9a
"Maafkan aku tak bisa membantumu lagi."
"Kalau begitu, lakukan malam ini. Aku tak ingin orang lain yang mendapatkannya. Aku ingin memberikannya padamu," ucapku padanya.
"Kamu benar-benar rela melakukannya?" tanyanya padaku. Aku mengangguk pasti.
"Maafkan aku," ucapnya lagi.
"Tak perlu meminta maaf, memang sudah seharusnya seperti ini."
Bara membalikkan badanya, akupun mengikutinya, kami duduk bersila dan saling berhadapan.
"Apa kamu percaya pada sebuah cinta?" tanyanya padaku. Aku mengelengkan kepalaku, aku tak percaya cinta itu ada.
"Kenapa?" tanyanya lagi.
"Kalau memang cinta itu ada, aku tak mungkin berada di sini. Aku akan hidup bahagia bersama kedua orang tuaku," jawabku.
"Kamu benar," ucapnya lagi.
"Dulu aku tak serapuh ini, sekarang hal kecil saja sangup membuatku menangis," ucapku lagi.
"Oh ya," ucapnya sambil mengusap air mataku yang tiba-tiba mengalir saat menyebutkan kata orang tua.
"Dulu aku tak pernah peduli dengan orang lain, tapi dirimu, membuatku berbeda. Aku peduli padamu, aku ingin melindungimu, tapi apa dayaku, aku hanya seorang pecundang. Hanya seorang pria bejat yang tak berani menghadapi dunia."
Aku tersenyum dan mengeleng, dia tak seperti itu, dia pria terbaik yang pernah aku kenal, teman terbaik yang aku miliki.
"Itu tidak benar," ucapku terisak "Kau malaikatku, kau satu-satunya orang yang peduli padaku, dan memperlakukanku selayaknya manusia."
Aku tak mengerti kenapa dada ini sesak sekali, kami memiliki cerita yang hampir sama, kurang kasih sayang.
"Jangan menangis, aku tak suka air mata ini, kamu terlihat sangat jelek, aku tak suka," ucapnya, tangan itu kembali mengusap pipi basahku.
Tangisku tak mereda, justru semakin sesak terasa, bersamanya, aku merasa berarti, merasa disayangi. Bara meraihku mendekapku di dadanya. Tangisku kembali tumpah, di dada bidang itu.
"Baiklah, menangislah sesukamu, kalau itu bisa melegakan sesakmu," ucap Bara sambil mengusap lembut kepalaku.
Sesaat kami hanya diam, sesekali sisa isakku terdengar. Rasanya tak ingin malam ini berakhir berganti pagi, ingin tetap di sini seperti ini. Bayanganku tentang esok sudah menari liar dalam benakku, bayangan tangan pria - pria bejat yang akan menjamah bebas tubuh ini.
Aku takut, takut sekali, sampai detik ini aku terselamatkan untuk kesekian kalinya, tapi esok. Tak mungkin akan ada Bara yang lain, itu tak mungkin.
"Aku ke kamar mandi dulu," pamitku. Mataku terasa sembab dan berat. Bara hanya mengangguk pelan.
Kubasuh wajahku dengan air hangat. Wajah itu tampak memerah kulihat di cermin. Malam ini harus terjadi, aku tak ingin orang lain, orang yang tak kukenal mendapatkan mahkota suci ini. Sudah tak ada harapan lagi, ini pilihan hidup yang harus aku jalani.
Setelah mengatur hatiku, aku kembali ke luar kamar, Bara tak ada di tempat tadi. Dia sedang berada di kamarnya, bicara pada seseorang. Sepertinya dia bicara dengan kekasihnya. Aku berdiri di ambang pintu, hanya memperhatikannya yang berbicara sambil mondar-mandir.
"Sudah malam tidurlah," ucapnya setelah mengakhiri pangilan.
"Aku ingin tidur di sini, bersamamu," jawabku sambil berjalan mendekat padanya.
Bara menarik pinggangku, hingga aku merapat padanya. Tangan itu melingkar dipinggangku, sedangkan tanganku melingkar di lehernya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top