29. Dokter Azizah
--o0o--
Dokter Azizah adalah seorang wanita paruh baya yang ramah. Senyum simpatik keibuan selalu terulas di bibir. Rupanya saran teman Jata tidak salah. Puput merasa nyaman dengan dokter tersebut.
Dokter Azizah menanyakan beberapa hal kepada Puput. Gadis itu menjawab dengan lancar. Setelah sesi tanya jawab berakhir, dokter berwajah bulat dan berpipi cubby itu meminta untuk memeriksa Puput. Jata sudah khawatir bila istrinya menolak. Di luar dugaan, Puput pasrah saja naik ke ranjang pemeriksaan yang ternyata berbeda dari ranjang periksa biasa. Ranjang khusus itu memiliki dua sandaran untuk menaikkan kaki.
Puput mengernyit saat diminta meletakkan betis di sandaran tersebut. "Masa, sih, kaki saya harus naik ke situ? Malu, Dok!"
"Nggak usah malu. Pemeriksaannya cuma sebentar, kok," sahut Dokter Azizah dengan logat Jawa yang ramah.
"Sakit, Dok?"
"Nggak sakit. Cuma diperiksa saja."
Jata memperhatikan dengan mengelus dada. Puput benar-benar mirip anak TK. Di mana perempuan anggun nan lembut yang dulu dipikirnya cocok sebagai ibu bagi anak-anaknya kelak?
Puput menoleh ke suaminya, berharap mendapat dukungan. Akan tetapi hanya pandangan tajam yang diterima. Dengan sangat malu, Puput mengangkat kedua kaki ke sandaran. Pasrah sudah, seluruh area kewanitaannya terbuka total.
"Belum pernah berhubungan sama sekali?" tanya dokter Azizah.
Puput menggeleng. "Belum pernah."
"Kalau begitu, saya periksa dari dubur, ya. Tahan sebentar." Dokter bertubuh subur tersebut memasukan satu jari ke dubur untuk memeriksa. Matanya melebar seketika. "Hm, masih utuh. Wah, ini langka," ujarnya. "Mari sini, Mas Jata."
Jata mendekat. Matanya mengikuti arah tunjuk sang dokter.
"Selaput tipis ini namanya selaput dara. Punya istri Mas ini bentuknya langka, seperti saringan."
Jata berkedip melihat benda yang seumur hidup baru sekali itu dilihat.
"Mbak, kalau haid sakit, nggak? Keluarnya lancar?"
"Sakit, Dok. Mengganjal banget di kemaluan."
"Hm, itu karena bentuk saringan ini menghalangi darahnya keluar dengan lancar."
Dokter kemudian memeriksa organ dalam Puput dengan USG sebelum mempersilakan gadis itu turun. Setelah pasangan suami istri muda itu duduk di hadapan, ia menjelaskan beberapa hal.
"Semuanya bagus. Seharusnya tidak ada masalah untuk berhubungan seksual." terang sang dokter.
"Soal bentuk selaput dara tadi, apakah berbahaya, Dok?" tanya Jata.
"Tidak. Selaput dara juga bagian tubuh, sama seperti hidung, telinga, dan lain-lain. Kalau yang lain bentuknya bervariasi, selaput dara juga begitu. Malah ada perempuan yang dilahirkan tanpa selaput dara. Semuanya itu normal."
"Waktu robek pas berhubungan nanti nyeri nggak, Dok?" tanya Puput.
"Rasa nyeri itu tergantung masing-masing. Karena punya Mbak ini selaputnya cukup lebar, akan perlu tekanan lebih untuk menembusnya," jawab Bu Dokter dengan lembut.
Puput seketika meringis dengan ngeri.
"Jangan takut. Membrannya tipis, kok. Saya rasa tidak akan terlalu nyeri. Tapi kalau takut, kita bisa membuat lebar lubangnya supaya lebih mudah ditembus."
"Maksud Dokter?" tanya Puput.
"Dibuat robekan di tengah supaya lubangnya lebih besar. Selain lebih mudah ditembus, juga supaya tidak terasa mengganjal saat haid."
"Kalau dirobek oleh Dokter, setelahnya saya menjadi tidak perawan?" tanya Puput polos.
Dokter Azizah sepenuhnya memahami mengapa Puput melontarkan pertanyaan seperti itu. "Tergantung, mau memaknai keperawanan itu seperti apa. Apakah diartikan sebagai tidak pernah berhubungan seksual, atau diartikan sebagai utuh dan tidaknya selaput dara.
"Kalau yang terakhir, bagaimana dengan perempuan yang dilahirkan tanpa selaput dara? Masa bayi baru lahir sudah tidak perawan?"
Dokter berkulit sawo matang itu tersenyum lebar menyaksikan sejoli yang terbengong.
"Ada loh perempuan yang sudah pernah berhubungan seksual sebelum menikah, datang ke saya minta dijahit kembali selaput daranya. Pertanyaan saya, bisakah perempuan itu dikatakan masih perawan walaupun selaput daranya telah utuh kembali? Dilematis, bukan?"
"Kenapa minta dijahit kembali, Dok?" tanya Jata.
"Semua itu dipengaruhi budaya dan anggapan bahwa seorang perempuan baik-baik itu harus mempunyai selaput dara utuh saat malam pertama. Ada suami yang menceraikan istri karena tidak menemukan darah saat malam pertama."
Sesi konsultasi itu berakhir setelah dokter mempersilakan mereka mempertimbangkan akan melakukan apa terhadap selaput dara Puput.
☆☆☆
Hampir pukul sembilan malam saat Puput dan Jata berkendara menuju kompleks PLTA Riam Kanan. Semenjak keluar dari ruangan dokter tadi, hanya keheningan yang ada di antara keduanya. Mereka tenggelam dalam pikiran masing masing.
Jalan semakin lengang saat mereka mendekati kompleks PLTA. Demikian pula dengan suhu udara, semakin dingin.
"Put?" panggil Jata. Berdiam diri terlalu lama bukanlah kebiasaan Jata.
Puput menoleh. "Ya?"
"Soal selaput dara tadi, kamu bagaimana, Put?" tanya Jata dengan berhati-hati. Ia tahu bahwa masalah selaput dara adalah hal yang sangat sensitif bagi seorang perempuan.
"Aku takut dioperasi," jawab Puput dengan suara lirih.
"Dokter bilang itu cuma operasi kecil."
"Tetap saja menakutkan buatku." Puput mendengkus sejenak. "Lagipula Kakak tidak akan puas kalau sudah robek duluan," lanjutnya dengan nada rendah mirip gumaman.
"Put, jangan berprasangka dulu. Tempo hari aku sudah bilang kalau aku sayang kamu apa adanya. Masih ingat, kan?"
Puput berpikir sejenak, lalu menoleh dengan memicing. "O, aku tahu kenapa bicaramu aneh-aneh waktu itu. Ternyata Kakak mencari tahu, aku masih perawan atau enggak."
Jata mengangkat bahu. "Yah, itu karena kamu selalu ketakutan saat akan berhubungan. Aku lantas berpikir kalau kamu pernah mengalami trauma."
"Cuma itu, Kak?"
"Mmm, aku juga sempat mikir kalau kamu pernah ... ehm, berhubungan seksual dengan seseorang, lantas takut kalau ketahuan sudah nggak perawan."
"Kalau ternyata aku nggak perawan, kamu kecewa, Kak?" Tajam menusuk suara Puput.
"Jangan marah, dong? Kamu nggak dengar apa yang kubilang tadi? Berapa kali harus kuulang, aku sayang kamu apa adanya?"
Puput membuang pandangan ke jendela. Ia tidak berkata-kata lagi.
"Tapi ternyata kamu masih ... kamu tahu sendiri." Jata meraih tangan Puput dan menggenggamnya erat. "Terima kasih sudah menjaganya untukku."
"Aku bukan menjaganya untukmu, Kak!" tukas Puput.
"Loh, lantas buat siapa?" Kekecewaan Jata mulai menggelembung. "Kamu...."
Puput menoleh. "Kamu apa? Kak Jata mikir apa sekarang? Mau menuduh apa lagi?"
"Aku...." Jata menelan ludah, tak sanggup melanjutkan kata-kata. "Perasaan yang sering menuduh yang enggak-enggak itu kamu deh, Put!" Jata balas menukas.
"Kakak, dengarkan baik-baik, ya. Aku menjaganya bukan buatmu, tapi buat diriku sendiri!"
"Loh?"
"Masa Kakak belum pernah dengar slogan 'Stay virgin stay alive'? Umurmu berapa sih, ke mana aja selama ini?"
Jata merapatkan rahang. Ia benar-benar marah sekarang. Apa hubungan umur dengan mengetahui hal-hal seperti itu? Kalau bukan perempuan, sudah kulempar kamu keluar mobil!
Mulut nyinyir Puput masih belum usai memproduksi kata-kata. "Seks bebas itu bikin orang lebih rentan tertular penyakit kelamin. Makanya, menjaga diri tetap perawan dan perjaka sebelum memiliki pasangan yang sah itu pilihan yang tepat. "
Jata tidak menghiraukan. Rasa dongkolnya lebih berkuasa daripada logika. Daripada emosinya meledak kalau ikut-ikutan bicara, Jata memilih mengatupkan mulut rapat-rapat.
Untuk beberapa saat, Puput masih berceramah tentang penyakit kelamin. Jata tidak menanggapi sedikit pun. Lama-kelamaan, Puput merasa juga telah didiamkan oleh suaminya. Apalagi saat menoleh, Jata memasang ekspresi datar.
"Kamu marah, Kak?"
Jata tidak menjawab.
"Kak! Beneran marah nih ceritanya?"
Sunyi. Dalam hati Jata tertawa. Heh, aku nggak akan terpancing, Put!
"Kak?" Puput mengiba.
Rasain, kamu! rutuk Jata dalam hati.
"Aku minta maaf kalau begitu," pinta Puput lirih.
Emang gue pikirin? Jata terus menggerutu dalam hati.
☆-Bersambung-☆
Siapa yang paling ngeselin, Jata atau Puput?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top