7a
Tangan itu mengusap lembut punggungku, memberikan sensasi yang berbeda, tautan bibirnya juga kurasa lebih halus dari sebelumnya. Berlahan tapi pasti, aku mulai terhanyut oleh cumbuannya. Kesadaran itu mulai menepi, yang ada hanya nafsu yang menuntut untuk dipuaskan.
Tubuhku semakin menghangat, deru nafas berlomba dengan syahdunya lengkuhan hasrat. Aku semakin terbang tinggi, melayang dalam rasa yang tak bisa aku gambarkan.
"Kamu milikku," bisiknya.
Hasrat sudah terpetik, semua sudah dimulai, dan harus ada penyelesaian dalam permainan ini. Ketika semua yang melekat dalam tubuh ini luruh satu persatu, selaras dengannya luruh juga asa yang masih tersisa. Tak ada keajaiban kembali, yang ada hanya kenyaataan bahwa semua akan berakhir dan berawal pada malam ini.
Dalam sekejap, nafsu terkutuk sudah membekapku, menguasai sepenuhnya sadarku. Menjadi gila akan lebih baik, hingga tak ada rasa terpaksa. Rela atau tidak tak penting lagi, jadi aku tak akan menyiksa diri lagi.
Ini pertama kalinya, seorang pria menjelajahi tubuhku dengan bebasnya. Tak perlu menjadi munafik, Bara seorang pria yang tampan. Akan lebih mudah, melakukan permainan ini dengannya.
Aku tak bisa membandingkan dengan siapapun, karena aku baru pertama kali melakukannya. Kalau, banyak wanita yang menginginkan dia, itu bukan isapan jempol belaka, semua hal dia memilikinya.
Melihatku sudah mulai meresponnya, cumbuannya semakin intens. Bara mendorong tubuhku pelan, merebahkan tubuhku di atas ranjang. Dadaku bergetar, seiring tubuhku yang bergetar luar biasa atas perlakuan pria itu.
Dua anak manusia ini sedang berpacu dengan hasratnya, saling memberi dan menerima sesuatu yang bukan kewajiban ataupun haknya. Menanggalkan rasa malu, yang ada hanya nafsu.
Ada satu sisi hati, mencoba mengetuk kembali. Menarik sadarku, dari bekapan nafsu bira**. Tak merelakan semua ini terjadi, menanti keajaiban yang mungkin masih mau berpihak padaku.
"Lepaskan," seruku.
Aku mendorong tubuh polos itu, pria itu terlihat kaget melihat reaksiku. Segera kumenarik selimut dan menutup tubuhku, yang gini gemetar ketakutan. Aku mengelengkan kepala, air mataku mengucur deras.
"Tolong jangan lakukan," ucapku di sela tangisku.
"Kamu kenapa?" tanyanya heran.
"A ... aku, aku masih perawan," jawabku padanya.
"Apa, hah omong kosong apa ini. Jangan mempermainkan diriku." Bara terlihat emosi.
"Aku tidak bohong, aku belum pernah melakukannya, kamu pria pertama yang menjamahku, yang melihat tubuhku. Tolong jangan lakukan itu padaku, aku tak mau kehilangan harta berharga milikku satu-satunya," ucapku. Tangisku semakin menjadi.
"Apa maksudmu?"
Aku menceritakan ke Bara, kecuali tentang kebenaran Kenzi yang gay, aku menutupinya. Pria itu terdiam, entah apa yang ada di dalam benaknya. Sedangkan diriku masih gemetar berlindung dalam selimut yang kututupkan sampai sebatas leher.
Pria itu melihatku, memindai wajah kuyuku, yang basah oleh air mata. Entah apa arti tatapannya, tapi yang jelas itu bukan tatapan nafsu pria yang menginginkan tubuhku. Dia menatapku iba, aku masih dengan tangisku meminta kembali padanya.
Bara memungut kembali pakaiannya yang berceceran di lantai. Melangkah keluar tanpa kata, meninggalkan aku sendiri. Segera kubangun, mengambil bajuku dan kembali mengenakannya.
Aku melangkah keluar, pria itu sedang duduk di depan meja makan dengan segelas minuman. Kakiku melangkah pelan menghampirinya. Apa yang baru aku lakukan, sampai kapan aku melawan.
Harusnya tak ada penolakan, ini sudah menjadi tugasku bukan. Ini bukan hubungan hati, ini bisnis. Bukankah, ini memang sudah menjadi pekerjaanku. Lebih baik aku menyerah sekarang, melepas kesucian ini untuk pria itu bukan hal yang buruk bukan.
"Aku minta maaf, harusnya aku tak menolakmu," ucapku. Bara hanya terdiam, tanpa menoleh ke arahku.
"Kita mulai lagi?" tanyaku padanya. Aku merapatkan tubuhku, memeluknya dari belakang. Pria itu hanya bergeming.
Tak selamanya bisa begini, tak semua pria punya belas kasih, akan lebih tak rela bila orang lain yang mendapatkan keperawananku. Menyerah sekarang akan lebih mempermudah pekerjaanku selanjutnya.
"Sudahlah," ucapnya lirih, saat tanganku bergerak nakal menggodanya
Bara membalikkan tubuhnya, hingga kami berhadapan. Mata itu menatapku tajam, akupun demikian. Entah apa yang terjadi dadaku kembali sesak, air mataku tumpah kembali. Pria itu meraihku membenamkanku dalam dadanya, tanpa kata. Isakku semakin menjadi, aku menangis.
Aku benci takdirku, aku benci semua, ini tak adil untukku. Apa salahku, betapa dunia begitu buruknya memperlakukanku. Untuk apa aku ada bila hanya untuk disia-siakan, menjadi anak terbuang dan tak diinginkan.
Bara mengangkat wajahku, mengusap pipi basahku dengan kedua tangannya. Menatapku teduh, tapi justru membuat tangisku semakin kencang. Pria itu turun dari kursinya, membawaku duduk di sofa.
"Kamu ingin bercerita?" tanyanya padaku.
Aku hanya mengelengkan, sambil menutup mulutku, menahan tangisku.
"Aku mendengarkan," ucapnya lagi. Tangan itu membelai rambutku, perlakuan manisnya justru membuat tangisku semakin tak tertahan. Mendapati masih ada yang bersimpati, masih ada manusia yang memiliki hati, yang mau mendengarku.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top