37. Pasangan Mesum
MENDENGAR suaminya kembali manja dengan minta disuapi, wajah Puput kontan merengut. "Nggak malu apa sama bapak yang punya warung?"
"Enggak. Kenapa mesti malu?" balas Jata. "Aku manja sama istri sendiri, kok."
"Tapi aku malu sama bapak itu, Kakak!" protes Puput.
"Namanya Pak Sadi," sahut Jata. "Aku sudah kenal dekat, udah kayak saudara sendiri."
"Oh, iya. Pak Sadi. Tadi udah ketahuan memeluk kamu lama banget sampai orang yang mengantar makanan malu sendiri. Tahu nggak, Kak? Tadi ada orang mau makan di sini sampai batal, nggak jadi duduk karena lihat kita."
"Bagus, dong. Teras ini jadi milik kita berdua," jawab Jata datar.
Puput mengerjap. Jatanya yang keras kepala dan semaunya sendiri sudah kembali.
"Kok malah bengong? Suapin, Put!" Instruksi itu benar-benar tak bisa dibantah.
"Kamu tuh nyebelin!" Rajukan Puput pun tak bisa dibendung. Tangan lembut Puput akhirnya menyendok nasi.
"Pakai tangan!" perintah Jata lagi.
Nah, kan? keluh Puput dalam hati. Sifat otoriter Jata kambuh lagi. Astaga, mana Jata yang tadi? Ia lebih suka Jata yang stres karena bisa menurut dan pasrah diurus.
Jemari lentik itu mengambil sesuap nasi dan daging patin, lalu menyuapkannya ke mulut sang suami. Mulut Jata terbuka lebar menerima suapan. Dan, sebelum Puput tersadar, jemari itu telah dijilat dengan sangat nakal. Puput spontan menarik tangan, tapi tangan lelaki itu mencengkeram dengan kuat. Gadis itu terpaksa memasrahkan jemarinya dirambah bibir dan lidah Jata.
"Kak Jata! Jijiiiik!"
Jata tidak menjawab karena mulutnya tengah sibuk mengunyah.
"Kamu tahu, Kak? Jariku ini kupakai cebok." Puput memicing dengan sengit.
"Kamu cebok pakai tangan kanan?" sahut Jata dengan nada tak percaya.
"Iya! Kenapa?"
Jata hanya menyeringai tipis tanpa membalas perkataan istrinya. Hal itu justru semakin membakar kekesalan Puput.
☆☆☆
Warung itu berada di atas tepian waduk. Dari teras itu mereka bisa memandang Bukit Matang Kaladan secara langsung. Bahkan puncaknya terlihat jelas dari situ. Awal jalan setapak yang tadi mereka lalui pun terlihat. Jata menikmati patin panggang sambil mengamati jalan setapak tersebut.
Beberapa orang tengah berjalan melewati jalur itu. Jata melihat dengan saksama karena rombongan itu tidak tampak sebagai pejalan kaki biasa. Beberapa orang mengenakan seragam.
Pemilik warung datang ke teras kemudian berdiri di dekat meja mereka sambil memandang ke arah bukit. "Mereka menangkap pasangan mesum."
Jata memperhatikan rombongan yang sekarang tersamar oleh pepohonan. Memang benar, orang-orang itu adalah anggota keamanan desa. "Mereka ditangkap karena melakukan apa, Pak?" tanya Jata.
"Mereka ketahuan berhubungan layaknya suami istri di hutan sebelah sana." Tangan pemilik warung menunjuk suatu daerah berpohon lebat. "Ading[1] tadi lewat jalan setapakkah? Nggak lihat sesuatu yang aneh?"
Jata dan Puput menggeleng.
"Dengar-dengar, mereka ketahuan berhubungan layaknya suami istri di hutan sebelah sana." Tangan pemilik warung menunjuk suatu daerah berpohon lebat. "Ading tadi lewat jalan setapakkah? Beneran nggak lihat sesuatu yang aneh?"
"Beneran, Pak. Aneh seperti apa maksudnya?"
Lelaki yang bernama Sadi itu cuma menggeleng. "Ya sudah kalau tidak melihat apa-apa."
"Tadi sepi sekali. Hanya kami yang lewat di situ," Jata menjelaskan. Tentu saja ia tak mau lagi menyebut makhluk gaib di depan istrinya.
"Belum dengar cerita - cerita lamakah?" tanya Pak Sadi kembali.
Jata semakin tertarik. Ia memutar duduk menghadap lelaki yang berprofesi sebagai peternak ikan tersebut. "Cerita hantu, Pak?"
"Sssst. Jangan menyebut hantu di sini, pantangan."
"Maaf."
"Begini, setiap ada yang berbuat tidak senonoh atau melanggar adat istiadat di bukit itu, akan ada pasukan datang."
"Pasukan itu maksudnya aparat desa?"
"Bukaaaan! Pasukan pemilik area Riam Kanan."
Jata langsung teringat bos besarnya yang bertubuh tambun dan botak. Bukankah si bos bisa dikatakan sebagai "Penguasa Riam Kanan"? Ingin tertawa rasanya bila si bos benar-benar menjadi pimpinan atas makhluk yang dilihatnya tadi.
"Konon katanya, Bukit Matang Kaladan adalah kerajaan gaib[2]. Mereka tidak suka wilayahnya diganggu. Karena itu, mereka menaruh pasukan untuk menjaga keamanan di sekitar bukit," lanjut Pak Sadi.
"Ada yang pernah bilang, Pak, bentuk pasukan itu seperti apa?" Jata semakin tertarik.
Pak Sadi menggeleng. "Nggak tahu. Ada yang bilang, nggak ada seorang pun bisa hidup setelah bertemu mereka."
Seram sekali," balas Jata. Informasi itu baru kali ini didengar. Bulu-bulu halus di tengkuknya seketika berdiri.
Kabar bahwa bukit tersebut angker sudah ia dengar sejak lama. Namun, ia tak pernah menanggapi dengan serius. Buktinya tempat itu malah dijadikan objek wisata. Ia malah menduga bahwa rumor itu sengaja dibentuk untuk meningkatkan kunjungan pelancong dan membatasi mereka supaya tidak berbuat menyimpang. Setelah pengalaman menyeramkan tadi, pendapatnya berubah.
"Kira-kira mau diapakan pasangan mesum tadi, Pak?" tanya Jata.
"Biasanya dicatat di kantor desa, kemudian diberi pengarahan oleh ustadz. Sesudah itu, kalau pasangan mesumnya masih remaja, orang tua mereka akan dipanggil untuk menjemput. Kalau mereka sudah dewasa, akan dipulangkan setelah berjanji tidak mengulangi perbuatan nista itu."
"Apa banyak yang tertangkap mesum di sana?" Puput ikut nimbrung dalam pembicaraan.
"Ya, kalau dirata-rata, setahun mungkin dua atau tiga kali kejadian. Kadang aman sepanjang tahun," terang Pak Sadi. "Oh, ya. Ada pantangan-pantangan selama berada di tempat-tempat tertentu. Adik sudah tahu?"
"Belum, Pak. Apa saja pantangannya?" tanya Jata dan Puput bersamaan.
"Sebut saja, tidak boleh bercanda kelewatan. Tidak boleh buang hajat atau buang air kecil sembarangan. Katanya setelah pulang, pelakunya bakal tidak bisa kencing dan berak."
"Oh, kalau itu saya sudah tahu," jawab Jata.
"Oh, ya, dengar-dengar jalan ke arah Desa Aranio angker juga ya, Pak?" tanya Puput.
"Oh benar, Ding. Ada belokan tajam di pertengahan antara simpang ke kompleks PLTA dengan Desa Tiwingan. Sudah belokannya tajam, menanjak pula. Di situ banyak terjadi kecelakaan. Nanti kalau lewat di daerah itu, jangan lupa membunyikan klakson. Itu tanda bahwa kita meminta lewat dengan sopan."
Mereka kembali terdiam dan mengamati rombongan di kejauhan. Rombongan itu telah sampai di akhir jalan setapak. mereka membelok ke kiri, ke arah masjid.
"Nah, mereka mau diajak ketemu Pak Ustadz."
"Semoga mereka bisa sadar ya, Pak."
"Semoga saja, Ding. Tapi biasanya, kalau sudah sekali melakukan, akan ketagihan. Jadi saya sih ragu kalau mereka kapok. Kalau tidak di sini, pasti akan melakukan di tempat lain." Pak Sadi menghela napas panjang. "Semoga tidak terjadi apa - apa dengan mereka."
Ada terselip rasa iri dalam hati Jata. Mereka bahkan bisa melakukannya walaupun belum resmi sebagai pasangan. Ia dan Puput, yang sudah resmi sebagai suami istri, malah belum punya kesempatan untuk menikmatinya. Sekarang si adik ikut-ikutan menambah beban mental, tertidur panjang tak kunjung bangun.
Satu hal yang membuat Jata heran. Bila benar makhluk yang dilihatnya dan makhluk yang diceritakan pemilik warung adalah makhluk yang sama, mengapa perilaku mereka berbeda?
Mereka memusuhi pasangan mesum, tetapi justru pergi saat ia dan Puput berpelukan. Apakah karena ia dan Puput adalah pasangan suami istri yang resmi? Sungguh membingungkan.
________________________
[1] Ading = adik dalam bahasa Banjar
[2] Diclaimer : kerajaan gaib di Matang Kaladan hanya rekaan penulis
☆-Bersambung-☆
Buat yang nggak sabar nungguin apdetan, langsung cuuus aja ke Dreame.
Cerita ini udah tamat di sana. Sobat bisa memanfaatkan koin gratis di aplikasi itu.
Yuk, maraton baca sampai tamat!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top