42. Pindah Tidur
WINA sebenarnya hanya ingin bergurau. Apes, Jata rupanya tengah sensitif. Lelaki itu langsung mendesis dengan kening berkerut dan bangkit hendak pergi. Wina segera membuat isyarat dengan tangan untuk membuat Jata duduk kembali.
"Aku cuma bercanda, Jata. Astaga! Semenjak menikah kamu udah kayak anjing beranak aja, galak banget. Jangan berpikir yang aneh aneh! Kamu nggak berbuat aneh kok di dalam mimpiku. Cuma lewat di depan rumah, tapi nggak menoleh waktu dipanggil."
Jatah diam saja. Cerita itu terlalu klise. Bisa saja Wina hanya mengarang.
"Nah, itu ceritaku. Sekarang apa ceritamu?"
Jata menarik napas panjang sebelum berbicara. "Aku beneran lihat kamu di Matang Kaladan. Kamu datang naik ojek bareng seseorang. Dia laki-laki dan ganteng banget. Waktu aku samperin, mukamu berubah menjadi hitam dan mengerikan. Lalu mulutmu terbuka lebar mau mencaplok kepalaku."
Wina membelalak sebentar, lalu merengut. "Nggak adil banget! Kenapa penampakanku menjadi monster?"
Jata mendengkus untuk menanggapi. "Mana aku tahu penampakanmu bakal seperti monster atau monyet?"
Wina mengerjap dan mengerling genit. "Kayak apa cogan yang bareng aku? Beneran ganteng?"
"Nggak usah dibahas. Dia juga jadi-jadian."
"Dia nggak berubah jadi monster?"
Jata menggeleng.
"Ganteng mana dibanding kamu?"
Jata mendelik.
"Jata, jangan pelit informasi. Kukutuk kamu ketemu monster itu lagi!"
"Dia mirip Lee Min Ho," jawab Jata asal sebut saja.
Wina langsung memekik sambil memegang kedua pipi. "Senangnya bareng oppa ganteng, biar cuma dalam halusinasimu aja! Nih, permen buat hadiah." Wina membuka stoples permen yang tersedia di meja. Dengan halus, Jata menolak.
"Jata, yuk kita datangi orang pintar."
"Di mana? Aku nggak mau sembarangan. Salah-salah malah menimbulkan masalah yang lebih besar."
"Ada. Aku punya kenalan yang pinter banget. Sewaktu mau ngedapatin Dedi, aku minta bantuan dia."
Kening kata langsung berkerut maksimal. "Kamu ngedapatin Dedi dengan memakai bantuan dukun? Wah, kebangetan kamu, Win!"
Mata Wina bergerak-gerak seperti orang yang kepergok mencuri. "Kalau nggak begitu, mana bisa aku dapat suami high quality?"
"Aku lebih baik datang ke psikiater daripada ketemu dukunmu itu!" sergah Jata.
Wina tersenyum. "Aku cuma memberi saran, Jata."
Jata menyimpan kartu BPJS Puput ke dalam saku. Niat hati ingin segera pergi. Puput pasti telah menunggu di rumah. Namun, kisah dukun tadi sungguh menggelitik rasa ingin tahu. "Kalau dukunmu benar-benar hebat, kenapa tidak kaupakai untuk membatalkan perceraian?"
Wina tersenyum sabar. Jata belum pernah melihat Wina tersenyum seperti itu. Ia terbiasa melihat senyum centil perempuan itu. Senyum yang diberikan Wina saat ini adalah senyum wanita matang yang telah banyak memakan asam garam kehidupan.
"Masalah pernikahanku dengan Dedi nggak bisa diselesaikan dengan dukun." Wina bertutur dengan nada yang dalam. "Nggak ada dukun yang bisa membuatku memiliki anak."
Mau tak mau hati Jata tersentil. Jadi bukan masalah perselingkuhan yang membuat mereka berselisih. Ternyata masalah anak.
"Kalian sudah ke dokter?" tanya lelaki itu dengan hati-hati.
"Sudah." Wina terlihat semakin murung.
"Apa hasilnya?"
"Dia kekurangan bibit," lirih, bibir seksi itu menjawab, disambung dengan senyum getir. "Dia yang bermasalah, dia juga yang menggugat cerai."
Jata mendengarkan dengan mengerutkan kening. "Bukannya kamu yang menggugat, Win?"
"Tadinya begitu, aku yang menggugat. Eh, dia datang ke Bos, tidak terima digugat. Drama banget gayanya, memohon-mohon. Ya udah. Aku batal mengirim surat gugatan. Habis itu, tahu-tahu malah dia yang duluan menggugat. Nggak mau kalah banget, kan?"
Jata terdiam. Ternyata pernikahan bisa seperti film serial televisi begitu.
"Jangan heran," sambung Wina. "Ego lelaki itu besar banget. Dedi nggak pernah percaya dengan hasil pemeriksaan dokter. Dia dan keluarganya tetap menyalahkan aku sebagai pembawa masalah sekalipun aku dinyatakan sehat. Dia bahkan mengungkit-ungkit masa laluku dengan Handi."
Wina memang sempat hamil saat bersama pacar keduanya. Sayang, seperti tahu kehadirannya tidak diharapkan sang ayah, janin itu gugur saat berumur dua bulan. Wina bercerita, dirinya sempat berduka berbulan-bulan karena kehilangan itu.
"Mereka menuduhku menggugurkan kandungan. Sakit banget, Jat, kalau ingat itu," kata Wina mengiba. Tentu saja ia tidak bercerita tentang kebiasaan menghamburkan uang suami untuk menghibur diri di kelab malam.
Mau tak mau hati Jata tersentuh mendengar cerita itu. Memang benar, tidak boleh menghakimi seseorang berdasarkan penampilannya saja. Seseorang berperilaku tertentu pasti memiliki alasan kuat untuk melakukannya.
"Kamu sendiri bagaimana? Kamu bahagia dengan pernikahanmu?" Wina balik bertanya. "Pasti masih bahagia, ya. Kan masih masa-masa bulan madu." Wina menjawab sendiri pertanyaannya.
Jata menjawab dengan senyum getir.
"Syukurlah. Aku senang kamu mendapat pasangan yang serasi. Puput cantik banget. Mana lembut lagi."
Data ingin tertawa dalam hati. Wina belum tahu bagaimana pedasnya mulut Puput.
"Punya istri cantik dan lembut begitu, galakmu harus dikurangi. Perempuan itu berharap disayang-sayang dengan penuh perasaan." Wina mengatakan itu dengan nada dalam, seolah berkata untuk dirinya sendiri.
Jata kembali tersenyum. Mengetahui pengakuan menyedihkan tadi, entah mengapa ia merasa nyaman berbincang dengan Wina. Saat Wina mengakhiri pertemuan itu dengan sebuah permintaan, ia tidak bisa menolak.
"Senang bisa bercerita panjang lebar dengan kamu. Kapan-kapan kita ngobrol lagi, ya?"
☆☆☆
Malam itu, Jata mempertimbangkan saran Wina berkali-kali. Ia masih ragu tentang paranormal yang diceritakan itu. akan tetapi, adakah pilihan lain saat ini? Ah, Jata sungguh malas bila harus bertemu orang aneh.
Jata berbaring miring dan menjulurkan tangan untuk memeluk istrinya yang terlebih dulu terlelap. Ia memejamkan mata dan terlena dalam tidur. Entah berapa lama ia tertidur. Saat membuka mata karena merasakan tubuhnya basah, tahu-tahu ia sudah berada di luar rumah.
Astaga, ia berpindah tidur lagi. Kali ini tak tanggung-tanggung, ia pindah ke teras depan! Jata bangkit karena badannya basah oleh air hujan. Ia berjalan menuju pintu dan berniat masuk kembali. Apa daya, pintu itu terkunci. Dari dalam rumah, ia mendengar orang mengerang dengan suara mengerikan. Kepanikan segera menyergap hati Jata. Ia memikirkan nasib Puput. Dengan sekuat tenaga, ia mendobrak pintu.
Usaha itu gagal. Jata justru terpental. Erangan dari dalam rumah kembali terdengar, kali ini semakin keras. Jata berlari ke jendela, lalu memecahkan kaca. Sekuat tenaga ia merapat naik dan masuk ke kamar. Malang, lehernya ditahan seseorang. Ia jatuh kembali ke tanah ....
Jata terbangun. Kali ini ia benar-benar berada di teras, namun teras belakang. Jata duduk dengan napas memburu dan deru jantung tidak karuan. Ia bingung, saat ini tengah bermimpi atau sudah terjaga. Ditamparnya kedua pipi. Terasa nyeri. Berarti ia tengah terjaga. Dan itu juga berarti ia benar-benar berpindah tidur. Astaga!
Sudut mata Jata menangkap sebuah pergerakan di hutan belakang. Makhluk-makhluk itu muncul lagi! kali ini jumlahnya lebih banyak. Selain itu, ada yang berbeda. Satu di antara mereka sangat mirip perempuan, tinggi dan langsing. Hanya saja, berbeda dari makhluk yang lain, dia miliki dua tanduk. Wajahnya cantik, namun sayang matanya menyala merah. Jata meneguk liur.
"Jaaa – taaaaa!" Makhluk itu memanggil.
Suara yang menggema di teliga itu membuat bulu kuduk Jata meremang. Ia segera bangkit untuk mengambil batang kayu dan berniat menyerbu ke arah mereka. Sebelum niatnya terlaksana, pintu dapur tiba-tiba terbuka. Makhluk-makhluk itu pun menghilang tanpa bekas.
"Kak Jata, kamu ngapain di teras tengah malam begini?" Puput berdiri di ambang pintu dengan wajah keheranan.
☆Bersambung☆
Buat yang nggak sabar nungguin apdetan, langsung cuuus aja ke Dreame.
Cerita ini udah tamat di sana. Sobat bisa memanfaatkan koin gratis di aplikasi itu.
Selamat maraton!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top