16. Makanan Busuk

Sepulang Asrul, Jata mengajak Puput berkeliling sekitar lingkungan rumah. Rumah pertama yang mereka kunjungi adalah rumah Pak Gani yaitu tetangga terdekat mereka. Sepasang suami istri yang ramah itu, menerima pasangan pengantin baru itu dengan senang hati. Setelah berbasa-basi sejenak, Puput menjadi penasaran.

"Siapa saja yang pernah tinggal di rumah itu, Pak?" tanya gadis mungil itu.

"Oh, banyak. Ada suami istri yang membangun PLTA. Lalu sesudahnya sering dipakai mess untuk karyawan-karyawan yang masih single. Mereka dikumpulkan jadi satu di situ."

"Apa sudah lama kosong, Pak?" tanya Puput lagi.

"Lumayan. Terakhir ditempati sekitar lima tahun yang lalu. Tapi selama itu ada kalanya dipakai tukang sementara, paling sebulan atau dua bulan."

"Puput takut kalau angker, Pak. Terpengaruh sama Asrul," sahut Jata.

"Ah, Asrul memang seperti itu. Kadang sok tahu dunia gaib. Saya sih ragu. Soalnya sepanjang saya tinggal di sini, sudah dua puluh tahun, tidak pernah ada apa-apa."

"Nah, tuh," kata Jata ditujukan ke istrinya.

Pak Gani tercenung sejenak. Kemudian berkata dengan ragu. "Mungkin karena hutan di belakang itu masih rimbun dan tinggi, jadi ya kadang seolah ada apa-apa." Ia memberi penekanan pada kata "seolah". Lalu dengan memajukan badan, ia berbisik, "Sebaiknya jangan main-main ke hutan. Masih banyak ular."

Puput meringis. "Bisa masuk rumah, Pak?"

"Bisa! Saya beberapa kali nemu di dapur saya ini."

Jata merangkul istrinya. "Udah kukasih garam di tiang-tiang rumah."

"Kalau soal angker, semua kawasan hutan biasanya angker," lanjut Pak Gani.
"Tinggal kita saja, pandai-pandai menjaga diri. Selama pantangan tidak dilanggar, semua baik saja. Saya kan dari hulu Sungai Katingan di Kalimantan Tengah. Wah, hutan di sana lebih perawan dan lebih angker."

Pak Gani, Bu Gani, dan Jata terkekeh bersamaan. Puput hanya terheran.

"Begini, Dik Puput, orang Dayak itu tidak takut hutan."

Mereka melanjutkan obrolan itu dengan bertukar kisah dari daerah masing-masing sampai teh dan kopi yang disuguhkan habis. Sebelum melepas pasangan suami istri baru itu, Pak Gani memberikan dua lembar daun.

"Dik Jata tahu kan ini daun apa?" tanya lelaki berusia empat puluhan itu.

"Tahu Pak. Itu daun sawang, bukan?"

"Betul, Dik. Tolong dipasang di pintu dan diletakkan di bawah bantal ya."

"Untuk apa, Pak?" Walau tahu kegunaan daun itu untuk menangkal pengaruh gelap, ia meragukan hubungannya dengan kondisinya saat ini. Lagi pula berdasarkan pengamatan Jata, beberapa kerabat atau temannya tetap saja mengalami nasib sial walaupun sudah menyimpan daun itu di rumahnya.

"Terima kasih, Pak," sahut Puput cepat-cepat seraya mengambil daun itu dari tangan Pak Gani. "Nanti akan kami pasang di rumah sesuai saran Bapak."

Dari rumah pak ini, mereka berkeliling halaman sekitar rumah. Di belakang rumah tiba tiba Puput tercenung menatap hutan di hadapannya.

"Ada apa di dalam hutan itu, Kak?"

"Pohon," jawab Jata singkat.

"Yah! Kalau itu aku tahu. Maksudku ada misteri apa di dalam sana?" Mata Puput terus menatap pepohonan tinggi yang rapat yang membuat area di bawahnya gelap.

Jata mengangkat alis. "Misteri? Apa di sana kelihatan seperti ada misteri?"

"Tuh, gelap begitu. Kayak ada yang menyelubungi."

Tiba-tiba angin dingin berembus membawa daun daun kering dari arah hutan itu ke arah mereka. Sebagian daun kering itu berjatuhan di halaman belakang. Sontak, tengkuknya terasa dingin dan bulu remangnya berdiri. Diliriknya sang istri. Ternyata Puput tenang-tenang saja, justru malah tersenyum menatap hutan nan gelap itu.

"Ayo, masuk. Udah sore. Mulai dingin, nih," ajaknya.

Berdua mereka memasuki rumah. Selain warna dindingnya yang merah muda, rumah itu sebenarnya ditata dengan baik sekali oleh Jata. Lelaki itu telah meletakkan seperangkat kursi di ruang tamu lengkap dengan taplak meja dan vas bunga. Di ruang tengah, Jata menempatkan sofa panjang, televisi LED dengan layar 40 inch, satu set meja kursi makan, serta sebuah kulkas. Kamar mereka pun telah dilengkapi dengan kasur busa ukuran besar dan lemari.

"Kita nggak usah beli ranjang, ya Put. Rumah panggung begini enaknya tidur lesehan."

Puput mengangguk. "Dapurnya di mana, Kak?"

Dengan senyum bangga, Jata menggandeng Puput ke belakang. Ternyata dapur itu lebar, memanjang separuh lebar rumah. Di ujungnya, ada kamar mandi kedua dan tempat mencuci baju. Sebuah mesin cuci bertengger anggun di sana. Sebuah kompor gas, rak piring, dan berbagai peralatan dapur telah tersedia dan siap digunakan. Mau tak mau, Puput memuji kesungguhan Jata dalam menyiapkan rumah tangga mereka.

"Udah lengkap banget, Kak. Dari mana kamu tahu harus menyiapkan segala macam barang ini?" tanya Puput.

"Aku dapat daftar barang-barang dari Mama," jawab Jata sambil tersenyum. "Apa masih ada yang kurang? Kalau ada, besok kita akan membelinya ke kota."

Puput menggeleng. "Sementara udah, Kak."

"Sekarang kita mau apa, Put?"

"Gimana kalau mandi terus makan malam?"

"Boleh. Kita mau makan di mana?"

"Makan di Banjarbaru, mau? Atau sekalian jalan-jalan ke Banjarmasin?"

"Turun ke kota lagi? Kayaknya malas, deh. Kita masak yang ada saja, ya?"

Jata setuju. Petang itu mereka habiskan dengan memasak dan makan malam bersama. Mereka memasak cukup banyak dengan harapan sekalian untuk persiapan sarapan esok. Suasana pinggir hutan yang sunyi segera menyelimuti rumah itu. Satu-satunya keramaian hanyalah suara siaran televisi.

Jata melihat Puput yang mulai gelisah. Jam-jam begini biasanya ia mulai melancarkan percobaan-percobaan. Iba juga hatinya. Wajah Puput yang ketakutan semalam masih membuatnya nyeri. Ada baiknya bila ia mengendur beberapa saat sebelum memulai kembali.

"Aku nggak akan ganggu kamu malam ini, Put," kata Jata. "Ayo jangan takut. Duduk di sini, di sebelahku. Aku cuma kepingin peluk-peluk kamu."

Dengan wajah malu-malu, Puput merapat ke samping suaminya. Bahunya segera direngkuh oleh Jata. Lelaki itu benar-benar memenuhi janjinya. Sepanjang malam itu ia hanya memeluk saja.

Malam turun dengan perlahan. Diiringi suara binatang malam, sejoli itu merebahkan diri di pembaringan. Perjalanan panjang dari Kalimantan Tengah ke Kalimantan Selatan telah menguras tenaga mereka. Keduanya segera terlelap dan terayun ke alam mimpi.

Puput bangun keesokan paginya dan langsung menuju dapur. Niat hati ingin memanaskan lauk dan sayur untuk sarapan. Betapa kagetnya saat mendapati sayur dan lauk sudah berubah.

"Kak Jataaa!" pekiknya.

Jata yang baru di kamar mandi tergopoh keluar hanya mengenakan handuk. "Kenapa? Ada apa?"

Dengan wajah jijik, Puput menunjuk piring saja tempat ikan dan mangkuk tempat sayur. Semua makanan itu mengeluarkan bau busuk, seolah telah diletakkan di sana dua hari.

"Nasinya juga, Kak. Lihat, bau dan berlendir begini."

Jata melongok ke rice cooker. Terciumlah aroma busuk itu. "Aneh. Biasanya nggak begini. Apa rice cooker ini rusak?"

"Kayaknya masih baru, ya Kak?"

Jata mengangkat bahu. "Dibawain Mama dari Pangkalan Bun. Kayaknya udah pernah dipakai, sih. Ya udah. Nanti kita beli baru."

Mereka termenung menatap ikan dan sayur di meja. "Sebelum masak udah kamu cuci bersih, Put? Udah kamu masak sampai matang betul?"

Kening Puput berkerut. "Kakak makan semalam gimana, terasa masih mentah? Enggak, kan?"

Jata terheran dengan nada tinggi istrinya. "Loh, aku cuma tanya!"

"Tanya itu lembut, Kak. Kalau yang tadi itu menuduh namanya!"

Setelah berkata begitu, istrinya langsung pergi ke dapur sambil mengangkut piring dan mangkuk dengan kasar. Jata bisa mendengar benda-benda itu diletakkan dengan kasar di tempat cuci. Segera disusulnya Puput ke belakang.

"Put?"

"Apa?" Tajam suara Puput menyerupai bentakan.

Tatapan tajam itu sontak membuat Jata merinding. Ada apa dengan Puput hingga menjadi segalak itu?

===TBC===

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top