4. Gairah Tak Kesampaian
Gairah berbulan madu membuat Jata tidak menyadari bahwa semenjak berangkat dari Semarang tadi, Puput banyak berdiam diri. Seperti saat ini, di tempat menunggu bagasi, Puput banyak melamun. Sejenak gadis itu melepaskan pegangan. Dalam hati ia risih terus menerus bergandengan di tempat umum.
"Put, jangan jauh-jauh," panggil Jata seraya merengkuh bahu istrinya.
Puput merapat tanpa perlawanan. Ia masih merasa sangat bersalah pada lelaki gagah di sampingnya ini. Ia heran dan diam-diam bersyukur karena Jata tidak memarahi walau yakin lelaki itu sangat kecewa. Semalam adalah percobaan mereka yang kedua. Sungguh menyedihkan, dirinya malah menarik diri kemudian meringkuk di detik-detik terakhir. Telinganya bisa mendengar dengkus kasar sang suami yang berusaha meredakan hasrat. Hatinya nyeri saat tahu Jata bergegas ke kamar mandi. Apa yang dilakukan suaminya itu di kamar mandi? Apakah cairan maskulin itu dibuang di sana?
Bagasi mereka datang. Dengan sigap, Jata mengambil koper hitam berukuran jumbo dan satu koper kecil berwarna merah muda. Setelah itu, mereka berjalan ke pintu keluar. Lagi-lagi Jata terpaksa memperpendek langkah untuk mengimbangi Puput.
Bli Alit telah menunggu mereka di gerbang kedatangan.
"Dia tour guide?" tanya Puput dengan setengah berbisik.
"Bukan. Dia mengantar mobil yang kita sewa."
"Kak Jata mau menyetir sendiri?"
"Iya. Kenapa?"
"Emang Kakak tahu jalanan Bali?"
Jata menoleh sambil tersenyum lebar. "Aku beberapa kali ke sini, Put. Tenang aja."
"Nggak bakalan nyasar, kan?" Raut muka Puput tampak khawatir. Terus terang, ia belum pernah bepergian keluar Semarang hanya berdua begini. Biasanya mereka pergi berombongan satu keluarga. Ada dua kakak lelaki dan kedua orang tua yang menjaga. Tak jarang malah bersama om, tante, dan sepupu-sepupu.
Jata hanya terkekeh kecil untuk menanggapi kekhawatiran istrinya.
"Dulu Kak Jata ke Bali sama siapa?" tanya Puput saat mereka sudah di mobil.
"Hmm, pernah dengan teman-teman SMA, teman kuliah, dan keluarga pasti."
"Sama pacar?"
Jata tersenyum lebar mengingat masa-masa pacaran dulu. Bali menyimpan beberapa kenangan indah dan sekaligus perih bersama kedua mantannya. "Pernah."
"Dengan keduanya, Wina dan Kania?"
"Iya, dengan keduanya."
Mata Puput meredup. Memang sama sekali bukan masalah bila Jata pernah pergi dengan siapa pun di masa lalu. Akan tetapi, tetap saja jawaban itu terasa aneh. Dirinya adalah orang ketiga yang diajak ke Bali. Mengapa hal itu terasa tidak enak? Diliriknya suaminya. Lelaki itu terus tersenyum.
"Kak Jata mikirin masa lalu?" tuduh Puput dengan mata memicing.
Jata menoleh dan mengangkat kedua alis. "Hah? Kok masa lalu sih, Put? Masa depan, dong." Tangannya merengkuh bahu sang istri. "Kita kan mau bulan madu, Put," bisiknya.
Puput bukan menjadi tenang karena perkataan Jata. Gambaran malam pertama terulang kembali. Ia akan menghabiskan satu minggu hanya berdua dengan Jata tanpa melakukan hal-hal lain. Bagaimana nasibnya nanti? Menyadari itu, Puput tertunduk sambil memainkan jemari yang tertaut di pangkuan.
Bli Alit mengantarkan mereka ke hotel, lalu meninggalkan mobil di sana. Setelah menyelesaikan pembayaran mobil dan melakukan registrasi di resepsionis, akhirnya Puput dan Jata bisa berdua saja di kamar hotel.
"Aku baru pesan satu malam, Put. Kamu suka kamarnya? Kalau nggak cocok, besok kita bisa pindah."
Puput mengedarkan pandangan ke kamar yang tidak terlalu besar itu. Ia belum pernah tinggal di hotel seperti ini. Walau bukan dari keluarga papan atas, keluarganya cukup mampu untuk membiayai liburan dengan menyewa hotel berbintang lima. Ia juga yakin kemampuan Jata tidak berada di bawah keluarganya, mengingat pekerjaan dan jabatan ayah Jata dan latar belakang keluarga mereka, serta pekerjaan Jata sendiri.
Jata tidak pernah membicarakan pilihan hotel sebelumnya. Puput membayangkan akan dimanjakan dengan fasilitas mewah dan kamar yang eksotis. Kamar khusus dengan pantai privat di halamannya, misalnya, di mana mereka bisa menghabiskan waktu dengan tiduran di tepi pantai. Atau kamar besar di bukit dengan balkon menghadap gunung, sehingga saat memandangi keindahan alam itu mereka bisa berpelukan mesra. Bukankah ini bulan madu? Setidaknya harus berbeda dari liburan biasa, bukan? Kenyataannya Jata hanya memesan hotel dengan budget yang lebih ringan. Entah mengapa, ada kepingan kecil yang tercungkil dari hati Puput.
"Aku pilih ini, karena kamar hanya kita pakai buat tidur dan mandi. Lumayan kan, bisa hemat beberapa juta dari anggaran hotel. Uangnya bisa kita pakai untuk membeli yang lain. Gimana, mau lanjut atau ganti hotel besok?" Jata sebenarnya bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Pikirannya praktis saja, dicoba dulu yang ini satu malam, sekadar untuk tempat mendaratkan diri saat tiba di Bali. Bila Puput tidak suka, nanti gampang memilih yang lain. Ia tidak mengerti bahwa perempuan suka diberi kejutan dan diistimewakan.
"Enggak papa, kok. Kalau Kakak pikir itu baik, aku ikut aja," jawab Puput seraya menutupi kekecewaannya. Ia mau apa bila alasannya seperti itu? Masa mau minta fasilitas mewah sedangkan semua kehidupannya sekarang dibiayai suami? Dan, bukankah dirinya belum bisa memberikan apa yang seharusnya menjadi milik Jata? Tentu saja ia tidak berhak meminta lebih dari yang diberikan saat ini.
Tanpa berkata-kata lagi, Puput membongkar barang-barang mereka dari koper, lalu menatanya dengan rapi di meja dan lemari. Ia terbiasa rapi dalam segala hal. Melihat isi koper mereka yang berantakan, hatinya mendongkol. Jata asal saja memasukkan barang-barangnya. Koper yang seharusnya bisa memuat banyak menjadi sempit. Ia terpaksa menggunakan koper kedua.
Jata sendiri langsung mandi. Seperti biasa, ia keluar dengan mengenakan handuk saja. Puput tidak ingin melihat. Ia cepat-cepat masuk ke kamar mandi dan berlama-lama di sana. Saat keluar, Jata telah mengenakan kaus dan celana pendek serta berbaring dengan kedua lengan dilipat di belakang kepala. Cengirannya langsung mengembang begitu bersitatap dengan istrinya.
"Udah segarkah? Sini," ajaknya. Tangannya menepuk kasur di sebelah.
Puput menelan ludah. "Sekarang kan masih sore."
"Loh, kenapa kalau masih sore?"
"Kita mau ... sore-sore begini?"
"Mau apa?" goda Jata.
"Ah," desah halus Puput tak mampu menghalau keresahan. Jata tiba-tiba menarik pergelangan tangannya. Mau tak mau ia beringsut ke samping tubuh kekar itu.
"Kita santai-santai dulu. Nanti kalau hari sudah tidak terlalu panas, kita keluar," bisik Jata seraya menatap lekat-lekat mata bening sang istri. Sebelah tangannya merangkul tubuh mungil itu, sebelah lagi memegang remote TV. "Mau nonton apa?"
"Terserah. Yang ini juga boleh," jawab Puput. Ia agak lega karena diajak menonton. Dibiarkannya Jata mengecup kening dan pipinya.
Beberapa menit, tak ada pergerakan apa pun selain hanya dada yang naik turun karena napas. Puput semakin santai dan mulai menikmati film yang ditayangkan. Ia tidak tahu bahwa hanya mata Jata saja yang menatap televisi. Seluruh perhatian lelaki itu sesungguhnya tercurah pada dirinya. Baru setelah tangan Jata beralih dari memegang remote ke perutnya, jantung Puput mulai menderap karena gelisah. Tangan itu menumpang di sana, lalu mengelus permukaan kulit di sekitar pusar dengan lembut. Napas Puput seketika tersengal. Ditolehnya sang suami. Wajahnya masih menghadap televisi, namun tubuhnya telah miring ke arahnya.
Merasa tidak mendapat perlawanan, Jata semakin percaya diri. Tangannya menyusup ke balik kaus Puput dan mulai bergerak ke atas. Puput menggigit bibir. Sentuhan itu membuatnya geli sehingga ia menggelinjang sedikit. Hasrat hati ingin menepis tangan sang suami. Akan tetapi, ia ingin pasrah kali ini. Karena itu, segala rasa geli yang dirasakan ditahannya.
Jata mengira tawa kecil itu menunjukkan rasa suka. Tanpa ragu ia meneruskan niat. Usapannya semakin mantap, seiring dengan tubuhnya yang memanas. Ketika melihat Puput hanya berdiam diri, tangannya semakin giat beraksi, berpindah dari dada sang istri kembali ke bawah. Baru akan menyusup ke balik pakaian dalam gadis mungil itu, tahu-tahu otot-otot Puput menegang. Tangannya dicengkeram dan ditepis.
"Kaaaak, geliii!" Pekikan tertahan itu membuat perhatian Jata buyar.
"Hah?" Jata terkaget. Belum sempat mencerna keadaan, istrinya telah membelot dari pelukan dan berlari ke kamar mandi. Tangan Jata hanya mengelus seprei. Percobaan ketiga gagal bahkan sebelum dimulai.
Jata meraba adik kecilnya. Senjata yang sudah terlanjur loading harus ditembakkan. Dengan mendengkus, ia bangkit lalu menggedor pintu kamar mandi.
"Mau apaaa?" teriak Puput dari dalam.
"Mau membuang calon anak-anakmu!"
===TBC===
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top