33. Gagal Menjadi Manusia
Begitu Wina menghilang dari pandangan, Asrul menatap Jata lekat-lekat. "Kamu nggak merasa aneh dengan Wina? Aku kok merasa dia kasih kamu sesuatu." Kedua tangan Asrul membentuk tanda petik di udara.
Kedua alis Jata bertaut tanda tak setuju. "Macam-macam aja kamu ini." Desakan di selangkangan membuatnya ingin segera pergi dari situ.
"Sesuatu yang bukan dari dunia nyata." Asrul menegaskan dengan ekspresi wajah yang serius dan suara yang direndahkan.
Jatah berdecak. "Bikin malas aja ngomongin hal-hal gaib." Kapan kamu pulang, Sruuuul? ratapnya dalam hati.
"Tapi ini beneran, loh. Jangan dianggap main-main. Kamu tahu nggak? Fitri dulu sampai ngelakuin kenistaan karena dikasih hal-hal begituan sama pacarnya. Jangan pernah menyepelekan masalah mistis." Asrul semakin bersemangat memberi nasehat.
Jata tidak mendengarkan. Denyutan di selangkangan itu semakin memuncak. Benar-benar keterlaluan, geramnya dalam hati. Ia segera berdiri, mengambil kunci mobil, dan segera pergi dari situ selagi masih bisa menahan. Tatapan keheranan Asrul tak dipedulikannya.
"Hey, Jat! Jangan marah! Aku cuma kasih saran, kok!" seru Asrul yang salah paham karena kepergian mendadak itu.
Jata membawa mobil dengan tergesa. Begitu sampai rumah, ia menghambur ke dalam untuk mencari Puput. Gadis itu ditemukannya di ruang tengah, sedang menyiapkan makan siang. Tanpa basa-basi lagi, dipeluknya tubuh putih dan mungil itu dari belakang. Diciumnya lekuk leher yang memabukkan itu.
"Kak Jata, ah!" Puput protes karena sergapan mendadak yang membuatnya risih. "Aku belum mandi, Kak. Badanku bau asam campur terasi."
Namun mulut Jata telah tertutup oleh hasrat sehingga tidak mampu berkata-kata. Dengan lengan kekarnya, tubuh mungil itu diangkat dan dibawa ke kamar. Begitu merebahkan Puput, ia meminta. "Pleaseeee...?
Puput yang tak berani menolak hanya bisa menatap nanar saat suaminya melepas celana. Ia memejamkan mata dengan jijik saat Jata menarik tangannya untuk disusupkan ke balik celana dalam. Dengan tangan yang lain Jata mengelus tubuh dan menghujaninya dengan ciuman yang tergesa.
Kejadian seperti percobaan ke-35 terulang kembali. Kenikmatan itu datang dan Jata merasa lega. Bedanya adalah, kini ia sadar penuh tengah berperilaku aneh. Mengapa dirinya mendadak begitu dikuasai oleh nafsu?
Pada saat bersamaan, ia menemukan Puput mengerutkan wajah dengan tatapan asing. Gadis itu tidak berkata apa-apa, pun tidak melawan. Saat dirinya melenguh, mengerang dan mengejang berirama sendirian, sepasang mata bening itu menatap dengan rasa prihatin yang sangat.
Dipandang dengan iba saat bergejolak mencapai puncak sendirian, sontak membuat Jata merasa hancur sebagai manusia. Ia ingin berhenti saat itu juga, namun tubuhnya telah bereaksi dengan kesadaran sendiri, terus bergerak semakin keras hingga puncak pelepasan itu tercapai. Dan saat semuanya usai, hanya penyesalan dan rasa malu yang memenuhi dada.
"Aku ... aku minta maaf," pintanya lirih. Tangannya masih menggenggam tangan Puput yang berlumuran air mani. "Kamu pasti jijik padaku sekarang."
Puput menatap lelaki yang tengah hancur dari dalam itu. Rasa jijiknya telah menguap sejak awal tadi setelah melihat lelaki itu menggulung diri dan kelimpungan karena hasrat yang menyembur. Betapa malang lelaki ini. Dengan ketampanan dan kemapanan yang dimiliki, Jata bisa memilih perempuan mana pun untuk membuatnya bahagia. Namun, lelaki ini malah terjebak dengan dirinya yang tidak bisa melayani dengan baik.
"Kak Jata kenapa minta maaf?" bisiknya dengan pilu. "Jangan begitu, Kak. Akulah yang bersalah. Aku belum bisa menjadi istri yang baik buatmu." Air mata meleleh begitu saja.
Jata semakin tersiksa. "Aku ... udah kayak binatang, Put," desisnya.
Puput menggeleng. "Kalau itu membuatmu senang, aku nggak keberatan kok. Maaf, aku baru bisa memberimu tangan." Puput terisak dengan keras.
Jata merengkuh Puput. Hatinya biru sekali. Pernikahan macam apa yang mereka jalani? Mengapa pernikahan yang seharusnya membahagiakan itu justru membuat mereka menjadi sepasang insan yang menyedihkan?
☆☆☆
Berhari-hari perasaan hati Jata membiru. Akhirnya ia berniat mengubah suasana dengan mengajak Puput menikmati pemandangan bendungan saat akhir pekan. Setelah mengalami dua minggu penuh insiden yang nyaris membuatnya meragukan kewarasan diri sendiri, Jata ingin mencari suasana baru di alam segar. Siapa tahu suasana alam bisa memperbaiki kondisi kejiwaannya. Bendungan Riam Kanan menjadi pilihan karena dekat dan masih alami.
Hari masih pagi. Jata duduk di kasur, menunggu Puput bersiap. Sekali lagi matanya menatap catatan di notes ponsel.
Percobaan ke-36. Parah. Gagal menjadi manusia.
Dada Jata sesak setiap kali mengingat peristiwa memalukan itu. Gara-gara itu pula ia berpuasa lagi selama dua minggu. Dipandang dengan iba lebih menyakitkan daripada dipandang dengan ngeri. Harga dirinya melorot sampai ke keset kaki. Menjadi manusia yang diperbudak nafsu? Tak pernah terbayangkan dirinya akan berakhir seperti itu.
Puput memeluknya setiap ada kesempatan. Saat malam pun, gadis yang biasanya tegang saat lengannya mulai melingkar di pinggang, kini malah dengan sukarela memeluk. Saat ia balas merengkuh, tubuh mungil itu nyaman meringkuk dan dengan cepat tertidur.
Anehnya, api dalam dirinya seolah padam bak tersiram air es. Ia tidak merasakan apa-apa saat kulitnya bersentuhan dengan kulit Puput. Bahkan saat sang adik tanpa sengaja tergesek pun, denyut hasrat tersebut tak terbentuk. Bila sebelumnya bertemu Wina langsung membuat sang adik bangkit. Kali ini, biar pun Wina merangsek di sebelah, ia tak bergeming. Apakah ini gejala gangguan jiwa? Kabarnya, orang yang depresi kehilangan gairah seksual. Catatan pada notes ponselnya kemarin pagi berbunyi,
Percobaan ke-37. Si adik tidak mau bangun.
"Kok melamun? Mikirin apa?" Puput, yang telah selesai bersiap, bersimpuh di hadapan tanpa disadari.
Jata terkaget. "Enggak, nggak ada apa-apa."
"Belakangan ini Kakak aneh," kata Puput. "Dulu kamu menggebu-gebu. Sekarang terus lesu. Kuantar ke dokter, yuk?"
"Put, kita mau piknik. Kenapa malah mikirin dokter? Aku sehat walafiat."
Puput kembali menatap iba. Ingin membicarakan masalah tidak bangunnya si adik, ia takut membuat Jata tersinggung. Bukankah masalah gagal bangkit itu hal yang sensitif bagi seorang lelaki?
Telah dua minggu pula Jata bertingkah aneh. Tiba-tiba merasa berpindah tidur. Dua kali pindah ke ruang tengah. Dan yang terakhir, pindah ke teras belakang. Saat ditanya, lelaki itu tidak ingat kapan ia pindah.
Puput semakin khawatir manakala Jata kerap mendengar bunyi-bunyi benda jatuh di atap. Beberapa kali dia mencium bau kemenyan dan bunga. Semua itu hanya dia sendiri yang mengalami. Benarkah Jata stres karena gagal berhubungan seksual? Bila demikian, ia berniat melakukannya saat telah siap.
Dua malam yang lalu, dirinya merasa siap untuk melayani Jata. Ia ingin mencoba lagi. Kalau pun gagal, ia bisa membantu suaminya mencapai kepuasan dengan tangan. Karena itu, diajaknya Jata tanpa ragu.
Suaminya menanggapi dengan baik, walau tidak terlalu bersemangat seperti dulu. Ia juga memulai seperti biasa, menggulung dan menyentuh. Namun setelah beberapa waktu, ia berhenti.
"Aku nggak bisa," desahnya.
"Kenapa, Kak?"
Jata mengembuskan napas panjang dan menggeleng. "Aku nggak bisa."
"Kakak masih marah? Aku minta maaf."
"Bukan salah kamu. Tapi aku yang ... ah! Aku nggak bisa."
"Nggak bisa apa?"
"Nggak bisa bangun, Put!"
☆-Bersambung-☆
Komen, please ...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top