.
"Papa sempat bicara dengan Dehen," ujar Matias saat mereka telah berada dalam mobil yang meluncur menuju kompleks PLTA Riam Kanan.
"Dari mana Papa kenal Pak Dehen?" Jata keheranan.
"Dehen mencari Papa lewat seorang teman. Kamu pernah kontak dia, kan?"
"Iya, aku sudah pernah cerita ke Papa waktu itu. Dia mundur karena tidak berani. Dia menghubungi Papa untuk apa?"
"Paranormal itu bukan Tuhan. Memang, mereka bisa melihat lebih banyak dari kita, tapi bukan berarti tahu segalanya."
Jata mengernyit dengan bingung.
"Kemarin setelah kamu telepon Papa, dia juga menelepon. Katanya dia melihat pergerakan baru di dunia gaib."
Jata mendengkus keras. Semua hal tentang dunia gaib ini membuatnya lelah dan muak.
"Jata, jangan mengabaikan hal itu sekarang. Kamu harus sadar, kalau kamu itu berada di tengah-tengahnya!"
"Aku tahu, Pa. Aku cuma stres karena nggak bisa berbuat apa-apa."
"Sekarang dengarkan Papa. Begitu dapat ceritamu, Papa bertanya sana-sini, baik orang-orang pintar dari Kalteng, maupun Kalbar. Panjang lebar pokoknya. Tapi intinya begini, di dunia gaib, juga ada wilayah-wilayah. Semua punya penguasa sendiri-sendiri. Tapi ada yang licik, kepingin meluaskan teritorial. Nah, dunia gaib di wilayah Kalteng dan Kalbar, dan seluruh Kalimantan sedang resah. Ada entitas baru yang melejit di Kalsel. Dia ingin menyebarkan pengaruh ke barat, utara, dan timur. Yang paling dekat tentu Kalteng."
"Apa hubungannya dengan aku dan Puput, Pa?"
"Papa juga nggak tahu. Yang jelas, entitas baru ini tengah meresahkan penguasa-penguasa purba. Dan dia kuat sekali, sewaktu-waktu akan menyerang."
"Lalu?"
Matias mengangkat bahu. "Sepertinya dia menunggu sesuatu. Papa rasa itu seperti momentum atau persyaratan tertentu. Barangkali sedang mengumpulkan kekuatan."
"Bisa dimengerti. Tapi, kembali lagi, apa hubungannya dengan aku dan Puput? Pak Dehen bilang apa, Pa?"
"Dia nggak tahu apa-apa soal kamu dan Puput dalam hal ini. Gelap banget, makanya dia tidak berani ikut campur. Tahu-tahu, kemarin dia merasakan pergerakan salah satu utusan entitas purba dari wilayah barat ke tempatmu. Menurutnya, ini perkembangan baru yang mengkhawatirkan. Dari situ dia merasa harus ikut serta dalam babak baru ini."
"Kedatangan entitas purba dari barat? Kapan?"
"Waktu Papa cocokkan ceritamu dan cerita dia, kejadiannya persis saat kejadian kasus Puput."
Jata merinding seketika. "Utusan itu ... apa wujudnya?"
"Buaya," jawab Matias.
Jata terhenyak mendengar penuturan sang ayah. "Ada makhluk baru lagi. Sebelumnya aku melihat makhluk dari kelompok yang aku ceritakan. Bentuknya berbeda dari makhluk yang pertama. Yang baru datang ini cuma tiga. Bentuknya wanita cantik, tinggi dan putih, tapi bertanduk dua. Cuma, kayaknya kekuatannya lebih dari makhluk-makhluk hitam yang dulu. Dia cuma meniup kecil aja, aku sudah terpelanting ke belakang. Remuk rasanya dadaku."
Matias terdiam sesaat. "Dari yang Papa tahu, semakin bagus bentuknya, semakin tinggi tingkatannya. Kemungkinan yang datang ke kamu terakhir itu adalah makhluk yang lebih tinggi tingkatannya."
"Dia manggil-manggil aku. Kemarin siang dia mendatangi aku lagi. Apa ada kaitannya dengan Asrul dan Puput?"
Jata kemudian menceritakan rentetan peristiwa aneh yang dia alami. Mulai dari peristiwa di bendungan hingga kasus torpedo kambing.
"Dunia gaib memang sering meminta tumbal, Jata. Tapi kenapa mereka cuma meneror kamu, Papa tidak tahu. Mengapa mereka menunggu selama itu untuk mengambil kalian? Kalau mau kan sudah dari dulu. Sekarang sudah lima bulan sejak kasus pertama di Bali itu, kan?"
Jata mengangguk. "Pak Dehen kasih saran apa, Pa?"
"Dia sedang menyepi di Danau Loksado untuk menghubungi entitas purba dari barat itu. Harapannya, dengan bantuan mereka dia bisa membantu kalian."
Jata langsung merinding. Apalagi yang akan mereka hadapi di masa depan? Perang dunia mayakah? Oh, Jata lebih baik diturunkan jabatan daripada harus menghadapi perang aneh itu.
"Aku sekarang bingung. Aku harus ngapain?"
Matias mendesah panjang "Kita tunggu saja Dehen selesai bertapa."
"Berapa lama itu?"
"Papa juga tidak tahu. Barangkali 40 hari 40 malam."
Jatah mendengkus. Apapun bisa terjadi dalam 40 hari. Apakah ia dan Puput sanggup bertahan selama itu?
"Apa aku pindah aja ke Pangkalan Bun sekarang? Atau aku kirim Puput ke sana untuk tinggal dengan Mama dan Papa?"
"Dia mau pindah?"
"Nah, itu anehnya. Dia mati-matian menolak dan mengamuk setiap diajak pindah."
"Papa kok merasa dia juga bagian dari masalah ini. Coba kamu nanti tanya lagi, apa yang dia alami atau dia rasakan. Siapa tahu ada petunjuk."
Jata hampir bercerita bahwa Puput tiba-tiba tertarik pada Asrul. Namun, mulutnya terkunci. Itu adalah masalah rumah tangga yang belum tentu kebenarannya. Ia menunda untuk menceritakan hal itu kepada sang ayah.
"Aku merasa aneh dengan diriku. Setiap dekat dengan Wina, aku merasa ada angin dingin atau bau-bau kembang setaman. Habis itu jantungku langsung berdebar-debar dan kayak jatuh cinta. Apa itu juga termasuk bagian dari hal gaib?"
"Wina? Mantan pacarmu itu? Ketemu di mana kalian?" Suara Matias langsung meninggi.
"Dia staf administrasi di kantorku."
Mata Matias langsung menatap tajam mata putranya. "Tahu begitu, kenapa tidak minta pindah dari dulu? Kamu ini memang keras kepala dan suka mencari penyakit! Dekat-dekat dengan mantan itu berbahaya, Jata!"
Tak ada yang bisa dilakukan Jata selain meminta maaf. Setelah tiga puluh tahun menjadi anak Matias, kini ia mengakui bahwa kata-kata pedas itu banyak benarnya.
☆-Bersambung-☆
Harap meninggalkan jejak berupa follow, vote, komen, dan share. Tindakan kecil bagi Sobat Pembaca, tapi mood booster buat Fura.
Buat yang penasaran banget gimana kelanjutannya, cuuus aja ke Dreame. Di sana udah tamat loh. Dukung Fura, ya.
Makasiiih 😘😘😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top