8c

"Maaf, aku buru-buru. Sore aku akan menjemputmu." Pria itu menepuk pelan pipiku, dan kembali mengecup keningku. Aku memaksakan senyumku. Sebuah kecupan aku berikan di pipi pria itu, sebelum aku turun.

Seperti apapun dia, Bara malaikatku sekarang. Hanya padanya bergantung sedikit asa yang masih tersisa. Dirinya lah tempatku mengadu dan berkeluh kesah, padanya juga aku mulai berani bermanja.

Siang ini, pikiranku masih tenang, bayangan tentang malam dan para pria hidung belang itu sedikit terhalaukan.

Aku sedang bermain dengan ponselku saat tiba-tiba Jenny muncul di pintu. Wanita jadi-jadian itu mengibaskan rambut palsunya dan berjalan melenggak lenggok ke arahku. Aku bangun dari posisi tiduran, dan duduk bersila di ranjang.

"Kok sampai siang, Mas Bara minta jatah ya?" tanyanya dengan mengangkat dagunya.

"Iya," jawabku singkat.

"Ih, beruntung banget sih, jarang dia ambil anak di sini sampai berulang kali gitu," ucapnya lagi. Aku hanya mengangkat bahuku.

"Kak," panggilku pada wanita jadi-jadian itu. Yang kupanggil hanya mengangkat alisnya yang cetar.

"Kenapa sih, aku sendiri yang di sini? lainnya kamarnya di depan," tanyaku kek Jenny.

"You masih polos soalnya, biar nggak di pengaruhi yang lain."

"Polos gimana?" tanyaku.

"Polos, masih gampang di akalin," ucapnya setengah berbisik."

"Maksudnya?"

"Ih, udah nggak usah banyak tanya, salah omong bisa di cut eyke, end," ucapnya, tanganya bergerak seperti memotong leher. Aku tak paham maksudnya, aku hanya memanggutkan kepala.

"Kak, Mami Erna sama Mas Bara itu saudara kandung ya?" tanyaku lagi.

"Iya, saudara kandung. Beda banget ya, lihat si Mami Bos ih, itu badan apa balai pertemuan, lebar amat. Sedang Mas Bara cakepnya nggak ketulungan, kayak boyband korea."

"Nggak boleh ngatain orang gitu Kak," ucapku. Jenny hanya menyembik.

"Oh, ya. Sampai lupa eyke, Mami Bos minta you ke ruanganya abis ini, setengah jam lagi lah, dia masih keluar." Jenny berdiri dari duduknya.

"Iya, Kak," jawabku.

"Ye udin, eyke mau urus anak-anak yang lain, inget setengah jam lagi."

Aku hanya memandangi langkahnya yang bergerak keluar dari kamarku. Kembali fokusku pada ponsel di tanganku, bermain game yang Mba Mimi unduhkan.

Setengah jam berlalu aku langsung menuju ke ruangan Mami Erna. Jemariku mengetuk pelan pintu yang setengah terbuka tersebut. Ada perintah masuk dari yang punya ruangan.

"Ini, buat kamu." Wanita bertubuh subur itu menyerahkan bungkusan berisi beberapa kapsul berwarna merah hati dan putih.

"Obat apa Mami?saya tidak sedang sakit," tanyaku binggung.

"Obat biar nggak hamidun," celetuk Jenny menjawabku.

"Mulai minggu depan, jam kerjamu bukan hanya malam, siang juga. Besok dan lusa, klien Bara yang memakai jasamu," jelas Mami Erna lagi.

"Ini bayaranmu, simpan baik-baik." Mami Erna menyerahkan amplop berwarna coklat padaku. Aku bergegas mengambil dari tangannya. "Itu, baju baru untukmu." tunjuknya pada sebuah paperbag di atas sofa.

"Terima kasih," ucapku sambil mengambil paperbag berwarna hitam itu. Dia memintaku kembali ke kamar dan beristirahat, karena malam aku kembali bekerja melayani pelanggan.

Amplop berwarna coklat itu berisikan uang sebesar satu juta lima ratus ribu, ini banyak sekali. Pandanganku beralih ke Paperbag dan membukanya, beberpa potong dress dan pakaian dalam.

🍃🍃

Tiga hari berturut-turut, Bara memesanku. Dia hanya mengajakku ke apartemennya, menjamahku sebatas ciuman saja. Kami lebih banyak bercerita, tentang banyak hal. Tentang kerasnya kebidupan, tentang impian dan harapan.

Malam ini kami duduk saling bersandar, membuka tirai, memandang keluar. Kami bukan sepasang kekasih, hanya dua insan yang tertaut karena keadaan dan kesamaan. Beberapa hari mengenalnya, membuatku sedikit tau kehidupannya.

"Apa kau pernah memimpikan suatu pernikahan?" tanyaku padanya.

"Terkadang, bagaimana denganmu?"

"Aku bermimpi, menyerahkan kesucianku hanya untuk suamiku, aku ingin pria yang bisa menjagaku, mencintaiku tulus dan membimbingku menjadi manusia yang lebih baik," jawabku.

"Berarti aku tak masuk kriteriamu, aku kotor dan bejat."

"Itu hanya mimpi," ucapku lagi.

"Aku, minta maaf, aku tak sangup lagi membayarmu," ucap Bara, terasa kecewa dalam nada suara itu.

"Aku ada uang tiga juta, cukupkah?" tanyaku.

"Long time, hargamu masih dipatok lima belas juta, mana cukup tiga juta," jelas Bara. Aku sedikit terkejut mendengar angka itu. Mami Erna hanya memberiku satu juta lima ratus setiap kali aku bekerja.

"Berarti, mulai besok aku harus melayani lelaki lain?"

"Maafkan aku tak bisa membantumu lagi."

"Kalau begitu, lakukan malam ini. Aku tak ingin orang lain yang mendapatkannya. Aku ingin memberikannya padamu," ucapku padanya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top