54. Suami yang Payah


JATA mengeluarkan mobil dari halaman. Sekilas diamatinya rumah. Tak ada tanda-tanda Asrul menyusul keluar. Barangkali lelaki itu masih terkapar di halaman. Walau bagaimanapun, Jata merasa tidak nyaman meninggalkan lelaki itu dalam kondisi terluka. Akhirnya, ia singgah untuk melaporkan kejadian itu pada Gani, ketua RT mereka.

Bu Gani meminjamkan baju untuk mengganti baju Puput yang berlumuran darah dan tidak bisa dikancing. Puput juga diberi minum teh hangat agar lebih tenang.

Gani segera melapor pada keamanan kompleks. Bersama tiga anggota keamanan, Gani mendatangi rumah Jata dan menemukan Asrul masih terbaring lemah di halaman belakang. Mereka memborgol Asrul dan mengamankannya di rumah Gani.

Setelah melapor, Jata melarikan Puput ke Banjarbaru. Sepanjang perjalanan, bila memungkinkan, tangannya menggenggam tangan istrinya yang sedingin es.

"Jangan mikir apa-apa. Yang penting sekarang adalah mengobatkan kamu," hiburnya. "Pening?"

Puput mengangguk. Jata meminggirkan mobil, lalu memeriksa kepala Puput. Luka selebar lima senti itu masih mengeluarkan darah.

"Minum, Put." Jata memberikan minuman kemasan yang diberikan Bu Gani. Sesudah itu ia mengebut ke rumah sakit terdekat.

Tiba di IGD, ia langsung menggendong Puput ke pintu masuk. Seorang perawat menyambut dengan kursi roda. Saat itulah, Jata melihat rok bagian belakang Puput turut ternoda darah. Jata lemas seketika. Pikiran paling buruk terbayang. Ia ingin bertanya, namun melihat kondisi Puput yang syok, niat itu urung.

Puput meraba pantatnya dan kaget menemukan darah di sana. "Kaaak!" ratapnya. "Apa aku...?"

"Sssh! Nanti saja, setelah diperiksa lengkap."

"Kak Jata, aku ...." Puput tidak menyelesaikan kalimat karena perawat telah memindahkannya ke tempat tidur.

Jata mengangguk dan mengelus kepala istrinya dengan terenyuh. "Aku sayang kamu, Put. Apa pun yang terjadi, aku tetap bersama kamu. Jangan pernah ragukan itu, ya?"

Jata bersungguh-sungguh. Biar bagaimanapun, Puput adalah istrinya. Ia marah pada Asrul. Itu pasti. Ia juga kecewa karena kesempatan pertama itu diberikan kepada Asrul, alih-alih dirinya. Tapi, bukankah Puput adalah korban yang harus dirawat dan dijaga?

Jata mencium tangan istrinya yang dingin. Biarpun yang terburuk terjadi, Puput sampai mengandung anak Asrul misalnya, ia akan tetap mengakui anak itu sebagai anaknya. "Aku sayang kamu selamanya," bisiknya sekali lagi.

Puput mengangguk kembali dengan air mata membanjir di pipi.

Seorang dokter jaga datang menanyakan kronologi kejadian dan melakukan beberapa pemeriksaan. Ia kembali ke nurse station, lalu datang kembali bersama dokter lain yang lebih senior.

Sang dokter senior yang datang kemudian itu memeriksa lebih teliti. Bagian kewanitaan Puput diperiksa karena ada darah yang mengalir di sana. Jata mendampingi dengan berdebar. Ia semakin berdebar manakala sesudah memeriksa, dokter tersebut melapor kepada dokter spesialis. Mereka berbicara dengan serius.

"Sakit banget?" tanya dokter itu pada Puput setelah selesai berkonsultasi.

Puput mengangguk. "Iya, Dok."

"Apa setiap datang bulan juga nyeri?"

Puput mengangguk lagi. "Iya, Dok. Tapi lebih nyeri yang sekarang."

"Ada luka di kemaluannya, Dok?" tanya Jata.

"Oh, untungnya tidak ada," kata si dokter. "Bapak suaminya?"

"Iya, benar."

"Bapak tidak tahu kalau istrinya masih perawan?"

Entah itu kabar buruk atau kabar baik. Yang jelas Jata merah padam dibuatnya. "Maksud dokter?"

"Istri Bapak masih perawan," kata si dokter sambil tersenyum-senyum simpul. "Darah haidnya keluar lebih banyak dari biasa sehingga ada yang menggumpal. Karena bentuk selaput daranya seperti saringan, maka gumpalannya susah keluar. Itulah yang membuat nyeri."

"Kamu datang bulan, Put?" tanya Jata pada istrinya.

"Harusnya empat hari lagi. Nggak tau kok maju tiba-tiba."

"Nah, untuk luka di kepala, akan dijahit setelah ini. Karena tadi sempat pingsan, maka istri Bapak diopname untuk observasi, ya," saran sang dokter. "Sebentar lagi dokter kandungan datang."

Jata lega dengan keterangan tersebut. Paling tidak Asrul belum sampai ke hubungan intim. Ia bersyukur datang tepat waktu.

Kelegaan Jata tidak berlangsung lama. Dokter kandungan datang tidak sendiri. Pria berusia lima puluh tahunan itu membawa serta pasukannya. Tiga orang koas, dua orang calon bidan, dan satu bidan senior mengerumuni Puput di meja periksa.

Mereka berbicara dengan istilah-istilah medis yang asing di telinga Jata. Yang jelas, Jata tahu selaput dara istrinya langka. Ia yakin sang dokter kandungan—yang ternyata dosen kedokteran itu—merasa perlu untuk menunjukkan hal itu kepada para siswanya.

"Sudah berapa lama menikah?" tanya dokter.

"Lima bulan." Puput yang menjawab.

Jata mengalihkan pandangan ke tempat lain, tak sanggup membalas tatapan penuh prasangka yang ditujukan kepadanya. Sekarang semua orang itu tahu bahwa ia suami yang sangat payah.

☘☘☘

Jata setia mendampingi istrinya sejak penanganan di IGD hingga ke ruang perawatan. Tentu saja, ia memilih kamar VIP agar tidak ada lagi para siswa yang menjadikan istrinya bahan pelajaran. Ia juga menyempatkan diri menelepon ayahnya, yang berjanji untuk segera datang.

Puput sudah lebih tenang, namun tak mau ditinggal sendiri. Beruntung ada Pak Gani dan Bu Gani yang sangat membantu mencarikan baju ganti, makan, dan keperluan lain. Kalau sudah begini, Jata merindukan keluarga besarnya. Di Pangkalan Bun, ia tak kesulitan untuk mendapatkan bantuan.

"Gimana, Put, masih pening?" tanya Jata.

Puput menggeleng. "Udah enggak, Kak. Tinggal lemesnya."

Jata naik ke pembaringan dan memeluk istrinya. "Sudah bisa cerita apa yang terjadi tadi?" bisiknya di telinga Puput.

Puput menggigit bibir. "Aku cuma ingat samar-samar."

"Teruskan," bisik Jata. Sambil mempererat pelukan, dikecupnya lekuk leher Puput untuk membuatnya nyaman.

"Kamu bakal jijik sama aku, Kak," rintih Puput.

"Nggak akan."

"Kamu pasti jijik!" Puput mulai menangis lagi.

"Sssh! Kalau belum sanggup cerita, nggak papa."

Tangis Puput terhenti. Ia berbalik menghadap suaminya. "Tadi itu ... tadi itu ... sepertinya aku bersalah banget sama kamu, Kak."

Puput tak sanggup bercerita lagi. Walau samar, ia masih mengingat semua sentuhan Asrul. Ia masih ingat pinggangnya ditarik dan bibirnya dicium. Ia tahu dirinya bergairah karena sentuhan itu. Astaga, ia lebih parah dari Jata dan Wina. Mereka cuma berpelukan. Ia tadi sempat melihat Jata menjauh dan berusaha berkelit. Hati kecilnya tahu Jata tidak menginginkan tindakan Wina. Sedang ia dan Asrul? Memalukan!

"Tidurlah. Besok orang dari kantor pasti akan menanyai kamu karena Asrul terlanjur diamankan."

Puput terkesiap. Ia tidak menyangka masalahnya akan melebar seperti itu. "Lalu aku harus ngomong apa, Kak?"

Jata mengelus pipi pucat itu. "Kalau kamu tidak mau bercerita sama mereka, tidak apa. Tapi, jujurlah padaku supaya aku bisa membelamu."

Puput menangis. Apa yang akan dibela Jata? Layakkah ia dibela? "Kamu boleh menceraikan aku setelah ini, Kak. Aku sudah bersalah padamu."

Jantung Jata berdebar mendengar kata-kata Puput. Semula, ia mengira Puput dilumpuhkan Asrul sebelum lelaki itu melancarkan aksi. Luka di kepala itu yang membuatnya berpikir begitu. Bila demikian, seharusnya reaksi Puput sekarang adalah ketakutan atau bahkan sangat marah pada lelaki itu. Bukan seperti sekarang, merasa melakukan kesalahan.

"Kalian melakukan apa tadi?" bibirnya gemetar saat menanyakan itu. Ia duduk dan mengamati Puput yang kembali terisak.

Puput menutup wajah dengan kedua tangan. "Aku ... aku lebih hina dari Wina!"

☆-Bersambung-☆

Komen, pleaseee ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top